Kiai Hasyim Asy’ari

Oleh: Mohamad Anang Firdaus*

Ketika mengaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdurrahman Badjuri Purworejo pernah mendapatkan penjelasan dari sang guru begini:

 كلما سوى الله مخلوق

“Bahwa segala sesuatu selain Allah dihukumi makhluk.”

Keterangan ini tentu sudah masyhur dalam penjelasan ilmu kalam. Namun yang membuat saya kagum adalah kalimat selanjutnya, “sedoyo makhluk wajib diserawungi” (semua makhluk wajib dijalin interaksi sosial). Begitu Kiai Badjuri menirukan kata-kata Kiai Hasyim. Bahwa kita harus bisa bergaul dengan semua makhluk. Kata “makhluk” di sini sangatlah umum, dan Kiai Hasyim tetap membiarkan kata “makhluk” dengan makna umumnya. Artinya secara sosial, sebenarnya tidak ada sekat-sekat pemisah dalam bermuamalah. Proses sosialisasi antar makhluk menjadi lintas suku, etnis, ras, dan agama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Opini itu ternyata tidak hanya sebuah pemanis keterangan ngaji belaka, melainkan telah diamalkan oleh Kiai Hasyim sendiri. Dikisahkan, di zaman Kiai Hasyim Asy’ari, Pabrik Gula Tjoekir yang terletak 100 m dari Pesantren Tebuireng, dipimpin langsung oleh orang-orang “Meneer Belanda”, sebutan bagi tuan-tuan Belanda yang disegani di zaman kolonial. Buruh dan premannya baru dari orang pribumi. Suatu saat, anak pimpinan Pabrik Gula menderita sakit demam berkepanjangan. Si Meneer Belanda sudah membawa anaknya berobat kemana-mana, namun tak ada hasil. Kabar ini lantas sampai di telinga Kiai Hasyim Asy’ari.

Rasa kemanusiaan Kiai Hasyim lantas menuntunnya untuk pergi ke rumah dinas si Meneer Belanda, menjenguk sang anak, dan mendoakan untuk kesembuhannya. Atas izin Allah, anak si Meneer Belanda pun sembuh dari sakitnya. Meneer Belanda senang sekali, dan mengucapkan terimakasih kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Sejak saat itu, si anak sang Meneer yang sembuh lantaran doa Kiai Hasyim itu menjadi santri kuping mustami’-nya Kiai Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, Kiai Hasyim pun mengenalkan anak-anaknya kepada sang Meneer. Atas usulan Nyai Nafiqah, Gus Wahid kecil pun diminta untuk belajar bahasa Belanda kepada keluarga sang Meneer. Permintaan itu pun disambut baik oleh sang Meneer. Begitulah cerita yang saya dapatkan dari guru senior Tebuireng.

Maka tak heran, meski tak pernah mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) seperti saudara sepupunya, Gus Ilyas yang memang anak seorang penghulu agama di Probolinggo, namun Gus Wahid mampu berbicara bahasa Belanda, lantaran belajar langsung kepada keluarga Belanda di Cukir. Mengapa Gus Wahid tidak sekolah di HIS? Tentu Gus Wahid tidak bisa masuk, karena hanya anak-anak dari pegawai pemerintah Hindia Belanda saja yang bisa sekolah di HIS, sedangkan Kiai Hasyim bukanlah pegawai resmi pemerintah.

Dalam tafsir al-Khazin (salah satu kitab tafsir yang diajarkan Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng) dijelaskan bahwa:

وأن كل مخلوق وإن حل وعظم فهو عاجز عن تحصيل ما يحتاج إليه مفتقر إلى الله تعالى

Semua makhluk itu pada dasarnya ‘Aajiz (lemah). Meskipun mereka orang besar dan berpengaruh karena posisi sosial dan jabatannya, namun sifat ‘aajiz tetap saja melekat pada makhluk, karena untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya saja, mereka masih membutuhkan Allah SWT. Aksioma inilah yang lantas menjadikan keagungan dan kebesaran makhluk tidak bersifat mutlak, namun semua itu didapatkan sejatinya karena kehendak Allah SWT, Dzat yang Maha Agung dan Besar. Oleh karena itu, setiap makhluk diwajibkan untuk mentauhidkan Allah, beribadah dan selalu ta’alluq (terhubung) kepada Allah.

فوجب توحيده والعبادة له والتعلق به

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam tafsir Ruhul Bayan karya Syaikh Ismail Haqqi Afandi. Dari sisi sosial, sifat ‘aajiz yang dimiliki semua makhluk mengharuskannya untuk berinteraksi dengan makhluk yang lain. Karena manusia sebagai makhluk sosial, memang tercipta untuk saling membutuhkan antar sesama. Sehingga wajar jika Kiai Hasyim Asy’ari berujar, “sedoyo makhluk wajib diserawungi“, semua makhluk wajib untuk dijalin interaksi sosial. Untuk saling mengenal, tolong menolong dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Tanpa merasa berbeda dengan manusia lainnya karena etnis, ras, suku maupun agama. Sifat inilah yang menjadi ciri kebesaran sosok Kiai Hasyim Asy’ari. Dahulu Gus Sholah seringkali berujar, tokoh yang besar selalu mempunyai pikiran yang besar. Wallahu A’lam.

Baca Juga: Adab Kiai Hasyim Asy’ari; Tak Merasa Paling Benar, Membuka Diri untuk Dikritik

*Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari