ilustrasi: muslimah (liputan6)

Oleh : Salma Anindria Putri*

“Wes nduk sesok mulio…” Kalimat terakhir yang keluar dari mulut bapak sebelum akhirnya telepon itu ditutup.

Dengan langkah lunglai aku berjalan gontai menuju kamarku kembali. Aku tak habis pikir mengapa bapak dengan mudahnya mengambil keputusan seperti itu. Keputusan yang tak pernah ku inginkan sebelum semua mimpiku tercapai.

“Lho Rin,, kok nglamun wae enek opo awakmu?” celetuk Nada membuyarkan lamunanku.

“Eh Da, hehe ko ngendi wae awakmu kok lagek bali nang kamar.” sahutku sekenanya tanpa menjawab pertanyaan Nada.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Aku umbah-umbah Rin, akeh cucianku ngasi ngalahke sakduwure gunung. Rasane awak iki wis koyo pemuda jompo wae angger sak banjure nyuci…” jawab Nada panjang lebar dengan khas gaya bicaranya yang begitu konyol.

Nada memang begitu, salah satu santriwati yang terkenal di telinga kang-kang santri karena kekonyolannya. Dia suka bercanda, sumringah terus pembawaannya, dan selalu mengada-ngada cerita untuk menghibur teman-temannya. Tapi, Nada juga baik hati, perawat yang juga baik. Nada memiliki sifat keibu-ibuan, sehingga tak pelak ia sangat gati merumat semua teman-temannya kala musim sakit melanda di setiap sudut kamar pesantren.

“Weeh,, pertanyaanku mau durung mbok jawab Rin, hayoo ngopo awakmu kok melamun wae…”

“Eleh gapopo Nad. Nganu, ngantuk mau hehehe…” kataku.

“Ya Allah Rin, iki iseh jam 10 isuk kok wis ngantuk wae. Ikilo mbok yo koyo aku nyuci ben seger awak e ora waton lemes ngantukan ngunu hahaha…” ledek Nada padaku.

“Alaaah, awakmu dewe sambat yen banjur nyuci rasane koyo pemuda jompo ngunu hahaha…” jawabku geram karena Nada terus meledek diriku.

“Woo, tapi aku jompo ngene sek tangguh Rin. Sek tangguh menghadapi mas Ahmad yang meninggalkan cintaku haha. Uwes Rin, ta njemur baju-bajuku disek. Awakmu ojok nglamun wae. Babay Rin…”

Nada sudah sejak empat tahun silam memendam perasaannya terhadap salah satu kang santri  di sini yang dikenal sebagai sopir Abah Yai terbaik. Kang Ahmad juga merupakan sosok ustadz yang mengajar kitab Alfiyah Ibn Malik di pondok putri.

Kang Ahmad memiliki gaya penyampaian yang lugas, mudah dipaham, dan santun sekali. Maka dari itu Nada tergila-gila benar dengan Kang Ahmad. Tapi sayangnya, kang Ahmad tak pernah menggubris kegemaran Nada padanya. Mangkanya, tak jarang Nada menyampaikan kegeramannya pada kang Ahmad.

*****

Esok adalah hari terakhirku singgah di pesantren ini. Dengan dalih manut pada bapak aku harus boyong dan dijodohkan dengan laki-laki yang tak pernah kuketahui asalnya dan tak pernah kukenal sebelumnya.

Padahal, niat hati sebetulnya aku akan melanjutkan di pesantren dengan menimba ilmu-ilmu kitab ulama salaf sebanyak-banyaknya dan bersungguh-sungguh mempelajari ilmu umum dengan nyambi kuliah.

Kebetulan, aku diterima di salah satu universitas ternama yang lokasinya tepat bersebelahan dengan pesantren. Aku diterima di jurusan Manajemen Bisnis Syariah. Sangat menarik bukan, apabila aku benar menjadi S1 dengan gelar Sarjana Bisnis Manajemen. Hal itu menunjukkan sekali bahwa santriwati tak hanya menjadi ibu rumah tangga yang terfokus pada tugas liniernya yakni urusan dapur setelah ia menikah.

Tapi, santriwati juga bisa menjadi wanita independent yang turut berkiprah membantu ekonomi keluarga. Apalagi, jikalau samtriwati dapat membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan-perempuan lain diluaran sana. Sungguh bagus bukan. Selain menjadi istri sholihah, wanita juga dapat menjadi perempuan yang terus beramal dan membantu terhadap sesama.

Tetapi, toh mau bagaimana lagi. Aku bukan berasal dari keluarga yang awam. Bapakku memiliki jiwa didikan yang keras sehingga aku sama sekali tak berani melawannya ketika beliau sudah ngendikan.

Meski sejujurnya, sangat berat hati ini menerima kenyataan. Dikala santriwati seusiaku masih menikmati masa-masa nikmatnya mengaji, indahnya belajar di bangku perkuliahan. Aku sudah harus segera melepas masa lajang dan diperistri oleh orang yang sama sekali tak ku kenal.

Andai saja ibu masih sugeng aku pasti sudah menceritakannya di depan ibu dengan sesenggukan air mata yang bercucuran. Ibuku meninggal sejak aku berusia 11 tahun. Saat itu, ibu sedang menunaikan ibadah haji ke Baitullah bersama bapak. Ibu diduga kelelahan dan meninggal di sana.

