santri tebuireng
santri tebuireng

Menjadi imam shalat berjamaah merupakan suatu prestasi yang patut untuk dipuji. Karena tidak semua orang bisa menjadi imam, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat menjadi imam shalat di antaranya:

  1. Orang yang shalatnya sah di mata makmum, dalam arti makmum tidak meyakini bahwa orang tersebut telah melakukan hal-hal yang dapat membatalkan sh
  2. Bukan orang yang sedang bermakmum kepada orang lain.
  3. Orang yang bisa membaca surah al-Fatihah dengan benar, dalam arti mampu mengucapkan huruf-hurufnya sesuai dengan makhrajnya serta memperhatikan bacaan tasydid
  4. Orang yang tidak wajib mengulangi shalatnya, sehingga mengecualikan orang yang bersuci dengan cara bertayamum di daerah yang umumnya ada air.

Ketika seorang imam tidak memenuhi syarat-syarat di atas maka shalatnya makmum tidak sah.

Juga karena status seorang imam adalah matbu’ (yang diikuti), sedangkan status seorang makmum adalah tabi’ (yang mengikuti), yang mana derajat matbu’ pasti lebih tinggi dibanding tabi’. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kaidah fikih yang berbunyi:

الْتَّابِعُ لَايَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ

Artinya: “Sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang diikutinya”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kaidah fikih di atas memunculkan peraturan bahwa posisi makmum tidak boleh lebih depan dibanding posisi imam dan takbiratul ihramnya makmum tidak boleh mendahului takbiratul ihram-nya imam. Sehingga ketika makmum menyalahi peraturan ini maka salatnya tidak sah.

Meskipun derajat seorang imam lebih tinggi dibanding makmum, orang yang menjadi imam tidak patut untuk bertindak seenaknya. Akan tetapi ada beberapa kepentingan makmum yang layak diperhatikan oleh imam. Dengan bukti adanya kesunahan-kesunahan bagi imam yang berkaitan dengan kepentingan makmum.

Kesunahan Bagi Imam Terkait Kepentingan Makmum

Sunnah menunggu makmum

Disunahkan bagi imam untuk menyengaja menunggu seseorang yang hendak bermakmum kepadanya. Akan tetapi untuk mendapatkan kesunahan ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya:

  1. Sesuai dengan waktu pelaksanaannya, yakni saat imam berada di posisi rukuk, dengan tujuan supaya orang yang ditunggu dapat menemui satu rakaat shalat, atau berada di posisi tasyahud akhir, dengan tujuan supaya orang yang ditunggu dapat mengikuti shalat berjamaah.
  2. Tidak khawatir bahwa dengan menunggu orang tersebut dapat menyebabkan keluarnya sebagian shalat dari waktunya, dalam arti dia melaksanakan shalat di akhir waktu.
  3. Yang ditunggu merupakan orang yang sedang masuk ke tempat shalat berjamaah, seperti masjid, mushola, lapangan, atau bangunan biasa. Ketika tempat shalatnya berada di lapangan maka dengan dia mendekati barisan paling belakang.
  4. Tujuan menunggu tersebut harus karena Allah SWT, dalam arti dia tidak memiliki tujuan lain, seperti mencari simpati, selain supaya orang yang dia tunggu bisa menemui satu rakaat atau melaksanakan shalat berjamaah.
  5. Tidak terlalu lama dalam menunggu, dianggap terlalu lama adalah dengan semisal semua bagian-bagian shalat dikumpulkan, seperti berdiri, sujud, rukuk, dan selainnya, maka umumnya orang mengatakan shalat tersebut lama.
  6. Tidak membeda-bedakan orang yang ditunggu, meskipun dengan keilmuan orang tersebut.
  7. Menduga di dalam hati bahwa orang yang ditunggu memang ingin bermakmum kepadanya.
  8. Menduga di dalam hati bahwa orang yang ditunggu mengikuti pendapat yang mengatakan sudah dianggap satu rakaat dengan menemui rukuknya imam.
  9. Menduga di dalam hati bahwa orang yang ditunggu melaksanakan takbiratul ihram dengan benar, yakni dilaksanakan dengan posisi berdiri.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum menunggu ketika tidak memenuhi syarat-syarat di atas. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa ketika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka hukum menunggu orang tersebut adalah makruh.

