Sapto adalah mantan pezina. Dulu waktu di dunia, ia “jajan” setiap malam di belakang gedung DPR. Sekarang ia tinggal di neraka. Dzakarnya sudah pernah dipotong-potong ratusan bahkan jutaan kali oleh malaikat.

“Laut yang tenang tak akan menghasilkan pelaut yang tangguh,” kata Rojam pada Sapto pas jam istirahat neraka.  Rojam adalah mantan plagiator yang kerjaannya nyolong tulisan-tulisan orang lewat internet. “Itulah yang aku ingat saat membaca salah satu tulisan yang aku unduh di Google,” lanjutnya. Rojam juga punya nama pena, William Jamus.

Selain Rojam, Sapto juga punya teman satu sel yang bernama Ciyus. Ciyus adalah anggota DPR yang setiap kali mau pulang berpapasan dengan Sapto yang mau berangkat “jajan”. Waktu masih hidup, mereka berdua belum saling kenal. Mereka baru berkenalan setelah hidup satu sel di neraka. Alasan Ciyus masuk neraka adalah karena ia seorang koruptor. Menurutnya, di neraka bareng-bareng sama teman lebih baik daripada di surga sendirian.

“Eh, apa maksud dari kata-katamu tadi, Rojam?” ujar Sapto.

“Itu adalah sebuah peribahasa,” kata Rojam, “artinya, orang yang berhasil itu  pasti pernah mengalami rintangan-rintangan yang sangat berat.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kita sudah seratus tahun di neraka yang panasnya bukan main, kok masih nggak berhasil-berhasil ya?” kata Sapto.

Sapto, Rojam, maupun Ciyus, hidup di masa yang sama. Kini mereka berada di sel nomer 300543 distrik 2995. Walaupun mereka bertempat di satu sel, namun mereka harus menjalani hukuman di tempat eksekusi yang berbeda. Sapto potong dzakar, Rojam potong tangan, dan Ciyus potong tangan.

Jadwal eksekusi mereka juga tidak sama. Sapto harus menjalani hukuman dari malaikat pada malam hari. Ciyus di siang hari. Dan karena Rojam adalah penulis freelance, jadwalnya tidak menentu, kadang pagi, kadang siang, kadang malam.

“Kalo menurutku, kita ini sudah jadi orang berhasil. Karena dari dulu tujuan kita kan memang neraka? Hahaha,” cetus Ciyus.

Sapto mengeplak kepalanya.

“Keberhasilan itu tidak selalu subjektif, Nan. Keberhasilan yang sesungguhnya adalah mencapai kenikmatan. Lha kita? Tiap hari dihukum, tiap hari lihat orang dicambuk, diseterika, dicongkel matanya, apa tidak bosan?” kata Rojam.

Ciyus berpikir sejenak.

“Bener tuh kata Rojam,” sahut Sapto, “Kita harus keluar dari neraka jahannam ini.”

“Ha?” Ciyus tercengang, “Tidak mungkin. Setiap pintu neraka, itu dijaga seribu malaikat. Berani kamu menghadapi mereka?”

“Iya, malaikat itu tidak hanya bisa melihat dengan matanya, tapi mereka juga bisa merasakan keberadaan kita dari jauh,” tambah Rojam.

“Sedang ngobrol apa kalian?” Tiba-tiba sesosok malaikat berdiri di belakang mereka dengan wujud yang amat besar. Ketiga orang itu kaget, melongo, dan geleng-geleng.

“Waktunya makan malam,” kata malaikat itu sambil menyodorkan duri-duri beracun dan bangkai babi. “Minumnya ambil sendiri di sana,” lanjutnya sambil menunjuk ke sebuah galon berisi darah-darah panas.

Mereka bertiga mengangguk.

Setelah malaikat itu pergi, mereka melanjutkan obrolan. Tampaknya mereka sudah terbiasa makan bangkai babi atau duri beracun. Bangkai babi itu rasnya seperti steak kalau di dunia, duri-duri itu seperti bandeng presto. Minuman darah sudah mereka anggap semacam soda gembira yang melegakan tenggorokan.

“Sekarang kita pikir, apa yang bisa kita lakukan,” kata Sapto sebagai ketua sel.

“Coba kita musyawarahkan pada ketua distrik 2995,” kata Ciyus.

“Jangan musyawarah, nanti kalo menyebar kita bisa payah. Apalagi kalo diajak musyawarah kamu pasti tidur, kayak di gedung DPR,” jawab Sapto, “Kita bicarakan tiga orang saja dulu… Kalau sudah dapat solusi, kita bicara satu sel. Setelah itu baru satu distrik. Paham nggak lu?”

“Bagaimana kalau kita berusaha mengalihkan perhatian para malaikat? Dan ketika pintu neraka tidak terjaga, kita segera melarikan diri. Bagaimana?” usul Rojam.

“Tapi, bagaimana caranya?”

“Aku punya ide. Aku akan menulis sebuah ayat. Aku akan bilang pada mereka kalau itu adalah ayat Tuhan. Mereka akan berdatangan pada ayat yang kutulis itu, lalu kita berhasil keluar dari neraka,” kata Rojam.

Sapto mengangguk-angguk. Ciyus menyahut, “Goblok! Neraka ini kan banyak apinya, pasti kertas yang lu buat nulis akan kebakar duluan.”

“Terus bagaimana, dong!?”

“Dulu waktu masih di dunia, aku sempat bertemu dengan seorang arsitek. Dia pernah bilang kalau setiap bangunan yang besar pasti memiliki pintu rahasia yang jarang dilewati dan jarang dibuka. Kayak gedung DPR. Jadi, aku yakin, pasti neraka ini juga punya pintu rahasia,” kata Ciyus.

“Mmmm… tidak segampang itu, Nan. Akhirat itu tidak bisa disamakan dengan dunia. Selain itu, jangan-jangan pintu rahasia neraka juga ada penjaganya,” kata Rojam.

Semenjak perbincangan malam itu, Sapto mengumpulkan sebanyak-banyaknya usulan dari para penghuni selnya, sekitar seribu orang. Dia yakin, suatu saat ia akan bisa keluar dari neraka.

Selama ini, para penghuni neraka hanya bisa ‘ngiler’ melihat orang-orang ahli surga. Surga cuma bisa dilihat, tanpa bisa digapai. Sedangkan ahli surga, katanya di-setting tidak bisa melihat ahli neraka. Karena jika mereka bisa melihat, mereka pasti kasihan dan merasa iba.

“Malaikat betul-betul nggak adil. Masa kita diperlihatkan nikmat surga, sedangkan orang surga tidak bisa melihat kita?” gerutu Bedes, mantan pemabuk.

Sapto menghampiri orang itu. Sambil menepuk pundak, Sapto berkata, “Tenang, sebentar lagi kita akan ke surga.”

“Aku tidak yakin dengan caramu ini, To,” kata Rafel, sekretaris sel.

“Percayalah, kita tinggal menunggu waktu,” balas Sapto.

Satu per satu penghuni sel nomer 300543 distrik 2995 melingkar seperti sedang berdiskusi. Mereka adalah mantan-mantan narapidana yang telah merasakan kerasnya hidup di neraka. Sapto berdiri sebagai ketua umum sel tersebut. “Tutup semua jendela sel, jangan sampai ada yang mendengarkan pidatoku dari luar,” katanya dengan lantang.

“Saya, Sapto Pranyoto akan mengumumkan trik untuk keluar dari neraka jahannam ini,” katanya dengan lantang. Lalu seseorang menyodorinya sebuah podium tinggi.

“Waktu yang ditentukan untuk kita keluar dari neraka adalah tanggal 3829629. Sebelum hari itu, saya mengharap kepada seluruh penghuni sel ini untuk membantu dalam kesuksesan misi tersebut.”

Seluruh orang diam mendengarkan dengan seksama. Lalu sapto melanjutkan dengan peribahasa yang pernah dikatakan Rojam padanya, “Laut yang tenang tidak akan menghasilkan pelaut yang tangguh. Siapapun yang masih betah mendekam di tempat ini, jangan sekali-kali ikut dalam misi.”

Seluruh orang di sel itu menanggapi dengan suaranya masing-masing, hingga tak terdengar apa yang mereka katakan. “Kita semua ikut!” kata seorang ahli neraka, tangannya terkepal ke atas. Suasana sel menjadi sangat ramai.

“Kita sudah menemukan akses jalan rahasia untuk keluar dari neraka. Menurut beberapa informasi, jalan itu menghubungkan neraka dan surga,” lanjutnya. Suasana kembali tenang. “Saya berharap, semua orang bekreja dalam menjalankan misi, dan tidak ada yang membocorkan.”

Sejak hari itu, dimulailah trik-trik ahli neraka untuk keluar tanpa sepengetahuan malaikat.

“Ssst…, Tuan Malaikat,” kata Rojam.

Satu malaikat menoleh. “Ada apa?”

“Boleh saya bertanya?” tanya Rojam sambil tersenyum palsu.

“Tanya apa?”

“Seandainya saya Tuhan, apakah Anda mau menyembah saya?”

“Kamu Tuhan?” malaikat itu terkejut. Spontan ia sabetkan sebuah pedang ke kepala Rojam. Rojam tersungkur ke tanah, kepalanya terbelah dua. Namun dengan cepat, kepala Rojam kembali pulih seperti semula.

“Seandainya kamu Tuhan, jelas aku akan menyembahmu,” kata malaikat itu.

“Lalu, seandainya aku menurunkan kalam pada Anda, apa yang akan Anda lakukan?” terus Rojam.

“Yang jelas, aku akan membacanya, memahaminya, dan menghapalnya.”

