ilustrasi toilet

Jamak diketahui bahwa Islam memiliki perhatian besar terhadap kebersihan. Hal ini bisa dibuktikan, salah satunya dengan melihat beberapa literatur fikih. Umumnya, para ulama menuliskan pada bagian awal, satu tema khusus mengenai tata cara bersuci.

Misalnya, kita bisa melihat keterangan Ibnu Qasim al-Ghazi, di dalam kitab Fathul Qarib berikut:

فَصْلٌ فِي الِإسْتِنْجَاءِ وَأَدَابِ قَاضِي الحَاجَةِ

Fasal di dalam menjelaskan perihal hukum cebok dan ragam etika yang berkaitan dengannya.”

Dalam hal ini, beliau hendak menjelaskan seputar salah satu cara bersuci, yakni bercebok. Pembaca bisa mengecek keterangan ini, tepatnya setelah pembahasan seputar ketentuan berwudhu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara sederhana, bercebok berarti menghilangkan atau meminimalisir najis dari tempat keluar air seni dan kotoran. Dalil mengenai bercebok, misalnya kita bisa melihat sabda Nabi:

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيْبُ بِهِنَّ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

Tatkala kalian pergi buang hajat, maka hendaklah membawa tiga batu untuk cebok. Karena tiga batu tersebut mencukupi untuk cebok.” (H.R. Imam Abu Dawud).

Kita tahu sendiri, zaman dahulu, batu adalah salah satu alat untuk digunakan bercebok selain adanya air. Terlebih, wilayah Timur Tengah pada saat itu hampir secara keseluruhan adalah bentangan padang pasir. Jumlah air tidak begitu melimpah.

Berbicara mengenai bercebok, tentunya kita tidak bisa melupakan pembahasan seputar alat untuk bercebok. Secara dasar, air adalah alat yang digunakan untuk bercebok. Karena, status air sendiri adalah alat utama dalam kegiatan bersuci, baik itu wudu, cebok atau yang lain.

Tidak hanya air, sesuai dengan keterangan sebelumnya, cebok bisa menggunakan setiap benda yang memiliki karakter keras dan kasar yang bisa digunakan untuk menghilangkan najis. Batu adalah salah satunya.

Dari sini, kemudian kita bisa juga membahas seputar benda-benda yang tidak bisa digunakan untuk bercebok. Salah satunya adalah benda-benda yang secara esensi memang dihukumi najis. Mengapa tidak boleh? Jelas alasannya, yakni malah menambah najis yang ada.

Alat lain yang tidak bisa digunakan untuk bercebok, bahkan haram hukumnya adalah makanan yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Misalnya roti atau yang lain. Untuk alasannya, mungkin pembaca bisa menebaknya?

Etika Buang Hajat

Setelah ini, kita akan membahas seputar etika-etika yang perlu diperhatikan oleh orang yang hendak buang hajat. Kiranya kita akan membagi menjadi tiga poin sebagaimana di bawah ini,

Pertama, berkaitan dengan lokasi buang hajat. Kedua, berkaitan dengan proses masuk dan keluar dari lokasi buang hajat. Ketiga, berkaitan dengan arah di saat melaksanakan buang hajat.

Lokasi Buang Hajat

Untuk poin pertama, ada tiga etika yang akan disampaikan.

Pertama, seorang tidak diperkenankan buang hajat di jalan atau lokasi-lokasi yang umum terdapat banyak orang. Alasannya sederhana, karena akan menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan bagi banyak orang. Mengenai hukumnya, kebanyakan ulama mengatakan sekedar makruh, namun ada juga yang mengatakan haram.

Kedua, seorang tidak diperkenankan buang hajat di bawah pohon yang berpotensi berbuah. Hal ini untuk menghindari efek negatif dari adanya kotoran yang ada. Bisa jadi, buah yang terjatuh dari pohon akan mengenai kotoran atau air kecing yang ada di sekitar pohon tersebut. 

Mengenai hukumnya, kebanyakan ulama mengatakan sekedar makruh. Alasannya sederhana, ketidakpastian najis tersebut mengenai buah yang jatuh dari pohon tersebut. Jadi, ulama tidak sampai mengharamkan seseorang buah hajat di bawah pohon.

Ketiga, seorang tidak diperkenankan buang hajat di air yang diam, di mana jumlah air tersebut dalam keadaan sedikit. Secara hukum, ulama mengatakan makruh. Hal ini meninjau adanya hadis Nabi:

أَنَّهُ ‌نَهَى ‌أَنْ ‌يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ

Nabi melarang untuk kencing di air yang diam.” (H.R. Imam Muslim).

Pemahamannya, kencing saja dilarang, apalagi buang hajat. Namun, sekali lagi, secara dasar hukumnya sekedar makruh. Tetapi, ada saja ulama yang mengatakan bahwa hal tersebut dihukumi haram. Salah satu ulama yang mengatakan haram adalah Imam an-Nawawi.

Masuk Tempat Buang Hajat

Untuk poin kedua, kiranya dicukupkan dengan tiga contoh.

Pertama, hendaknya orang yang hendak masuk kamar mandi, mendahulukan kaki kiri. Sedang ketika keluar, maka mendahulukan kaki kanan. Praktik ini sesuai dengan arahan Nabi sebagaimana berikut,

أَنَّ مَنْ بَدَأَ بِرِجْلِهِ اليُمْنَي قَبْلَ يَسَارِهِ إذَا دَخَلَ الخَلَاءَ ابْتَلَيْ بِالفَقْرِ

Orang yang memasuki kamar mandi dengan kaki kanan terlebih dahulu, maka dia akan dilanda kefakiran.” (HR. Imam Turmudzi).

Kedua, tidak membawa sesuatu yang terdapat nama Allah Swt. atau nama-nama yang agung, misalnya nama Nabi. Hal ini berdasar keterangan Nabi:

‌كَانَ ‌إِذَا ‌دَخَلَ ‌الْخَلَاءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ

Ketika Nabi masuk kamar mandi, maka beliau mencopot cincin.” (H.R. Imam Ibnu Majjah).

Kita tahu sendiri, cincin Nabi itu tertuliskan:

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Ketiga, membaca doa sebelum dan sesudah memasuki kamar mandi. Mungkin untuk bacaan doa ini sudah jamak diketahui, sehingga tidak perlu dicantumkan pada poin ketiga kali ini.

Arah Ketika Buang Hajat

Poin ketiga, akan disebutkan satu contoh saja.

Pertama, seseorang yang sedang buang hajat itu haram hukumnya menghadap atau membelakangi kiblat. Namun, untuk poin pertama ini ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.

Misalnya, lokasi seseorang buang hajat tidak ada penutup bagi auratnya. Atau lokasi yang ada sebenarnya tidak diperuntukkan untuk buang hajat. Penutup auratnya berjarak lebih dari satu setengah meter. Lebih jelasnya, pembaca bisa mengecek di beberapa literatur fikih.

Demikianlah pembahasan seputar buang hajat dan ragam etika yang berkaitan dengannya. Semoga wawasan yang ada, bisa kita praktekkan di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menambah kualitas ibadah kita. Sekian, terima kasih.


Refrensi:

Kitab fathul Muin karangan Imam Zainuddin al-Malibari.

Kitab Fikih Manhaji karangan Dr. Mustafa Bugho dkk.

Kitab Fathul Qarib karangan Ibnu Qasim al-Ghazi.


Ditulis oleh: Moch. Vicky Shahrul H, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo