Salah satu tantangan terberat dalam menghambakan diri kepada Allah adalah menjauhi segala maksiat. Bahkan Imam Al-Ghazali menyatakan dalam kitab Bidayatul Hidayah bahwa menjauhi larangan Allah itu lebih berat dari pada mengerjakan perintahNya, karena semua orang bisa melakukan ketaatan tetapi tidak semua orang bisa meninggalkan keinginan.
وَتَرْكُ المَنَاهِي هُوَ الأَشَدُ؛ فَإِنَّ الطَّاعَاتِ يَقْدِرُ عَلَيْهَا كُلُّ وَاحِدٍ، وَتَرْكُ الشَّهَوَاتِ لَا يَقْدِرُعَلَيْهِ إِلَّا الصَدِيْقُوْنَ
“Meninggalkan perkara yang dilarang ialah berat, setiap individu mampu untuk melakukan taat, dan tidaklah mampu meninggalkan keinginan syahwat kecuali orang-orang yang lurus.”
Anggota tubuh yang Allah berikan kepada kita adalah sebuah kenikmatan yang patut kita syukuri dan amanah yang harus kita jaga. Namun, nikmat yang Allah berikan ini bisa menjadi bumerang ketika kita tidak bisa menggunakan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Maka dari itu, kita harus menggunakan semua anggota tubuh kita dengan semestinya. Dan ini termasuk dalam cara kita bersyukur dan menjaga amanah atas nikmatNya.
Dalam kitab yang sama, Imam Al-Ghazali mengerucutkan tujuh anggota badan yang harus lebih diwaspadai. Karena dengan tujuh anggota ini bisa membuka lebar-lebar pintu neraka Jahanam. Tujuh anggota itu adalah mata, telinga, mulut, perut, kemaluan, tangan dan kaki.
Menjaga Anggota Badan dengan Benar
Lantas, bagaimana kita bisa menggunakan tujuh anggota ini dengan benar? Mari kita ulas satu per satu!
Pertama, Allah menciptakan mata dengan tujuan sebagai petunjuk dalam kegelapan, membantu memenuhi kebutuhan, melihat keajaiban-keajaiban penguasa bumi dan langit, dan mengangan-angan keesaan Allah dari keajaiban yang dilihat.
Selain itu, Allah juga membatasi kita dalam menggunakan mata. Seperti larangan untuk melihat selain mahram, hal-hal yang memikat hati seperti amrad (pria yang rupawan) meski tanpa syahwat, melihat dengan pandangan merendahkan kepada sesama muslim dan melihat aib muslim lain.
Kedua, ujuan Allah menciptakan telinga adalah mendengar firman Allah, sunah Nabi dan hikmah dari wali-wali Allah. Dan kita dilarang menggunakan telinga untuk mendengarkan hal-hal bidah, gibah, perkataan kotor, perkara yang tidak sesuai dengan faktanya dan mendengar keburukan orang lain.
Ketiga, tujuan diciptakannya mulut adalah berzikir kepada Allah, membaca al-Quran, mengajak sesama makhluk menuju jalanNya dan menyampaikan apa saja yang ada di dalam hati baik berupa urusan duniawi atau ukhrawi.
Sedangkan hal yang dilarang adalah berbohong, tidak menepati janji, gibah, berdebat tanpa tujuan, menceritakan kebaikan bukan dengan tujuan tahaddus bi ni’mah, melaknat makhluk Allah seperti manusia, hewan dan makanan, dan mendoakan orang lain dengan doa yang buruk meskipun kita dalam kondisi terzalimi.
Keempat, dalam permasalahan perut kita tidak boleh mengonsumsi barang haram atau syubhat. Syubhat sendiri adalah keraguan atas halal haramnya suatu hal tanpa adanya pengunggulan. Dengan adanya tuntutan ini, kita harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencari makanan yang halal.
Setelah menjaga dari perkara haram dan syubhat, kita disuruh untuk tidak makan dan minum sampai kenyang. Mengapa demikian? Karena, kenyang menyebabkan kita keras hati, menurunkan kecerdasan, menghilangkan hafalan, malas beribadah, belajar, menguatkan syahwat dan mempermudah gangguan setan. Hal ini bisa muncul meskipun mengonsumsi barang halal, apalagi jika kita mengonsumsi barang haram!
Kelima, kita harus menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah seperti zina, homoseksual, onani dan semacamnya. Hal ini bisa terwujud jika kita menjaga pandangan mata, pikiran hati dan menjaga perut dari barang haram, syubhat dan makan sampai kenyang.
Mengapa harus menjaga mata, hati dan perut untuk menjaga kemaluan? Karena tiga perkara ini bisa memicu dan membuat syahwat bergejolak. Dengan menjaganya, setidaknya kita telah mencegah munculnya bibit-bibit syahwat yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kemaksiatan.
Semoga, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebut oleh Allah dalam surat Al-Mukmin ayat 5-6,
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦
Artinya: Dan mereka yang menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak-budak mereka. Maka mereka bukan orang yang tercela.
Keenam, untuk tangan kita harus menjaga dari memukul muslim, mengambil harta haram, mengkhianati amanah atau titipan, dan menulis perkataan yang tidak boleh diucapkan.
Ketujuh, kita harus mengguanakan kaki untuk hal-hal baik, seperti berangkat ke masjid, menghadiri majelis ilmu dan sebagainya. Maka dari itu, haram bagi kita menggunakan kaki untuk melakukan perkara haram seperti menghadiri perkumpulan untuk gibah, menghadap penguasa yang zalim dan rida atas kezalimannya.
Dari sini, mari kita renungi bersama! Sudahkah kita bersyukur dan menjaga amanah yang telah Allah berikan kepada kita? Sudah kah kita benar-benar menghambakan diri kepada sang maha kuasa? Pantas kah kita masih berharap atas surga dan memberontak jika mendapat siksa neraka dariNya?
Sebagai penutup, mari sejenak kita lantunkan dua bait karangan Abu Nawas sebagai I’tiraf atas dosa-dosa kita dan semoga diampuni olehNya.
إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلًا * وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الجَحِيْمِ
فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ * فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Ya tuhanku, aku tak pantas menjadi penghuni surgamu….
Aku juga tak kuasa atas siksa nerakamu….
Terima tobat dan ampunilah dosa-dosaku….
Sesungguhnya engkau adalah Dzat yang Maha Pengampun dosa..
Ditulis oleh Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II “Al-Murtadlo” Malang.