Berbeda dengan imam Muhamad bin Ahmad As-Syirbini yang masih memerincinya, yakni ketika tidak memenuhi syarat bahwa menunggu saat berada di posisi rukuk dan tasyahud akhir maka hukumnya makruh, ketika tidak memenuhi syarat selainnya maka hukumnya khilaful aula (membedai yang lebih baik).

Disunahkan juga bagi imam untuk menunggu makmum yang tertinggal dari gerakannya sebab adanya udur, seperti tidak mampu membaca surat Al-Fatihah secara normal, sehingga butuh waktu agak lama untuk menyempurnakan bacaannya. Atau makmum yang berdesak-desakkan, sehingga untuk melaksanakan rukuk dan sujud perlu bergantian.

Kesunahan ini dilakukan oleh imam saat berada di posisi sujud kedua. Dengan tujuan supaya makmum tersebut bisa menemui satu rakaat salat bersama imam. Karena makmum semacam ini diperbolehkan baginya untuk tertinggal dari gerakannya imam dengan batas maksimal tiga rukun tawil, yakni rukuk dan dua sujud, sehingga ketika imam hendak bangun dari sujud kedua dia harus sudah berada di posisi rukuk.

Imam Meringankan Shalat

Disunahkan juga bagi imam untuk meringankan shalatnya, kesunahan ini berlandasan hadist nabi Muhammad SAW:

إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ الْنَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ. فَإِنَّ فِيْهِمْ الْضَعِيْفَ وَالْسَّقِيْمَ وَذَا الْحَاجَةِ وَإِذَا صَلَّى اَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ

Artinya: “Jika salah satu dari kalian menjadi imam, hendaknya meringankan shalat. Karena di antara makmum-makmum kalian terdapat orang yang lemah, orang yang sakit, orang yang memiliki kesibukan. Ketika kalian salat sendiri, hendaknya memanjangkan shalat semampu kalian”.

Yang dimaksud dengan meringankan shalat adalah dengan tetap mengerjakan sunah-sunah ab’ad dan hai’at shalat. Akan tetapi tidak menyempurnakan sunah-sunah tersebut, seperti membaca tasbih saat rukuk dan sujud sebanyak sebelas kali, juga tidak paling sedikitnya, seperti membacanya satu kali saja, namun paling rendahnya sempurna, yakni membacanya sebanyak tiga kali.

Hukum memanjangkan shalat bagi imam ialah makruh, yakni dengan menyempurnakan sunah-sunah dalam shalat. Kecuali ketika makmumnya ialah orang-orang tertentu dan terbatas, dan mereka rela untuk memanjangkan shalatnya, maka hukum kemakruhannya tidak berlaku lagi.

Terdapat beberapa kesunahan yang dikecualikan dari kemakruhan ini, yakni kesunahan-kesunahan yang disebutkan secara tertentu dalam hadist nabi ataupun al-Quran. Seperti membaca surat Alif Lam Mim As-Sajadah dan surat Hal Ataa saat shalat subuh di hari Jum’at, maka hukum mengerjakannya tidak makruh.

Sekian pembahasan kali ini, yang mana dari penjelasan di atas kita dapat mengambil satu pelajaran, yakni seoarang pemimpin, termasuk imam salat berjama’ah, harus memiliki sifat loyalitas. Tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, namun juga harus memikirkan kepentingan pengikutnya. Di sinilah sifat bijak seseorang muncul.


Ditulis oleh Dicky Feryansyah, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 Malang