ilustrasi konflik rumah tangga, nusyuz batasan dan hikmahnya
ilustrasi konflik rumah tangga, nusyuz batasan dan hikmahnya

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu larangan yang tidak bisa dibenarkan, baik perspektif agama maupun negara. Termasuk di antaranya adalah memukul istri. Islam tidak membenarkan perbuatan tersebut. Hanya saja, jika istri membangkang dan tidak menaati perintah suaminya, maka syariat membolehkan sang suami untuk memukul istrinya setelah melalui beberapa tahap yang ditentukan dalam syariat.

Beberapa tahap yang harus dilakukan oleh suami sebelum memukul istrinya adalah memberi nasihat dengan lemah lembut. Jika tidak berhasil, maka meninggalkannya di tempat tidur (pisah ranjang). Dan jika dua tahap ini masih saja tidak berhasil, maka suami diperbolehkan untuk memukul istrinya sebatas memberi pelajaran dan peringatan.

Aturan-aturan di atas sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran, Allah Swt berfirman:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz (tidak taat), hendaklah kamu beri nasihat pada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 34).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lantas, seperti apakah batasan seorang suami diperbolehkan memukul istrinya ketika ia tidak taat pada suaminya (nusyuz)? Berikut penulis jelaskan maksud dan pengertian dari ayat di atas perspektif ulama ahli tafsir.

Definisi Nusyuz

Sebelum membahas lebih panjang dan luas perihal diperbolehkannya seorang suami memukul istrinya ketika nusyuz, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu maksud dari pada nusyuz itu sendiri. Dengan tujuan agar kebolehan tersebut benar-benar bisa dipahami dengan benar, sehingga memukul istri tidak dengan semaunya sendiri.

Merujuk penjelasan Syekh Muhammad at-Thanthawi dalam kitab tafsirnya, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah ketidakmauan istri untuk taat pada suaminya, sehingga ia meninggalkan semua perintah suaminya, berpaling darinya dan menjadikan suaminya murka. (Syekh at-Thnathawi, Tafsir al-Wasith lil Qur’anil Karim, [Mesir, Daru Nahdlah: 1998], halaman 934).

Sedangkan nusyuz menurut Syekh Muhammad Khatib as-Syarbini adalah keluarnya seorang wanita dari rumahnya tanpa izin dari suaminya (melanggar), bukan karena untuk mencari nafkah jika suaminya sulit (miskin), dan bukan pula karena untuk meminta fatwa jika suaminya tidak berilmu. Termasuk juga melarang suaminya untuk bersenang-senang dengannya tanpa alasan yang dibenarkan. Semua itu dilakukan murni hanya untuk ingkar dan menentang suami. (Syekh as-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 260).

Itulah yang dimaksud dengan nusyuz dalam ayat Al-Qur’an di atas. Wanita yang nusyuz atau diketahui akan nusyuz karena ketidaktaatannya kepada suaminya, maka seorang suami diperbolehkan untuk memukul istrinya apabila sudah memenuhi tahapan-tahapannya. Lantas, kapan seorang suami diperbolehkan memukul istri?

Batas Kebolehan Memukul Istri

Perlu diketahui bahwa memukul istri bukanlah solusi terbaik dalam mendidik dan mengajarkan istri agar kembali taat kepada suaminya. Terbukti Al-Qur’an memberikan penjelasan bahwa ketika ia tidak taat, maka langkah pertama bagi seorang suami adalah menasihatinya dengan lemah lembut. Jika tidak mempan, maka harus berpisah ranjang, yaitu menjauh dari tempat tidurnya. Barulah kemudian jika dua cara ini tidak berhasil, ia diperbolehkan untuk memukulnya sebagai solusi terakhir.

