ilustrasi talqin mayit
ilustrasi talqin mayit

Ketika wafatnya seorang muslim, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan, seperti memandikan, mengkafani, mensholati, dan menguburkan. Seiring dengan kewajiban yang hingga saat ini masih diselenggarakan, hal tersebut nyatanya sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Tradisi yang tak lain dan tak asing khususnya bagi kalangan Nahdliyin, yaitu mentalqin.

Secara bahasa, kata talqin diartikan menuntun secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengingatkan kembali kepada mayit (orang yang meninggal dunia) yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu. Tujuannya adalah agar apa yang ditalqinkannya menjadi akhir dari ucapannya.

وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Teruslah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (Q.S. adz-Dzaariyaat ayat 55)

Namun, di tengah-tengah masyarakat Islam didapat perbedaan pendapat. Di antaranya bahwa talqin dihukumi “boleh”, karena, hanya sebuah prosesi yang berisi pengajaran atau pendiktean kepada sang mayit setelah dimakamkan. Sedangkan pendapat lain, menganggap talqin tidak memiliki dasar hadits yang kuat, sehingga tidak perlu dilakukan, bahkan adapula yang mengatakan bahwa talqin merupakan “bid’ah”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Perlu digarisbawahi kembali, bahwasanya praktik talqin di beberapa daerah memiliki cara yang berbeda-beda, tetapi tujuannya adalah sama, yaitu untuk menuntun mayit yang baru saja dikubur, sebelum bertemu dengan malaikat Munkar dan Nakir.

Hukum Talqin

Menurut Jumhur ulama, Talqin merupakan perintah yang disunnahkan, namun dimakruhkan, jika memperbanyak dan dilakukan secara terus-menerus. Hal ini dimaksudkan agar tidak menjemukan dan menyulitkan keadaan diri yang mentalqin. Talqin pun dihukumi makruh, jika melakukannya dengan menggunakan hati, serta mengajak bicara, yang tidak ada kaitannya dengan talqin itu sendiri, dan praktiknya cukup dilakukan sekali saja, tidak diperbolehkan mengulang kalimat talqin.

Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menyebutkan:

وَإِنَّمَا لَا يُنْهَى عَنِ التَّلْقِينِ بَعْدَ الدَّفْنِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ فِيهِ، بَلْ نَفْعٌ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ يَسْتَأْنِسُ بِالذِّكْرِ.

Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur hanyalah karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar Ala Ad-Durril Muhtar, juz 2, h. 205).

Jika dinukil pendapat dari Syaikh al-Islam Taqiyyudin Ibn Taimiyyah al-Harrani pada juz pertama halaman 242 dari kitab Fatawi, beliau menjawabnya:

هَذَا التَّلْقِيْنُ المَذْكُوْرُ قَدْثَبَتَ عَنْ طَا ئِفَةٍ مِنَ الصَّحَا بَةِ اَنَّهُمْ اَمَرُوْا بِهِ كَأَبِى اُمَا مَةَ الْبَا هِلِى وَغَيْرِهِ…

Talqin mayit yang disebutkan di sini, yaitu setelah mayit dikubur, ditetapkan dari sekelompok sahabat, seperti Abu Umammah al-Bahili dan lainnya bahwa mereka telah memerintahkan talqin mayit”.

Jika menarik kesimpulan dari ketiga pendapat di atas, pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh dalam sebuah kitab hadis yang bernama, al-Mu’jam al-Kabir, karya Imam ath-Thabrani dari sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Umamah r.a, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 عَنْ أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ :إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ فَيَنْسُبُهُ”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Dari Abu Umamah r.a. berkata: Jika aku mati, maka hendaklah urus aku sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Saw dalam mengurus orang yang mati di antara kita. Beliau (Rasulullah Saw) telah bersabda: Apabila mati salah seorang dari kalian (umat Islam), dan tanah di atas kuburannya telah didatarkan, maka hendaklah salah seorang di antara kalian berdiri di setentang kepala mayat itu, hendaklah ia berkata: Hai Fulan anak wanita Fulanah, maka si mayat itu mendengar tetapi tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: Hai fulan anak wanita fulanah! Maka ia menjawab: Berilah bimbingan kepada kami, semoga Allah mencurahkan rahmat (kasih sayang) kepadamu. Tetapi kalian tidak mendengar ucapan itu. Kemudian katakan lagi: Ingatlah ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Nabi Muhammad adalah Hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasanya engkau telah ridho bahwa Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu dan al-Qur’an sebagai pedoman hidupmu.

Ketika itu Malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata: Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk di hadapan orang yang telah diberi tahu jawabannya. Abu Umamah r.a. berkata: Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, bagaimana kalau orang yang mentalqinkan itu tidak mengetahui nama ibunya? Rasulullah Saw menjawab: Dinisbatkan saja ia kepada ibunya, yaitu Siti Hawa’, dengan berkata: Hai fulan bin Hawa.” (HR. Imam Ath-Thabrani).

Imam Nawawi mengomentari hadis tersebut, “Bahwa sekalipun hadits itu dhaif. Namun hadits ini telah didukung oleh beberapa hadis lain sebagai penguat dan diperkuat juga oleh amalan penduduk negeri Syam dahulu. Terlebih, para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan.” (Imam Ibnu ash-Shalah dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid 5 halaman 304).

Manfaat Talqin

Mengenai manfaat mentalqin mayit, antara lain:

  1. Untuk mengingatkan kepada si mayit, agar tidak terkejut bila kedatangan dua malaikat yaitu Munkar dan Nakir yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Sehingga diharapkan dapat meberikan jawabannya dengan tenang, baik dan benar.
  2. Kita yang masih hidup juga dengan adanya talqin tersebut diingatkan, bahwa setelah kematian itu terjadi. Maka kita akan berada di alam kubur (alam barzakh) yang sangat sempit dan gelap gulita tidak ada listrik dan pelita atau penerang, namun amal kitalah yang akan menemani dalam kubur.
  3. Kita diingatkan agar senantiasa meningkatkan iman dan ketakwaan kepada Allah dan memperbanyak amal ibadah atau amal saleh serta memohon ampunan dan perlindungan Allah Swt.
  4. Dengan demikian kita diharapkan dapat memperbaiki sikap hidup sehari-hari. Baik yang ada hubungannya dengan Allah, maupun yang berhubungan dengan sesama manusia di atas landasan ajaran agama Islam. Yaitu satu-satunya agama yang haq di sisi Allah Swt.

 


Ditulis oleh Diba


*Disarikan dari berbagai sumber