Pak Cip ditemani istrinya, Sedang memainkan alat musik rebab dimainkan dengan cara digesek. Rebab merupakan alat musik tradisional Indonesia, Jawa Barat,. (foto: sherly/alfain)

Di tengah-tengah permadani budaya pulau Jawa yang dinamis, tepatnya di Jawa Timur terdapat sosok lelaki yang memiliki perjalanan memasuki dunia wayang kulit tradisional Indonesia. Perjalanan tersebut merupakan sebuah kisah yang dijalin dengan penuh semangat, dedikasi, dan komitmen yang mengakar dalam melestarikan warisan budaya.

Sebut saja Cipto Giman atau yang akrab dipanggil Pak Cip adalah sosok yang telah mengabdikan hidupnya untuk mempertahankan dan mengembangkan seni wayang kulit. Beliau dilahirkan di Kota Ngawi pada tahun 1967 dan kini tinggal di desa Diwek, Jombang, Jawa Timur. Kecintaan Pak Cip terhadap wayang kulit bermula dari masa-masa awal hidupnya.

“Ini bukan sekadar hobi, melainkan sebuah panggilan mendalam”. Ujar Pak Cip. Sesuai dengan nama beliau yang terkandung dalam arti namanya, Cipto Giman yang berarti CIPTAkan sesuatu harus GIat dan MapaN.

Perjalanannya sebagai dalang dimulai pada tahun 1993 ketika ia mendirikan sanggar wayangnya sendiri, sebuah karya cinta yang dipupuk bersama teman-teman dekatnya. Ketertarikan Pak Cip terhadap Wayang dimulai sejak ia masih kecil, saat ia bersemangat menonton pertunjukan di komunitasnya. Keingintahuan dan tekadnya membawanya ke sana.

Komitmen Pak Cip yang tak tergoyahkan terhadap Wayang didorong oleh keinginannya untuk menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini. Ia percaya pada kekuatan Wayang untuk menginspirasi dan mendidik penonton melalui penceritaan yang mendalam dan ajaran moral.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Keindahan seni dan pesan abadi yang disampaikan dalam setiap pertunjukan terus menginspirasi Pak Cip sehingga mendorongnya untuk terus memperjuangkan keberadaan Wayang.

Bagi Pak Cip, Wayang bukan sekadar hiburan, melainkan hobi sakral yang dianggapnya sebagai bentuk ibadah. Melalui dedikasinya pada bentuk seni ini, ia menemukan kepuasan dalam mengekspresikan pengabdian dan rasa hormatnya. Wayang telah menjadi bagian integral dari identitasnya, membentuk pandangan dunianya dan membimbing tindakannya.

Pak Cip mengakui dukungan yang sangat berharga dari keluarga, teman, dan komunitasnya dalam perjalanannya melestarikan dan mengembangkan Wayang. Dorongan dan bantuan mereka yang tak tergoyahkan telah memainkan peran penting dalam memungkinkan dia untuk mengejar hasratnya dan memajukan perjuangan Wayang.

Mengenal Esensi Keberadaan Wayang Kulit Melalui Pandangan Dalang

Pak Cipto, sebagai seorang seniman wayang kulit, menemukan bahwa keberadaan wayang kulit memiliki esensi yang mendalam dalam kehidupan dan budaya Jawa. Wayang kulit bukan sekadar sebuah pertunjukan seni, tetapi juga merupakan cerminan dari filosofi, moralitas, dan nilai-nilai tradisional yang tercermin dalam setiap adegan dan karakternya.

Sebagai Warisan Budaya Wayang kulit adalah bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia, khususnya Jawa. Sebagai seniman wayang, Pak Cipto menyadari pentingnya melestarikan dan meneruskan tradisi ini kepada generasi mendatang sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang dan identitas budaya bangsanya.

