Oleh: Ananda Prayogi*

Islam adalah agama yang gampang, tetapi tidak boleh kita gampang-gampangkan sebagai pemeluknya. Syariat atau aturan yang ditetapkan dalam agama Islam itu jelas dan tegas. Walaupun begitu, aturan tersebut tidak serta merta ‘memukul rata’ semua orang muslim tanpa memandang latar belakang yang menyebabkan seorang muslim tersebut berat bahkan tidak mampu untuk melakukannya. Contohnya saja dalam aturan kewajiban menjalankan ibadah puasa yang akan kita bahas di sini.

Pengertian Fidyah

Ibadah puasa merupakan suatu ritual yang wajib dilakukan oleh setiap orang mulim yang sudah terbebani (mukallaf). Walaupun seorang muslim tidak mampu melakukan ritual ibadah tersebut karena sesuatu halangan (udzur), seperti haid, safar, dan lain sebagainya, ia tetap harus mengganti (qodlo’) puasa yang tidak dilakukannya tersebut di lain hari. Bahkan, ketika orang tersebut sudah tidak mampu berpuasa pun, seperti sakit yang sudah tidak diharapkan sembuhnya, atau sudah sangat tua renta, tetap wajib menunaikan ibadah puasa ini tetapi dalam bentuk membayar fidyah, yaitu memberikan makan (ith’am) kepada faqir miskin. Ketentuan membayar fidyah ini berdasarkan firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 184;

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Melalui ayat ini, Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj mengatakan, seseorang jika tidak mampu berpuasa di bulan Ramadan, maka dia wajib membayar fidyah kepada fakir miskin. Selain fakir miskin, tidak boleh menerima fidyah. Menurut beliau, dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, hanya fakir miskin saja yang berhak menerima fidyah, sedangkan sisanya tidak boleh menerima. Jika fidyah diberikan kepada selain fakir miskin seperti amil zakat, muallaf dan lainnya, maka hukumnya tidak sah dan wajib membayar fidyah lagi.

Fidyah yang harus dibayar , yaitu satu mud (6-7 ons/tiga perempat liter beras) itu ukuran tangkupan tangan orang dewasa. Seperti pengertian yang dikutip dari kitab nailul marom;

الفدية: طعام يدفع إلى المساكين، ومقدارها: مد من بر، والمد: ملء كفي رجل معتدل الكفين……. إلخ ( نيل المرام من أحكام الصيام على طريقة سؤال والجواب 25)

“Fidyah itu makanan yang dibayarkan kepada orang-orang miskin (fakir miskin), ukurannya adalah satu mud gandum (makanan pokok), dan satu mud itu tangkupan penuh kedua telapak tangan orang (dewasa)” … sampai akhir. (Nailul Marom Min Ahkamis Shiyam ‘Ala Thoriqoti Sualin wa Jawabin 25)

Cara pembayaran fidyah

Ada tiga Cara dalam membayar fidyah, yaitu:

Pertama, dibayarkan tiap hari pada saat tidak berpuasa.

Kedua, dibayarkan di akhir Ramadan.

Ketiga, dibayarkan tunda asal sebelum Ramadan depan.

Fidyah memakai uang?

Seiring berjalannya waktu, segala aktivitas jual beli dan perdagangan sudah wajib menggunakan alat tukar barang yang bernama uang. Padahal pada dasarnya, juga melihat dari sisi hitorisnya, fidyah itu berarti ith’am atau memberikan makanan kepada fakir miskin, bukan memberikan uang. Mengingat uang menjadi alat yang serba mudah untuk transaksi apapun dibandingkan harus menyiapkan makan secara khusus yang berukuran satu mud. Maka dalam hal ini, ulama berbeda pendapat akan bagaimana hukumnya.

 (1)أما دفع النقود بدل الإطعام فلا يجزئ بل لا بد من الإطعام، لأن الله عز وجل أمر بالإطعام فقال: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة: ١٨٤] فجعل االله الإطعام معادلاً للصيام، فتعين أن يكون بدلا منه.

 (2)ولا يجزئ إخراج القيمة بدلاً من الطعام في الراجح خلافاً للأحناف، للنص على الإطعام في الآية الكريمة: (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) [البقرة: 184]

“ (1) Sedangkan untuk membayar uang sebagai pengganti memberikan makan (ith’am), maka hal itu tidak dianggap cukup, tetapi tetap harus dengan ith’am, karena Allah telah memerintahkan (dala Al-Qur’an) dengan ith’am. Dia berkata: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah: 184] Tuhan membuat ith’am sebagai ganti puasa. Maka hukum ith’am di sini menjadi tertentu dan harus dilakukan dengan cara tersebut.

(2) Tidak dianggap cukup seseorang membayarkan nilai (uang) sebagai ganti dari ith’am dalam pendapat yang diunggulkan (rojih), yang hal ini berbeda dengan pendapat madzhab hanafiyyah, karena nash ith’am dalam ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah: 184]” (Dari sumber yang sama sebelumnya)

Jadi, membayar fidyah dengan menggunakan uang itu tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama. Jika fidyah dibayarkan dalam bentuk uang tidak langsung kepada penerimanya, melainkan kepada wakilnya, kemudian wakilnya itu membelikannya makanan, maka itu dianggap cukup.

Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, membayar fidyah dengan menggunakan uang itu justru diperbolehkan. Inilah hikmah dan kemudahan yang didapat dari keberagaman pendapat di kalangan ulama. Kita tidak perlu berfanatik terhadap satu pendapat, kemudian mencela pendapat ulama lainya. Toh kita tidak perlu juga meragukan kehebatan dari ulama-ulama yang sudah disepakati kedalaman ilmunya tersebut. Pendapatnya pun tentu disertai dengan dalil yang sama sama kuat. Kita diutamakan untuk mengikuti pendapat yang mayoritas. Namun ketika kondisinya perlu kita membayar dengan menggunakan uang, maka jalan tengahnya yaitu dengan mengikuti madzhab hanafi. Karena perbedaan bendapat itu adalah rahmat. Wallahu a’lam.


*Santri Pesantren Tebuireng