Oleh: Yuniar Indra*
Hasrat seksual merupakan fitrah dari Allah kepada setiap insan yang hidup. Baik oleh laki-laki atau perempuan. Untuk menyalurkannya, Islam mengharuskan menikah atau memiliki budak. Karena perbudakan sudah dihapus di muka bumi, maka satu-satunya jalan adalah menikah.
Kata Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah bersumber dari ‘Aisyah: Al-Nikahu min Sunnati, fa Man Lam Ya’mal bi Sunnati, fa Laisa Minni (nikah adalah sunahku, barang siapa yang tidak melakukannya, maka bukan golonganku).
Melalui pernikahan, seseorang bisa terbebas dari perzinaan dengan menyalurkan hasrat seksualnya. Dan dapat menikmati perkara halal. Akan tetapi bukan itu yang penting, yang terpenting seorang muslim dan muslimah dapat menambah kuantitas umat Islam melalui banyaknya keturunan. Hal itu sesuai dengan anjuran nabi agar menikahi wanita yang mudah memiliki keturunan (al-walūd).
Kalau boleh berpikiran jorok, sepintas nikah itu jalan halal pelampiasan hasrat seksual belaka. Itu sah-sah saja, karena memang anjuran kitab fikih terkenal karangan orang Iran, Imam Al-Syirozi bahwa bagi muslim yang sudah mampu memberi mahar dan nafkah diperbolehkan menikah, karena menikah dapat menjaga farji dan mata (dari hal-hal haram). Ditambah merujuk pada pendapat Imam Hanafi bahwa inti daripada pernikahan adalah jimak. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakan nikah itu adalah akad.
Terlepas dari itu semua, memang Allah sudah mendesain otak manusia salah satu orientasinya merupakan seks. Apalagi pria, dengan struktur otaknya yang memiliki hipotalamus lebih besar daripada wanita.
Akibatnya, mereka memiliki kecenderungan seks (dalam hal ini hubungan intim) lebih dibanding wanita. Karena hipotalamus difungsikan untuk membentuk kepribadian pria yang tangguh sebagai penjaga keberlangsungan ekonomi dan keutuhan rumah tangganya. Dengan kondisi psikologis tersebut, hipotalamus pria sering tegang. Untuk meregangkannya dibutuhkan penyaluran hasrat seksual.
Namun, hal itu akan menjadi masalah jika sang istri menolak ajakan hubungan seksual sang suami. Mungkin suami akan stres. Hingga memicu konflik yang berakibat pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seperti, yang dilakukan oleh pria Lampung beberapa bulan lalu. Ia membunuh buah hatinya usia 40 hari lantaran ditolak hubungan badan oleh istrinya. Sebelumnya sudah banyak kejadian seperti itu karena penolakan hubungan seksual.
Ditambah sudah tertancapnya teks hadis di masyarakat yang menyatakan bahwa istri yang menolak ajakan suaminya akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi tiba[1]. Teks itu agaknya condong kepada pihak suami. Dan cenderung merugikan pihak istri. Sebab sang istri tidak diperbolehkan menolak ajakan sang suami. Sedangkan boleh tidaknya penolakan suami terhadap istrinya tidak ada teksnya. Akibatnya, kaum laki-laki terhegemoni bahwa istri yang menolak ajakannya telah berbuat dosa kepadanya.
Lalu apakah dibenarkan jika sang istri menolak ajakan suami? Jawabannya boleh ditolak asal ada uzur, sang istri dalam keadaan menjalankan kewajiban, atau dalam situasi ancaman suami yang dapat merugikan dirinya[2]. Namun pendapat ulama’ mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa sang istri tidak berhak menuntut hak seksual, karena hak ini milik laki-laki. Hak seksual istri jadi kewajiban suami hanya karena tuntutan moral (diyanatan) saja. Tapi dalam pandangan mazhab Malikiyah laki-laki wajib melayani hasrat seksual istri jika penolakannya dapat menimbulkan bahaya bagi perempuan dan mengakibatkan penderitaannya[3].
Kemudian seorang suami ketika ditolak hubungan seksual oleh istrinya sepatutnya bersikap bijak. Seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW; suatu hari rasul kedatangan lelaki yang ingin menikahkan putrinya dengan beliau. Perempuan itu bernama Asma’ binti Nu’man, kerap dipanggil Umayyah. Ketika diajak berhubungan oleh Nabi, ia menolaknya dan berkata: a’udzu billahi minka. Dalam berbagai keterangan dikatakan Asma’ menolaknya sebab keberatan penyakit kulit yang dideritanya. Akhirnya, Nabi mengatakan Alhiqi bi Ahliki (silahkan temui keluargamu) sebagai indikasi cerai secara kinayah (kiasan) yang dilontarkan Nabi (Husein ibn Muhammad Al-Maghribi: Badru al-Tamam)
Yang perlu kita soroti dari peristiwa tersebut adalah cara Rasul Muhammmad menanggapi penolakan istrinya ketika akan digauli. Beliau tak serta merta marah ataupun memaksanya. Tapi mengiyakan keputusan istrinya dan mempersilahkan untuk menemui orang tuanya.
Bagaimanapun juga antara suami istri harus diimbangi dengan perlakuan baik suami terhadap istri (وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ). Sebab istri yang diperlakukan dengan bijak akan membawanya pada pribadi salihah. Bijak dalam berbagai hal. Termasuk soal seks. Karena pasangan suami istri harus saling melengkapi (هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ).
Perihal hubungan intim Nabi pernah menasihati para sahabat agar tidak menggauli istrinya seperti binatang. Maksudnya, ketika ingin menggauli pasangannya harus dengan cara-cara yang bijak. Berawal dari menciumnya, merayunya baru kemudian melakukan penetrasi. Intinya kedua belah pihak harus saling memandang hak satu sama lain. Sang istri harus mengerti hak suami dalam rumah tangga.
Demikian pula sang suami dilarang semena-mena terhadap istrinya. Ia harus adil memperlakukan dirinya dan istrinya. Sang suami juga mesti memberikan makan istrinya ketika ia makan, dilarang memukul wajahnya, dilarang mencelanya, dan dilarang menasihatinya kecuali di rumah.
Bagaimanapun juga istri adalah muslimah yang wajib dijaga darah (nyawa)nya, harta dan kehormatannya. Jangan sampai posisinya sebagai kepala rumah tangga melalaikan sikap hormat sesama muslim. Keduanya harus saling menjaga rahasia satu sama lain.
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
[1] Berikut teks hadisnya: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
[2] KH. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogjakarta: IRCiSoD, 2021), hlm. 323-324.
[3] Ibid, hlm. 320.