Sedih sekali rasanya diusia yang seharusnya aku dapat berbagi cerita bersama ibu, mendengar nasihat-nasihatnya, tapi sudah harus ditinggalkan oleh ibu. Tetapi aku juga bahagia ibu meninggal di tanah suci bertepatan dengan beliau melaksanakan ibadah haji.

***

“Mohon perhatian, kangge santriwati ingkang paring asmo Arina Zubaidi, kasuwun dateng ruang panggilan,” suara salah satu pengurus memberi informasi.

Kulihat jam pukul 07.00 pagi. Sepagi ini bapak menjemputku. Segera aku menuju ruang panggilan untuk menemui beliau.

“Assalamualaikum bapak…” sambil salim kucium punggung tangannya.

“Waalaikumussalam nduk.” Aku duduk disamping beliau seraya diam tanpa membuka pembahasan apapun.

“Nduuk…” panggil bapak.

“Dalem bapak…” jawabku dengan begitu tunduk dan pelan sekali.

“Sampean seng legowo ya, seng ikhlas kanthi linambaran ati jembar. Bapak pirso yen sampean abot. Nanging, bapak milih niki kangge keapikan sampean nduk..” dawuh bapak seraya mengelus kepalaku.

Dengan memantapkan hati, kuberanikan bertanya kepada bapak. “bapak, menawi panjenengan kerso ngendikan, enten nopo kok tiba-tiba kulo dijodohaken…”

“Sing penting saiki sowan disek nduuk, mengko bapak cerito.” Percakapan ini berakhir dan aku bersama bapak matur sowan dumateng Abah dan Ummah.

***

Aku sedang menyiram bunga disamping teras rumah. Tiba-tiba bapak ngendikan, “dadi nduk, bapak pas kae sowan marang Kiaine bapak. Kiai dawuh yen bapak ken nikahke sampean kaleh putrane Kiai bapak. Bapak mboten wantun nolak nduuk, nopo sing sampun didawuhaken Kiai nggeh niku dungo seng ijabah tur mbarokahi nduuk.”

“Bukankah itu berarti aku akan menjadi istri dari putra kiai? aku bukan siapa-siapa. Aku bukan lahir dari keluarga darah biru. Aku bukan golongan nawaning. Mengapa kiai bapak dawuh demikian?” gumamku.

Selang tak begitu lama, bapak menghampiriku sembari mengelus kepalaku, “nduuk,, manuto kanthi ati sing legowo. Yakin marang gusti pengeran yen iku takdir kang mbarokahi.

***

Qobiltu Nikahaha Wa Tazwijaha Bimahril Madzkur Haalaan. Akhirnya, aku SAH menjadi istri sosok gus dari kiai bapak. Aku resmi melepas masa lajangku.

Hari ini adalah hari seminggu pernikahanku, meski sebenarnya kami sangat canggung untuk berinteraksi, kami tetap mencoba untuk saling bersikap layaknya suami istri. Kuakui, suamiku, Mas Akhfas adalah pribadi yang santun dan penuh pengertian. Meski pernikahan kami masih seumur jagung, aku merasakan ada yang tumbuh perlahan dalam hatiku. Aku selalu terpana dengan apapun yang dia lakukan. Sikapnya, cara makannya, tidurnya, dan apapun itu tentangnya.

“Dek,” panggil mas Akhfas padaku.

“Inggih dalem gus…”

“Aku iki bojomu, mbok yo mas lek nimbali…”

“Inggih dalem mas…” jawabku sambil menahan senyum yang tak dapat kusembunyikan.

“Sesok melu mas ya.. teng butik e almarhum ibuk.”

“Inggih gus, eh mas.”

“Mas kepingin masrahake butik niku kangge sampean dek, sampean kelola sampean openi kanthi nastiti. Almarhum ibuk sien ngendikan ken masrahaken mantune. Mboten nopo nggih dek,” kata mas Akhfas yang kini menyandarkan dagu dibahuku.

Aku tak langsung menjawab tawaran itu, aku bukan seseorang yang pantas mendapat warisan itu, aku bukan ahli waris dari keluarga mas Akhfas. Namun sepertinya mas Akhfas mengetahui apa yang sedang kupikirkan.

“Dek, sampean ndak usah bingung. Enten mas ten mriki. Sampean kantun nderek nopo ngendikane mas…” kata mas Akhfas begitu lembut di telingaku himgga kurasa hangat desah nafasnya.

“Inggih mas, ngestuaken dawuh.” jawabku seraya menikmati pelukan mas Akhfas.

***

Setelah kurenungi, ternyata dawuh manut nekaake barokah dari banyak kiai memang nyata terwujudnya. Dalam manut menyimpan seribu fadhol anugerah dari gusti Allah. Aku tak pernah mengerti akan garis takdir tuhan yang tertulis padaku. Aku hanya percaya penuh akan barokah dari kata manut.

Sebagai penutup dari kisahku, aku ingin menyampaikan bahwa memang terkadang tuhan sengaja menghancurkan rencanamu agar rencanamu tidak menghancurkanmu.