Wayang kulit pun adalah bentuk Pendidikan Moral. Setiap lakon dalam pertunjukan wayang kulit mengandung pelajaran moral yang dalam. Pak Cipto mengerti bahwa wayang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajarkan tentang kebaikan, keadilan, kesetiaan, dan konflik antara kebaikan dan kejahatan. Ini menjadi sarana yang kuat untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada masyarakat.

Tafsir Filosofi: Pemeran dan Alat dalam Pertunjukan Seni Wayang Kulit

Dalam dunia wayang kulit tradisional Jawa terdapat kekayaan filosofi yang terjalin baik dalam peran pemain maupun alat musik yang digunakan. Dari kisah kerajaan hingga peperangan epik, kisah-kisah yang disampaikan melalui pertunjukan Wayang Kulit menawarkan wawasan mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas.

Meskipun pertunjukan Wayang kuno sering kali menggambarkan narasi Hindu atau Budha, pertunjukan modern mencakup spektrum tema yang lebih luas. Namun, esensi dari penceritaan, pelajaran moral, dan warisan budaya tetap menjadi inti interpretasi lama dan baru.

Di jantung Wayang Kulit terdapat orkestra Gamelan, yang terdiri dari sekitar 22 alat musik tradisional Jawa. Setiap instrumen mewujudkan filosofi unik, melambangkan aspek keberadaan manusia dan keyakinan spiritual. Pagelaran secara utuh memiliki durasi sekitar 6 Jam. Untuk jumlah pemain wayangnya sendiri sekitar 18 orang (jika lengkap).

Interpretasi Filsafat yang dikemukakan dalang antara lain:

Gendang: Melambangkan harmoni dan ritme, mencerminkan keseimbangan yang dicapai dengan kedua tangan bekerja sama.
Demung: Melambangkan ritme yang teratur, mencerminkan pentingnya pola terstruktur dalam kehidupan.
Gender: Menandakan perlunya ketabahan dan tekad yang tak tergoyahkan seperti seseorang yang mempunyai tekad yang kuat.
Bonang Barung: Warisan Sunan Bonang, menandakan penghormatan dan pengakuan terhadap otoritas ilahi.
Bonang Panerus: Mencerminkan pencarian pemahaman akan tujuan ilahi dan misteri kehidupan.
Saron: Melambangkan penerimaan tanggung jawab, seperti ketidakmampuan seseorang untuk menghindari kewajiban hidup.
Peking: Melambangkan pengetahuan dan pencerahan ilahi, menekankan kemahakuasaan ilahi.
Slentem: Menandakan pentingnya keheningan dan kontemplasi di tengah tantangan hidup.
Gong: Melambangkan keagungan dan kekuasaan, beresonansi dengan keagungan kehadiran ilahi.
Kempul: Melambangkan kerendahan hati dan kesopanan dalam menghadapi keagungan.
Kenong: Mewujudkan konsep hiasan dan penyempurnaan dalam perjalanan hidup.
Gambang: Melambangkan perlunya membumikan keimanan dan keyakinan seseorang.
Rebab: Mencerminkan kondisi manusia dalam menghadapi tantangan hidup dan menemukan ketenangan dalam bimbingan Ilahi.
Siter: Menandakan pentingnya rasa syukur dan penerimaan dalam perjalanan hidup.
Suling: Melambangkan dikotomi hasrat dan spiritualitas manusia.
Sinden (Vokalis Wanita): Melambangkan esensi penyampaian emosi dan cerita melalui gerak tubuh dan ekspresi halus.
Wirosuoro (Vokalis Pria): Mewujudkan kegagahan dan kekuatan karakter pria yang digambarkan dalam cerita.
Dalang: Melambangkan peran membimbing dan menyampaikan kebijaksanaan melalui bercerita.
Kelir/Gunungan (Layar Bayangan): Mewakili dualitas kosmis langit dan bumi yang digambarkan dalam narasi Wayang.
Blencong (Lampu): Melambangkan penerangan dan pencerahan, bagaikan pancaran sinar matahari.
Kayen Gunungan: Melambangkan keagungan dan keagungan ciptaan, bagaikan gunung yang menjulang tinggi.
Telempung: Mencerminkan aspek halus dan transendental dari pertunjukan Wayang.