Merujuk penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, pukulan yang diperbolehkan dalam hal ini hanyalah sekadar pukulan mendidik yang tidak berbahaya kepada sang istri, sebagai bentuk ketidak ridhaan terhadap perbuatan istrinya,

 

إِنَّ الضَّرْبَ بِشَرْطٍ أَلاَّ يَسِيْلَ دَمًا وَلَا يُكَسِّرُ عَظْمًا، أَيْ يَكُوْنُ ضَرْباً خَفِيْفاً يَدُلُّ عَلىَ عَدَمِ الرِّضَا؛ وَلِذَلِكَ فَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ قَالُوْا: يَضْرَبُهَا بِالسِّوَاكِ

Artinya, “Sungguh (diperbolehkannya) memukul adalah dengan syarat tidak sampai melukai dan tidak memecahkan tulangnya, yaitu dengan pukulan ringan dengan tujuan untuk menampakkan ketidak ridhaan. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: memukulnya dengan kayu siwak (kayu kecil).” (Syekh Sya’rawi, Tafsir wa Kahawatirul Umam, halaman 1502).

Kendati memukul istri ketika sudah nusyuz, sementara nasihat dan pisah ranjang tidak bisa berpengaruh padanya, tetap tidak memukul justru langkah yang lebih baik dari pada memukulnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi, dalam kitabnya ia mengatakan:

الْأَوْلَى تَرْكُ الضَّرْبِ فَأَمَّا إِذَا ضَرَبَهَا وَجَبَ فِي ذَلِكَ الضَّرْبِ أَنْ يَكُونَ بِحَيْثُ لَا يَكُونُ مُفْضِيًا إِلَى الْهَلَاكِ

Artinya, “Dan yang lebih baik adalah tidak memukul. Dan jika harus memukulnya, maka wajib dalam pukulan tersebut untuk tidak sampai mencederai.” (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1420), juz X, halaman 72).

Hikmah Dibolehkan Memukul Istri

Diperbolehkannya memukul istri dalam konteks ini merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan suami. Selebihnya jika sang istri tetap saja tidak taat, maka ia harus bersabar sembari berdoa kepada Allah agar ia kembali taat kepadanya. Dan, dalam keadaan seperti ini, keinginan untuk mentalak istri lebih baik dihindari, karena bahaya memukul lebih ringan dari bahaya mentalak itu sendiri.

Inilah hikmah diperbolehkannya memukul istri dengan pukulan ringan sebagai solusi terakhir, bukan dengan mentalaknya. Karena memukul hanya sebatas peringatan yang tidak berdampak apa-apa, sementara talak akan menghancurkan fondasi rumah tangga. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ali as-Shabuni, dalam kitabnya ia mengatakan:

فَالضَّرْبُ بِسِوَاكٍ وَمَا أَشْبَهَهُ أَقَلُّ ضَرَرًا مِنْ إِيْقَاعِ الطَّلاَقِ عَلَيْهَا، لِأَنَّ الطَّلاَقَ هَدْمٌ لِكَيَانِ الْأُسْرَةِ، وَإِذَا قِيْسَ الضَّرَرُ الْأَخَفُّ بِالضَّرَرِ الْأَعْظَمِ، كَانَ ارْتِكَابُ الْأَخَفِّ حَسَنًا وَجَمِيْلاً

Artinya, “Memukul dengan kayu siwak atau sesamanya itu lebih sedikit bahayanya daripada menjatuhkan talak pada istrinya, karena talak menghancurkan fondasi rumah tangga, dan jika dibandingkan (terjadinya) bahaya yang ringan dan bahaya yang besar, maka melakukan bahaya yang ringan bernilai baik dan bagus.” (Syekh Ali as-Shabuni, Tafsir Ayatil Ahkam, [Damaskus, Maktabah al-Ghazali: halaman 217).

Demikian penjelasan perihal tafsir surat An-Nisa’ ayat 34 tentang kebolehan seorang suami memukul istrinya ketika tidak taat, sekaligus batasan dan hikmahnya. Semoga bermanfaat. Walahu a’lam.

Baca Juga: Wanita Bekerja di Luar Rumah

*Ditulis oleh: Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.