Oleh: Aros*

Pada tahun 1309 H/1893 M, pasca meninggalnya sang istri Nyai Khodijah binti KH. Ya’qub Siwalan Panji dan putranya yang masih 40 hari menghirup udara dunia, Kiai Hasyim memutuskan kembali ke Mekkah untuk menuntut ilmu. Kali ini, Ia mengajak Anis, adiknya ikut ke sana. Tak berselang lama, lagi-lagi cobaan datang silih berganti, Anis juga dipanggil Allah SWT. Gejolak jiwa mulai menggerayuti Kiai Hasyim. Kesendiriannya sering diisi dengan beribadah dan berkhalwat di Gua Hira dan Masjidil Haram.

Tak mau terlalu bersedih, Kiai Hasyim justru semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa dengan meningkatkan ibadah di Masjidil Haram. Setiap sabtu pagi, ia ke Gua Hira untuk napak tilas perjuangan Rasulullah SAW. Di samping itu juga, waktunya digunakan untuk menghafal hadis-hadis dan mengkhatamkan bacaan al-Quran. Selama enam hari, ia berada di Gua Hira dan turun pada hari Jumat untuk menunaikan shalat Jumat di Masjidil Haram. Kegiatan ber-tahanuts ini dilakukan olehnya di Gua Hira di Jabal Nur itu, berlangsung selama berbulan-bulan. Sesekali juga ia menziarahi makam Rasulullah SAW.

Seiring waktu, melupakan kesedihan yang bertubi-tubi, gairah belajar Kiai Hasyim malah makin tinggi. Seakan tak mau menyiakan kesempatan, Kiai Hasyim belajar kepada sederet ulama ternama di Tanah Haram, seperti Syaikh Syu’aib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudz at-Turmusi, Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Amir al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadhal.

Sejumlah Sayyid juga pernah menjadi gurunya, di antaranya ada Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Aththas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyati, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang merupakan juru fatwa di Mekkah. Dari sekian guru tersebut, yang paling berpengaruh dalam keilmuannya adalah Sayyid Alawi bin Ahmad as-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syaikh Mahfudz at-Turmusi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tak hanya disitu saja, setelah 7 (tujuh) tahun menimba ilmu di Mekkah, keilmuan Kiai Hasyim telah diakui, sehingga ia diminta mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama ternama pernah belajar kepadanya, seperti Syaikh Sa’dullah al-Maymani India, Syaikh Umar Hamdan, al-Shihab Ahmad bin Abdullah dari Suriah, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Raden Asnawi Kudus, KH. Bisri Syansuri, KH. Dahlan Kudus, dan KH. Saleh Tayu. Hal itu menunjukkan bahwa Kiai Hasyim telah diakui keilmuannya.

Jauh sebelum itu, keilmuannya sudah terasah di berbagai pesantren, seperti di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis dan Darat di Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan, dan lain sebagainya. Sejak kecil ia juga sudah ditempa oleh sang kakek, Kiai Utsman di Pesantren Gedangan Jombang, sebelum akhirnya dididik oleh ayahnya, Kiai Asy’ari di Pesantren Keras. Seumuran anak yang suka bermain, Hasyim kecil dan remaja, sangat semangat berkutat dengan kitab-kitab dalam berbagai disiplin. Usia belasan sudah dipercaya sang ayah mengajar santri-santri Keras.

Dari sekian pesantren itu, paling berpengaruh terhadap bimbingan mental kiai Hasyim adalah Pesantren Kademangan Bangkalan di bawah asuhan Syaikhona Kholil. Selain digembleng soal ilmu alat atau gramatika Arab. Juga soal kemampuan non akademik, atau kompetensi lain, seperti merawat kuda, kambing, dan lain-lain. Bahkan bangunan mental Hasyim muda kala itu bergelora karena tegasnya sifat Kiai Kholil.

