Kalau ada satu buku dengan fokus pembahasan Islam rahmatan lil’alamin yang cocok dibaca para pemuda di era sekarang, Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis karya Rusdi Mathari adalah jawabannya. Sebetulnya saya juga menyarankan buku ini untuk semua kalangan. Kendati di sini saya tekankan kepada “pemuda”, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Soekarno—“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,”—bahwa pemuda, dengan kekuatannya (baca: pengaruhnya) memegang peranan penting dalam hidup bermasyarakat. Terlebih di era bikin-konten-lalu-posting seperti sekarang ini. Apa yang terjadi jika seorang pemuda memiliki pemikiran serta pandangan negatif, semacam kesalahpahaman terhadap dogma keliru tentang agama yang dianutnya?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan teknologi membuat semua orang dengan gampang menjangkau berbagai informasi melalui gawainya. Tak terkecuali pemuda yang awam perkara agama. Banyaknya ustadz-ustadz dadakan yang berseliweran di beranda Instagram dan Youtube memanglah merupakan sebuah kemajuan. Akan tetapi jika yang disampaikan dalam dakwahnya malah seputar larangan-larangan, bidah-bidah, dan pembawaan yang kelewat mengerikan, besar kemungkinan itu akan memberi pengaruh buruk terhadap pola pikir pemuda dengan pemahaman yang awam pasal agama.
Klaim Islam rahmatan lil alamin, yakni Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam, pun seakan-akan rasanya patut dipertanyakan di era gawai sekarang ini. Sudah bukan merupakan suatu rahasia bahwa di Indonesia, Islam terbagi ke dalam beberapa paham, atau lebih familier jika disebut dengan organisasi.
Berangkat dari perbedaan organisasi itu, secara sirriyah melalui khotbah di masjid masing-masing, ironisnya mereka berkhotbah bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta sembari mencibir dan menghardik orang-orang yang berbeda paham dan keyakinan sebagai bahaya yang mengancam. Sebagian dibungkus dengan kalimat yang santun, sebagian disampaikan dengan bahasa yang centang-perenang seperti hendak mengajak perang.
“Seolah hanya mereka yang paham ilmu agama dan karena itu layak menjadi penghuni surga, meskipun yang terjadi sesungguhnya, hati mereka sudah lebih dulu terbakar oleh kemarahan dan kesumat.” (hlm.20)
Menanggapi sikap-sikap semacam itu, Rusdi Mathari dalam buku ini mengatakan bahwa kebencian, dendam, dan fanatisme memang bisa muncul dari kelompok mana saja tanpa alasan apa pun. Selanjutnya, melalui lembar demi lembar yang tertoreh dalam buku, kita perlahan-lahan diajak memahami bagaimana seharusnya “manusia beragama.” Semakin dalam pemahaman yang benar dalam beragama seyogyanya menjadikan diri kita sebagai seseorang yang punya rasa kemanusiaan yang lebih ketimbang sebelumnya.
Rasa kemanusiaan itu juga tertuang dalam buku ini melalui kisah-kisah zaman nabi dan petuah-petuah khas khotbah jumat, yang mampu membikin kita terhenyak dan melakukan refleksi pada diri sendiri. “Sudah benarkah pemahaman kita tentang Islam yang rahmatan lil’alamin?”
Dalam judul Gereja, Rusdi Mathari mengajak kita menyoroti kisah kelam jalur Gaza yang dibombardir habis-habisan oleh Israel. Sehari setelah peluru kendali Israel menghantam Gaza dan membunuh ratusan orang Palestina termasuk warga Kristen, Pastor Manuel Musallam dari gereja Latin Palestina menyeru, “Bila Israel membom masjid kalian, azanlah dari gereja kami.”
Kejadian yang menimpa Palestina saat itu memang tidak sesederhana seperti hal-nya yang ditafsirkan oleh banyak orang, termasuk kaum muslim. Di sana, bom Israel tidak membedakan Muslim dan Kristen, dan Palestina ternyata tidak identik dengan Islam. Di Gaza dan tempat lain di Palestina, masjid berdiri di samping gereja. Gereja berdiri di samping masjid.
Tawaran Manuel kepada kaum Muslim Palestina untuk berazan di gerejanya, membuat kita teringat kepada kaum muslim pada awal kenabian Rasulullah.
Ketika sedang tidak berdaya diperangi oleh kaum musyrik, Nabi Muhammad saw. memerintahkan sebagian pengikutnya untuk meminta perlindungan ke gereja di Ethiopia, dan benar gerombolan pengikut itu dilindungi di sana.
Karena itu amat menyedihkan, mengetahui di sini, atas nama agama, orang-orang dengan gagah memberangus gereja: melarang pendiriannya dan membongkar yang sudah berdiri, seolah memuji Tuhan adalah perilaku terkutuk.
“Islam adalah agama yang membenarkan ajaran-ajaran Taurat, Zabur, dan Injil. Tak ada satu kata pun di redaksi Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang memerintahkan, menyarankan, atau menyerukan kepada orang-orang beriman untuk merusak dan menghancurkan tempat ibadah apalagi gereja, dengan dalih apa pun.” (hal.25)
Setidaknya dari satu saja kisah, satu saja kisah, di buku ini yang dibaca oleh pemuda-pemuda open minded di luar sana, pemahaman tentang Islam yang toleran mungkin menjadi konten sejuk yang menghiasi beranda media sosial kita hari ini. Bagaimana pun, seperti yang tertulis di halaman 101, bahwa urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama.
Membaca buku ini rasanya seperti mendapat sekotak donat dengan berbagai macam rasa. Kumpulan tulisan mengenai Islam rahmatan lil’alamin, yang jika dikonsumsi bakal terasa menyenangkan, lembut, dan santun. Rusdi Mathari melalui buku ini ingin menunjukkan bahwa beragama sebenarnya ditujukan untuk kemanusiaan. Bukan malah membatasi empati kita terhadap sesama manusia.
Apa yang ingin disampaikan oleh Rusdi Mathari melalui Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis, sudah seyogyanya diteruskan oleh pemuda-pemudi, terlebih para kreator konten di luar sana. Agar arus utama yang memanas, yang biasanya diisi dengan pemahaman Islam yang cenderung radikal bisa tergeser menjadi Islam yang rahmatan lil’alamin.
Judul Buku: | Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis |
Penulis: | Rusdi Mathari |
Penerbit: | Mojok |
Cetakan: | IX, Desember 2021 |
ISBN: | 978-602-1318-80-5 |
Tebal: | viii + 115 halaman |
Peresensi: Achmad Uzair Assyaakir