Oleh: Pipit Maulidiya*

Pendidikan Sekolah Dasar ia tempuh di SDN Cukir I Jombang Jawa Timur. Sosok Ishom kecil terlihat menonjol diantara teman- temannya. Dari segi pelajaran, nilai yang didapat selalu bagus. Pada saat memasuki bangku sekolah lanjutan, Ishom yang telah beranjak remaja, memilih pagi hari untuk bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng dan siang harinya di SMP Ahmad Wahid Hasyim. Sungguh semangat belajar yang sangat kuat untuk usia anak-anak. Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng pada tahun 1981, Gus Ishom memutuskan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur sampai tahun 1991 (sekitar 10 tahun). Lirboyo adalah pesantren yang sangat terkenal sebagai ‘gudang kitab kuning’, dimana kedalaman dan ketajaman memahami kitab kuning dikaji dan dikembangkan secara serius di pesantren ini.

Di Lirboyo inilah, cerita besar tentang Gus Ishom terukir indah. Sejak bersinar di pesantren ini, figur Gus Ishom digadang-gadang mampu menjadi pemimpin masa depan NU, dan bisa mengembalikan kejayaan Pondok Pesantren Tebuireng seperti masa kakeknya dulu, yang berhasil meneciptakan figur kiai-kiai alim hampir di seluruh pelosok Nusantara. Ekspos media terhadap figur Gus Ishom sangat besar. Ekspektasi besar media dan masyarakat bukan berakhir dengan kekecewaan. Gus Ishom benar-benar menempa diri dengan sungguh-sungguh di pesantren ini.

Gus Ishom mendapat perhatian khusus dari KH. Mahrus Ali. Beliau digembleng sendirian. Ada jadwal khusus mengaji antara Gus Ishom dan KH. Mahrus Ali. Hal ini didorong agar salah satu ‘putra mahkota Tebuireng’ ini mampu meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yang sarat dengan prestasi besar sebagai salah satu cikal bakal pondok pesantren di Indonesia.

Harapan besar KH. Mahrus Ali tidak disia-siakan Gus Ishom. Beliau serius belajar untuk menguasai semua pelajaran dari guru-gurunya. Beliau menunjukkan minat yang besar pada seluruh bidang, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghoh, nahwu, dan lain-lain. Gus Ishom mengaji hampir ke semua kiai di Lirboyo.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketika di Lirboyo ini, Gus Ishom langsung masuk kelas 1 Aliyah karena lulus tes seleksi, sebuah prestasi awal yang sangat membanggakan, karena sangat jarang orang bisa masuk langsung di kelas 1 Aliyah, biasanya hanya bisa masuk di tingkat Ibdiyaiyah atau Tsanawiyah.

Pada saat awal-awal di Lirboyo ini, kelebihan Gus Ishom belum kelihatan. Namun, menjelang tamat kelas III Aliyah, hampir semua orang angkat topi padanya. Kecerdasan yang digabungkan dengan kekuatan daya ingat yang luar biasa menjadikannya sebagai sosok yang unik, prestisius, dan sulit tertandingi. Dari prestasi inilah, Gus Ishom sering menjadi delegasi Pondok Pesantren Lirboyo di berbagai acara bahtsul masa’il diniyah di berbagai pondok pesantren sebagai wahana ‘uji kemampuan dalam mengkaji dan mengasah analisa dalam menjawab masalah’.

Di Lirboyo, Gus Ishom mendapat julukan “Mbah Wali”, karena beliau tidak pernah hadats, selalu dalam keadaan suci, selalu menjaga wudhu kapanpun dan dimanapun, sehingga jika ingin sholat tidak perlu berwudhu lagi. Hebatnya lagi, Gus Ishom selalu membaca sholawat, bahkan saat mengaji sekalipun. Saat mengaji, tangan menulis makna yang diberikan Kiai sebagaimana tradisi di pesantren, pikiran mencerna dan memahami keterangan dan ulasan kiai, sedangkan mulutnya membaca sholawat.

Ketika musim Ramadan tiba, Gus Ishom pergi ke pondok-pondok lain untuk ‘pasanan’ seperti di Kwagean Kediri Jatim dan Pesantren Kaliwungu Kendal Jateng. Suatu saat beliau pasanan bersama Gus Kafabih (putra KH. Mahrus Ali) mengaji kitab Fathul Wahhab.