Pesantren yang cukup mempengaruhi kehidupan ilmu lain dari Kiai Hasyim adalah Pesantren Siwalan Panji asuhan Kiai Ya’qub. Kiai Ya’qub sukses mengubah persepsi Kiai Hasyim soal mencari ilmu secara buta, tanpa memperhatikan hal-hal lain, seperti menikah dan mengajar. Atas bimbingan Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim sadar bahwa menikah sebagai kodrat manusia tidak menghalangi proses pencarian ilmu seseorang.

Benar adannya, setelah dinikahkan dengan putri Kiai Ya’qub, Nyai Khodijah, Kiai Hasyim malah punya kesempatan berangkat ke tanah haram seperti yang diidam-idamkan. Satu titik langkah yang sangat berharga bagi kehidupan Kiai Hasyim dalam proses keilmuannya hingga kelak menjadi ulama besar.

Di Mekkah pada akhir-akhir waktu di sana, Kiai Hasyim bertemu Kiai Romli dari Pesantren Kamuning Bandar Mojoroto Kediri. Kiai Hasyim menikah dengan putrinya Nyai Nafisah. Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Nafishah saat keduanya berada di Mekkah. Sayang dari pernikahan kedua ini Kiai Hasyim belum dikaruniai anak sampai Nyai Nafishah meninggal dua tahun setelah menikah.

Pada tahun 1899 Kiai Hasyim pulang ke Tanah Air, kembali ke Pesantren Keras untuk mengajar, di samping membantu mengajar di Pesantren Kemuning Kediri milik mertuanya. Saat belajar di Mekkah dan Madinah periode kedua, yaitu tahun 1894-1899 (dalam riwayat lain 1893-1899), Kiai Hasyim belajar dengan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Jamalauddin al Afghani dengan Pan Islamismenya. Bahkan dalam keterangan Zamakhsyari Dhofier (94; 93-94), Syaikh Khatib menganjurkan murid-muridnya mempelajari pemikiran pembaharu Muhammad Abduh. Pemikiran ulama-ulama salaf sudah dikuasai, ditambah pengetahuan tentang perkembangan umat Islam dunia melalui para pembaharu Islam juga didapatkan.

Dalam keterangan yang ditulis oleh As’ad Shihab dalam bukunya yang diterjemahkan Gus Mus, “KH. Hasjim Asj’ari, Ulama Besar Indonesia”, disebutkan bahwa Kiai Hasyim dan para pemuda Nusantara (selanjutnya menjadi Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura, Thailand Selatan, dan Filiphina Selatan), pemuda dari negara-negara Arab atau Timur Tengah, negara-negara Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika membahas perjuangan dalam membebaskan umat Islam yang tersebar di beberapa negara yang terjajah oleh Bangsa Eropa.

Sayang sekali, dalam diskusi itu, masih belum ditemukan data soal perbincangan khusus pemuda Nusantara yang membahas kemerdekaan atau sekedar kehidupan merdeka bagi penduduknya, bebas dari penjajahan Belanda (Eropa). Diskusi lebih terfokus pada nasib Umat Islam. Tetapi menurut Aguk Irawan, penulis novel Penakhluk Badai, menjelaskan bahwa nasionalisme para pelajar dari negara-negara Islam di sana sangat dipupuk, karena spirit yang sama, termasuk Kiai Hasyim. Namun, memang bukti konkrit itu tidak ditemukan, berbeda dengan para pelajar Nusantara di Belanda.  Pergerakan mereka terekam sejarah dan terlihat hasilnya. Namun, menurut Aguk, pelajar Indonesia di Timur Tengah, termasuk Hijaz juga mengalami pergolakan yang sama.

Cara Kiai Hasyim memperlakukan ilmu dituangkan dalam sebuah kitab rangkuman bernama Adab al Alim wa al Muta’allim. Kitab yang seyogyanya jadi rujukan bangunan akhlak pelajar di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan pesantren. Memuat adab murid dan guru, serta paket adab belajar-mangajar. Bangunan keilmuan itulah kelak yang menjadi landasan utama bagi sang Maha Guru, Hadratussyaikh, memimpin Tebuireng, merawat umat Islam, dan menjadi guru bangsa.


*disarikan dari berbagai sumber