“Apa Anda bisa membedakan antara kalam Tuhan dan kalam manusia?” Rojam mencoba menguji malaikat yang satu ini.

“Bisa! Semua malaikat bisa membedakan antara kalam Tuhan dan kalam manusia.”

Rojam kegirangan. Ia hampir berhasil mengecoh salah satu malaikat. “Oke, kalau begitu, saya tantang semua malaikat yang ada di sini. Tanggal 3829629, datang ke distrik 55. Saya akan membuktikan kalau malaikat tidak bisa membedakan kalam Tuhan dan kalam manusia.” Lalu Rojam ngeloyor pergi.

Pada akhirnya, tibalah hari “finishing trick”. Rojam menanti para malaikat di distrik 55 dengan hati berdegup-degup. Hari ini, ia sudah berniat absen menjalani hukuman. Sapto mengkordinasi penduduk selnya bersama Ciyus.

“Saat ini, Rojam sedang menulis ayat suci palsu dengan lembaran baja di distrik 55. Seluruh malaikat akan pergi ke sana menerima tantangan dari Rojam. Jika Rojam tidak berhasil, maka kita gagal keluar dari neraka,” bisik Sapto.

“Baiklah, saya akan beri tahu letak pintu rahasianya. Yaitu di distrik 910, tepatnya di sebelah sel nomer 1234. Tunggu aba-aba dari saya, setelah itu kalian larilah ke sana.”

“Aduh! Besarnya neraka ini membuat kita lupa jalan,” kata seorang mantan pelacur.

“Kalau begitu, biar Ciyus yang menunjukkan jalan.” Ciyus mengangguk.

Tepat pada jam 120.000, Rojam tengah dikerumuni malaikat neraka. Karena sudah terlihat agak sepi, Sapto yang sedang berjaga memberi kode pada Ciyus. Dan Ciyus pun dengan sigap menuju ke pintu rahasia.

Tiba-tiba, Sapto lari ke jalan lain.

Rojam kepalanya moncrot-moncrot. Tubuhnya menjadi ribuan bagian dipotong-potong sebegitu banyak malaikat. Katanya, tantangan yang diberikan Rojam terlalu gampang. Anak kecil pun bisa membedakan apakah itu kalam Tuhan atau kalam manusia.

Namun, Ciyus beserta anak buahnya berhasil membuka password pintu rahasia di distrik 910. Mereka keluar dari neraka yang panasnya bukan main itu dan melewati lorong pengap yang gelap. Tapi, eits, ngomong-ngomong Sapto ke mana perginya?

Setelah melakukan perjalanan empat puluh tahun, Ciyus dan kawan-kawan keluar dari lorong rahasia itu. Ternyata eh ternyata, sekarang mereka berada di neraka tingkat lanjutan. Di gerbang neraka itu tertera tulisan yang sangat besar, “Jahim”. Ciyus hanya bisa menggerutu dan memukul-mukul kepala. “Sialan! Sapto sudah menipu kita. Neraka ini lebih panas dari neraka sebelumnya,” cetusnya.

Semua orang pun marah-marah.

Sedangkan Sapto sendiri, sudah berhasil menyusup ke surga tingkat satu melalui pintu rahasia dekat selnya. Tak perlu berjalan melewati lorong selama empat puluh tahun, jarak yang menghubungkan antara neraka dan surga tingkat satu ini hanya sekitar lima kilometer.

Sapto keluar dari pintu, dan menemukan seorang ahli surga sedang IYKWIM[1] dengan bidadari. Ia lihat kamar yang megah, kasur empuk, dan perhiasan-perhiasan tergantung di dinding. Beberapa gelas, piring, dan makanan terhidang di sebuah meja besar ukuran setengah lapangan bola. Sapto ngiler.

Ia juga punya trik kedua, yaitu trik yang harus dipakai setelah ia berhasil masuk ke surga.

“Hai Tuan Malaikat, apa Anda sudah pikun, saya sudah menunggu sejak seratus tahun yang lalu, kenapa surga saya belum dibangun?” bentaknya pada malaikat resepsionis surga.

Malaikat itu gelagapan. Ia mencoba mencari daftar ahli surga yang dicatatnya dalam buku besar. “Nama Sapto sepertinya tidak ada…?” katanya setelah meneliti begitu lama.

Sapto kehabisan akal. Ia takut kalo ketahuan dan akhirnya dikembalikan lagi ke neraka. Tiba-tiba, ada satu malaikat yang datang membawa sebuah lembaran baja kecil. Ia sodorkan dengan sebuah nama “Sapto Pranyoto”.

[1] Singkatan dari IF YOU KNOW WHAT I MEAN, sering digunakan anak meme untuk mengatakan sesuatu yang jorok.

*oleh Hilmi Abdillah, Anggota Sanggar Kepoedang (Penulis Muda Tebuireng) cerpen ini pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada Minggu (29 Maret 2015)