Untuk bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang sebagian besar adalah bahasa Jawa, yang meliputi berbagai ragam seperti krama alus (bahasa sopan), krama inggil (bahasa tinggi), dan ngoko (bahasa informal). Meskipun pertunjukan Wayang kuno sering kali menggambarkan narasi Hindu atau Budha, pertunjukan modern mencakup spektrum tema yang lebih luas. Namun, esensi dari penceritaan, pelajaran moral, dan warisan budaya tetap menjadi inti interpretasi lama dan baru.

Usaha Mempertahankan Eksistensi Seni Wayang Kulit

Setiap Sabtu dan Rabu malam, Pak Cip mengadakan sesi pelatihan untuk sekitar 15 ibu-ibu dan remaja putri yang tertarik mempelajari seni Wayang Kulit. Meskipun jumlah kelompoknya kecil, antusiasme dan dedikasi mereka luar biasa, mencerminkan hasrat yang mendalam terhadap bentuk seni.

Komitmen Pak Cip dalam memelihara dan melestarikan Wayang Kulit didorong oleh dedikasi pribadi dan kecintaannya terhadap bentuk seni. Ia percaya bahwa upaya individu, ditambah dengan tekad yang tak tergoyahkan, sangat penting untuk memastikan keberlangsungan apresiasi dan praktik Wayang Kulit di zaman sekarang.

Pak Cip juga mewariskan warisan Wayang Kulit kepada anak keempatnya, satu-satunya di antara anak-anaknya yang memiliki kecintaan yang sama terhadap seni rupa. Meski menempuh jalan yang berbeda, anak Pak Cip menganut ajaran tersebut dengan antusias, mempelajari seluk-beluk seni pedalangan dan musik di bawah bimbingannya.

Pendekatan Pak Cip dalam membimbing anaknya adalah dengan memberikan keterampilan bermusik dan menanamkan pemahaman mendalam tentang dunia pedalangan. Dengan mengintegrasikan seni ke dalam kehidupan anak-anaknya sejak usia dini, Pak Cip memastikan bahwa praktik tersebut tidak hanya sekedar hobi, namun menjadi bagian dari identitas mereka yang disayangi.

Melalui upaya dan dedikasi Pak Cip yang tak kenal lelah, tradisi Wayang Kulit terus berkembang, memastikan kehadirannya yang abadi dan relevansinya dalam budaya Indonesia. Komitmennya untuk mewariskan warisan budaya ini kepada generasi berikutnya memastikan bahwa bentuk seni tersebut akan bertahan selama bertahun-tahun yang akan datang. dan sebuah pelestarian tradisi bagi Pak Cipto, wayang kulit adalah jendela yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Dalam setiap gerak dan dialognya, wayang kulit menyampaikan cerita-cerita klasik yang telah diturunkan secara turun-temurun. Melalui pertunjukan wayang, Pak Cipto merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memperbarui tradisi tersebut agar tetap relevan di era modern.

Sebagai Media Ekspresi Seni untuk seorang seniman, wayang kulit memberikan wadah bagi Pak Cipto untuk mengekspresikan kreativitas dan bakatnya. Dalam pembuatan wayang, ia menemukan kepuasan artistik dan kesempatan untuk mengembangkan teknik dan gaya pementasan yang unik.

Wayang kulit juga memungkinkannya untuk berbagi cerita dan pengalaman dengan penonton melalui karya seni yang ia ciptakan. Dengan memahami esensi keberadaan wayang kulit sebagai warisan budaya, pendidikan moral, pelestarian tradisi, dan media ekspresi seni, Pak Cipto terus berkomitmen untuk menjaga dan memperkaya seni wayang demi kepentingan budaya dan spiritual masyarakat Jawa.


Ditulis oleh Alfain / Sherly, mahasiswa KPI Unhasy Jombang.