Ilustrasi bank

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia Islam khususnya para fuqaha (ahli fiqh) sempat dikagetkan oleh problematika perbankan dan sistem bunga yang memang menjadi bagian inheren dalam mesin perbankan itu sendiri. Persoalan yang mencuat ke permukaan ini ibarat bola salju yang semakin lama semakin membesar dan menggunung direspon dengan berbagai macam respon oleh para sarjana hukum Islam yang punya kualifikasi untuk berbicara soal itu. Dikarenakan masalah ini merupakan masalah yang memang tidak mempunyai preseden dalam sejarah hukum Islam maka sudah pasti silang pendapat, perdebatan atau kontroversi tentang problematika perbankan dan bunga ini acapkali mengemuka di gelanggang wacana hukum Islam.

Perdebatan dimulai apakah perbankan (terutama perbankan konvensional) yang memakai sistem bunga sebagai salah satu instrumennya dibolehkan dalam kaca mata hukum Islam atau tidak? Apakah bunga bank yang ‘diproduksi’ perbankan konvensional punya kemiripan atau malah kesamaan dengan riba yang memang sudah jelas-jelas diharamkan dalam al-Quran atau tidak? dan lain sebagainya.

Perdebatan ini banyak melibatkan pemikir -emikir Islam kontemporer yang berkonsentrasi dalam hukum Islam untuk ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam perdebatan. Secara kategoris, silang pendapat yang berkembang, bahkan bertahan hingga saat ini dari beberapa seminar, bahstul masail, muktamar, atau juga pendapat-pendapat yang dilontarkan melalui buku, jurnal, dan media-media yang ada dapat dipetakan secara simplistik mengerucut pada tiga pendapat. Walaupun tidak dapat dinafikan ada beberapa pendapat yang tidak tertulis tapi punya keunikan dan karekteristik tersendiri, pendapat itu pada intinya menyatakan:

  1. Bunga bank hukumnya haram
  2. Bunga bank hukumnya halal
  3. Bunga bank adalah salah satu perkara yang masih samar (syubhat) dan hendaknya di jauhi sebagai upaya jalan yang paling selamat

Pendapat yang paling dominan adalah pendapat pertama. kemudian disusul pendapat yang ketiga. Karena, kedua pendapat ini dilandasi dan dikuatkan dengan dalil-dalil normatif yang valid. Sedangkan pendapat kedua, di samping ditopang dengan dalil-dalil normatif, pendapat ini juga berpijak pada ‘dalil-dalil’ historis dan kebutuhan riil yang mendesak di kalangan masyarakat karena langkanya perbankan yang tidak memakai instrumen bunga. Sedangkan perbankan Islam yang notabene menawarkan sistem bagi hasil selain kurang populer juga masih menggunakan perangkat-perangkat tradsional yang kurang efektif.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Zakat Bunga Bank

Sebagai titik tolak zakat bunga bank tabungan atau deposito, pendapat yang menyatakan hukum bunga bank halal menjadi dasarnya. Karena, diketahui secara umum bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak diperoleh dengan cara atau jalan yang haram. Terdapat sejumlah asusmsi dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak sama dengan riba. Oleh karena itu maka keberadaan bunga bank dapat diabsahkan di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Dalam sistem ekonomi modern seperti sekarang ini sistem perbankan konvensional menggunakan instrumen bunga dalam melakukan transaksinya.
  2. Dalam praktiknya, bunga bank tidak selamanya merugikan nasabah yang bertransaksi dengan bank, bahkan sebaliknya bunga bank malah memberikan keuntungan bagi nasabah itu sendiri. Nasabah dalam hal ini bukanlah pihak yang dieksploitasi oleh pihak bank sebagai pemegang otoritas Karena bunga bank yang dimaksud adalah bunga bank tabungan atau deposito yang ditanamkan oleh nasabah di bank konvensional bukan dalam artian bunga yang ditentukan pengucuran kredit kepada debitur.

Pada dataran praktis realitas yang ada dalam masyarakat Islam, secara empiris sebenarnya masih banyak umat Islam yang menyimpan dan memeprcayakan dananya untuk dikelola oleh perbankan konvensional terlepas dari keragaman motif yang mendorong melakukan hal ini. Artinya sebagai umat Islam harus mengakui bahwa antara dimensi normatif dan historis ternyata dapat dikatakan jauh panggang daripada api. Dengan kata lain apa yang telah ditetapkan dan diinginkan tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang berlaku di dataran praktis masyarakat umum.

