Oleh: Silmi Adawiya*
Sebagian masyarakat Indonesia menyiapkan tanggal pernikahan dari jauh-jauh hari. Misal mereka yang hendak melangsungkan pernikahan sudah mencatat tanggal pernikahan di bulan-bulan haji. Alasannya sederhana, jangan sampai masuk ke bulan Muharram. Bulan yang dikenal sebagai bulan Suro, yaitu bulan yang tidak baik untuk menggelar pernikahan. Benarkah begitu?
Ada semacam keyakinan dalam kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa tidak menggelar pernikahan pada bulan-bulan tertentu. Sebagai contoh di Minangkabau ada anjuran untuk tidak melangsungkan pernikahan di bulan Syawal. Keyakinan yang seperti itu sejalan dengan keyakinan orang Arab Jahiliyah. Namun Rasulullah justru menikah dengan Sayyidah Aisyah di bulan Syawal, guna menepis keyakinan sial di bulan tersebut.
Bulan Safar juga merupakan salah satu bulan yang dikatakan kurang baik untuk melangsungkan pernikahan. Safar yang bermakna kosong memberikan arti bahwa orang-orang meninggalkan rumah untuk berbagai tujuan. Misalnya berburu, berdagang, atau hal-hal lainnya yang menyebabkan rumah mereka kosong dan tidak baik jika melangsungkan pernikahan pada waktu tersebut.
Begitu pula dengan bulan Muharram, bulan yang dikenal dengan suro, atau disebut dengan bulannya priyayi. Bulan yang diperbolehkan untuk menikah hanya untuk priyayi. Bahkan ada saja yang menguatkan dengan argumen yang kurang logis. Misalnya bulan Muharram tersebut adalah bulan sang penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul melangsungkan hajat pernikahan di istananya.
Padahal bulan Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah, dalam kitabNya menyebutkan:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).”
Dari ayat tersebut kita bisa mengerti bahwa buan Muharram adalah bulan pilihan Allah. Tidak bolehkah menikah di bulan yang dimuliakan Allah? terlebih menikah adalah sebuah ikatan yang mampu mengubah hal haram menjadi halal. Pernikahan yang merupakan wujud sunnah Rasulullah. Dan perlu diingat kembali, bahwa Islam tidak menganjurkan ummatnya untuk mengutuk waktu. Waktu, di mana Allah SWT beberapa kali bersumpah dengannya, adalah momentum bagi manusia untuk terus melakukan kebaikan.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang.” (HR Muslim).
Mufti al-Azhar, Syekh Athiyah menjelaskan perihal ini dalam kitab Fatawa al-Azhar sebagai berikut:
ﻭﻣﻬﻤﺎ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﺷﻰء ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻰ اﻟﺘﺸﺎﺅﻡ ﺑﺎﻟﻌﻘﺪ ﻓﻰ ﺃﻯ ﻳﻮﻡ ﻭﻻ ﻓﻰ ﺃﻯ ﺷﻬﺮ، ﻻ ﻓﻰ ﺷﻮاﻝ ﻭﻻ ﻓﻰ اﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﻻ ﻓﻰ ﺻﻔﺮ ﻭﻻ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ، ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻧﺺ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﺰﻭاﺝ ﻓﻰ ﺃﻯ ﻭﻗﺖ ﻣﻦ اﻷﻭﻗﺎﺕ ﻣﺎ ﻋﺪا اﻹﺣﺮاﻡ ﺑﺎﻟﺤﺞ ﺃﻭ اﻟﻌﻤﺮﺓ
Dengan demikian, tidak dianjurkan merasa nahas/sial dengan pernikahan di hari atau bulan apapun, apakah Syawal, Muharram, Shafar atau yang lain, ketika memang tidak ada dalil yang melarang pernikahan tersebut selain saat Ihram untuk haji atau umrah.
Benang merah dari berbagai sumber tersebut mengajak kita untuk tidak menghiraukan berbagai anjuran untuk tidak melangsungkan pernikahan pada bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Muharram. Bulan Muharram yang merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah menginspirasi kita untuk meningkatkan amal ibadah kita kepada Allah, dan menikah merupakan amal ibadah yang disunnahkan dalam ajaran Islam.
*Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.