Melihat kelebihan dan kecermelangan Gus Ishom ini, beliau pun menjadi pengajar (ustadz) di Pesantren Lirboyo. Menurut penuturan murid sekaligus sahabatnya Gus Umar Shahib, saat mengajar, Gus Ishom jarang membawa kitab, beliau seakan hafal pelajaran yang diajarkannya, seperti fiqh, ushul fiqh, balaghoh, dll. Keterangannya enak dicerna, mudah dipahami, bisa mempermudah hal-hal sulit dan mempunyai muatan sastra yang tinggi. Selain itu, beliau juga dipercaya sebagai mustahiq, bahkan menjadi yang termuda. Mustahiq adalah jabatan yang mengharuskan seseorang bertanggung jawab penuh kondisi satu kelas, sehingga harus menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut.

 Prestasi demi prestasi mengantarkan Gus Ishom menduduki posisi Rais Aam M3HM (Majlis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in), sebuah lembaga yang membawahi seluruh kegiatan bahtsul masa’il di pondok pesantren Lirboyo. Jabatan sebagai Rais Am ini adalah lambang supremasi dan otoritas bidang kitab kuning, disamping menunjukkan kemampuan di bidang kepemimpinan dan management. Waktu itu, Gus Ishom sering menjadi moderator acara bahtsul masa’il. Dengan cerdas, tangkas dan efektif, Gus Ishom mampu memimpin jalannya bahtsul masa’il dengan enak dan segar. Setelah lama menjadi moderator, posisinya naik sebagai tim perumus yang menyimpulkan permasalahan yang ada dan merumuskan jawaban peserta.

Seakan tidak puas dengan ilmu yang didapatkannya, di sela padatnya aktivitas yang harus dijalaninya, Gus Ishom menyempatkan diri menimba dan mencari wacana baru di Perguruan Tinggi. Gus Ishom melanjutkan studi di Universitas Islam Kediri (UNIK) yang sekarang berubah menjadi UNIKA (singkatannya sama). Uniknya lagi, ketika kuliah di UNIK ini, Gus Ishom juga mendaftarkan diri di Universitas Tribakti (Perguruan Tinggi yang berada dinaungan Pondok Pesantren Lirboyo) dan di IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari) Tebuireng. Namun karena padatnya kegiatan, Gus Ishom hanya mampu menamatkan studinya di UNIK saja.

Saat kuliah, Gus Ishom selalu mendapat nilai A. Menurut dosennya, refrensi yang digunakan Gus Ishom tergolong unik. Buku-bukunya rata-rata kuno (ejaan lama, sehingga sulit dibaca) yang luput dari perhatian orang. Menurut adiknya Gus Zakki, hal ini karena Gus Ishom rajin datang di pasar loak untuk mencari buku-buku lama yang tidak ada di pasaran. Buku-buku langka yang ditemukannya sangat membantu untuk menemukan ide dan inspirasi baru, seperti dalam penyusunan skripsi. Inilah yang menjadi salah satu alasan Gus Ishom mendapat tempat sendiri di kalangan para dosen.

Selama kurang lebih 6 tahun beliau sempat menjadi dosen di IKAHA, beliau pernah memberikan desertasi kuliah yang luar biasa tentang kontekstualisasi kitab kuning, bagaimana mencoba mengaktualisasikan khazanah-khazanah kitab-kitab karya ulama terdahulu yang begitu luar biasa banyaknya. Dan gagasan ini adalah sesuatu yang berharga bagi penulis untuk dapat menginterprestasikan kajian-kajian kitab salaf agar dapat di implementasikan pada masa kini. Dan hingga saat ini gagasan itu hanya sebuah wacana dikalangan ulama NU dan belum ditemukan solusi terhadap gagasan tersebut.[1]

Pada tahun 1991, Gus Ishom pulang kembali ke Tebuireng dan bertempat tinggal di Pondok Pesantren Putri Al-Masruriyyah Tebuireng Jombang, peninggalan ibunya Nyai Hj. Masrurah untuk mengamalkan apa yang telah dipelajari selama nyantri di Pondok Pesantren Liboyo Kediri serta pesantren lainnya. Sikap rendah hati, alim, tidak neko-neko membuat Gus Ishom banyak mendapat simpati masyarakat sekitar walaupun baru pulang dari. Kealimannya dalam hal kitab kuning, membuat Gus Ishom bersentuhan langsung dengan karya sang kakek Hadratusyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Beberapa kitab karya Hadratusyaikh beliau terbitkan dan dibaca pada bulan Ramadhan di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diikuti oleh ribuan peserta. Pengajian inilah yang menjadikan kitab-kitab karya Hadratus Syaikh dikenal oleh masyarakat luas.

**Staff Produksi eastjavatraveler.com, alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya


[1] https://www.rmi-nu.or.id/2013/05/gus-ishomuddin-hadziq-sang-penerus.html, (Diakses pada tanggal 10 Nopember 2013)