Tidak diketahui secara pasti apakah masyarakat muslim melakukan hal itu karena sengaja demi kebutuhan yang pragmatis atau memang karena mereka merasa bingung dengan simpang siurnya fatwa (keputusan hukum) oleh sebagian pihak yang dianggap kredibel. Tapi yang jelas adalah bahwa persoalan bunga bank ini apakah termasuk riba yang dengan demikian hukumnya hniscaya haram atau sebaliknya, peresoalan yang bersifat khilafiyah serta masih dipenuhi kontroversi yang berkepanjangan.

Jelas dan diketahui bahwa seseorang yang mendepositokan hartanya di bank tertentu kemudian memperoleh bunga akan pasti mengeluarkan zakatnya 2,5% dari total harta yang dimiliknya dipotong kebutuhan sehari-hari dan hutang atau keperluan lainnya. Penghitungan zakat dilakukan dengan menggabungkan antara bunga dengan harta asal yang disimpan.

Setelah ditotal, dikalkulasi kemudian baru dikeluarkan nominal angka uang dari keseluruhan dana yang telah ditentukan prosentase zakatnya. Tapi, cara atau praktik semacam ini dinilai ada ketumpangtindihan antara dua dana tersebut (deposito dan bunga). Uang (bunga) yang didapatkan sebagai buah dari mendepositokan sejumlah dana di bank bukanlah uang yang ‘bekerja’.

Uang tersebut tidaklah berputar dan dibuat sebagai modal untuk bekerja, usaha investasi atau perkongsian atau apapun namanya yang menunjukkan aktivitas pengguna uang dalam sebuah wadah yang produktif. Uang itu hanya ‘tidur’ dan kemudian menelorkan hasil yang tidak sedikit. Padahal dalam Islam telah ada doktrin yang disepakati bahwa pada prinsipnya uang tidaklah bisa mengasilkan sesuatu dalam ‘dirinya sendiri’. Uang tersebut harus diputar dan dikelola oleh siempunya atau lain agar dapat membuahkan sesuatu.

Lebih jauh bersinggungan dengan zakat bunga bank, ada beberapa asumsi dasar yang melatarbelakangi diwajibkannya zakat bunga bank:

  1. Setiap harta pada dasarnya diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya kecuali harta harta tertentu yang sudah jelas sekali tidak termasuk dalam kategori harta wajib zakat. Proposisi ini dengan jelas terekam dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا ۖ

Sebab menurut sebagian mufassir lafadz من أَمْوَالِهِمْ dalam ayat di atas punya makna umum yang menyentuh semua kategori harta, tetapi tentu dikecualikan harta-harta yang sudah ditegaskan bahwa harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini bunga bank secara hipotesis layak untuk dimasukkan dalam kelompok harta wajib zakat.

  1. Ditinjau dari kategori harta yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya maka bunga bank sudah termasuk dalam kategori harta wajib zakat karena harta tersebut telah memenuhi sejumlah syarat yang digariskan sebagai harta wajib zakat syarat tersebut adalah:
  • harta tersebut adalah harta yang menjadi milik penuh,
  • harta tersebut adalah harta yang halal dalam perolehannya,
  • harta tersebut harta yang berkembang baik dikembangkan pemiliknya atau secara inheren,
  • lebih dari kebutuhan biasa,
  • harta tersebut bebas dari hutang,
  • berlalu setahun,
  • memenuhi kadar nishab (kadar tang telah ditentukan untuk kewajiban zakat).

Artinya bahwa dalam Islam, semua harta atau kekayaan yang sudah memenuhi tujuh syarat di atas maka wajib di keluarkan zakatnya dan tidak ada model kekayaan pun yang telah terpenuhi syaratnya dapat luput dari jangkauan zakat.

  1. Demikian juga sebaliknya tidak ada halangan sama sekali bagi bunga bank untuk dikeluarkan zakatnya apabila ditinjau dari syarat syarat atau kategori harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Implementasi zakat bunga bank ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang melegalkan harta tidak wajib zakat.

Lantas apa dalil atau alasan yang melandasi kewajiban zakat bunga bank?

Bersambung..


Penulis Ahmad Farid Hasan, S.H.I.,Lembaga Kajian Strategis Keislaman dan Kebangsaan PC IKAPETE Gresik