mushaf ustmani
mushaf ustmani

Fenomena bid’ah acap kali menjadi pembahasan hangat antara kaum muslimin. Khususnya warga Nahdliyin dan golongan umat pemurni tauhid, yakni Wahabi. Apalagi, pada bulan Maulud yang telah lalu. Banyak dari golongan Wahabi yang mengklaim Muludan itu bid’ah. Padahal, jika ditelisik lebih dalam lagi. Bid’ah itu bukan tentang muludan saja. Pembukuan Al-Quran, sebenarnya juga bid’ah.

Perang Yamamah, pada masa kekhalifahan Abu Bakar menjadi saksi bisu atas syahidnya para syuhada’. Di antaranya, terdapat kurang lebih 70 Huffadz Al-Quran yang tewas di medan tersebut. Untuk menanggulangi kepunahan al-Quran yang kala itu belum tertulis. Sayyidina Umar memberikan saran kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran.

Saat itu, menyeruak keraguan di hati Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun, tidak henti-hentinya Sayyidina Umar meyakinkan hati Abu Bakar, hingga Allah melapangkan dada untuknya. Akhirnya, Abu Bakar memberikan sebuah instruksi kepada Zaid Bin Tsabit untuk meneliti dan mengumpulkan al-Quran.

Zaid bin Tsabit mulai melakukan penelitian dan pengumpulan terhadap al-Quran. Mulai dari dahan pohon, bebatuan, dan pelepah kurma. Setelah itu, ia memastikannya langsung dari hafalan para sahabat ternama. Hingga, ditemukan akhir ayat surah At-Taubah dari sahabat Abu Khuzaimah al-Anshari, sebagai pamungkas terkumpulnya al-Quran dalam sebuah manuskrip yang nantinya disimpan oleh Sang Khalifah. yakni, Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Penyatuan Satu Qira’ah

Di era kekhalifahan Dzunnurain, kekuasaan Islam telah menyebar di semenanjung Arabia. Bahkan, telah memasuki kawasan daerah Persia dan Syam. Saat itu, terukir sebuah peristiwa bersejarah yakni penyatuan al-Quran menjadi satu qira’ah (bacaan). Tujuannya adalah, agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan akan perbedaan bacaan. Pasalnya, mereka saling mengkafirkan antara satu sama lain, sebab tidak mengetahui bahwa dalam al-Quran terdapat tujuh qira’ah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kebijakan yang dilakukan pertama kali oleh Sang Khalifah untuk menyelesaikan perkara ini adalah bermusyawarah dengan mengumpulkan para sahabat terkemuka. Kemudian beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan suhuf yang dulu pernah dipakai oleh Khalifah Abu Bakar dan Sayyidina Umar yang saat itu mushaf tersebut disimpan oleh Sayyidah Hafshah.

Lantas ditulislah mushaf al-Quran oleh Zaid bin Tsabit. Sa’id bin Al-Ash sebagai pendikte, dan disaksikan oleh Abdullah bin Az-Zubair dan Abdurrahman bin Harits. Setelah mushaf tersebut tertulis, akhirnya suhuf al-Quran yang telah beredar di wilayah Syam, Mesir, Makkah, Yaman dan lainnya di-nasakh dan dibumihanguskan. Diganti dengan terbitan Mushaf  Utsmani. Dengan ini perselisihan yang terjadi antara sesama muslim telah mereda.

Mushaf tersebut famous dengan sebutan Mushaf Utsmani, karena kebijakan yang beliau lakukan. Jikalau Sang Khalifah tidak segera mengambil kebijakan saat itu, maka mara bahaya akan menghiasi kehidupan mereka. Saling mengkafirkan dan lain sebagainya.

Bid’ah menurut Imam Syafi’i

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم

Artinya: Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela.

Dari sini Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu ada 2 kategori; hasanah dan madzmumah. Maka lakukanlah segala sesuatu selama bermaslahat dan tidak berseberangan dengan syari’at. Sebagaimana bid’ah hasanah yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, dan para muslimin lainnya.

Kisah Bilal bin Rabah Al-Habasyi dan kebiasaannya yang sering melakukan shalat syukrul wudhu sungguh sangat terkenal. Terlebih Rasulullah Saw menyampaikan kebiasaan Bilal tersebut dalam haditsnya yang juga sangat tersohor.

Rasulullah Saw pernah bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apakah yang engkau lakukan hingga aku mendengar suara derap langkah kakimu di depan surgaku?” Bilal menjawab, “Setiap aku selesai berwudhu, baik siang maupun malam, secara rutin aku selalu melaksanakan shalat sunah yang aku mampu.” (H.R. Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah r.a.).

Meski tidak dilakukan Rasulullah, tetapi beliau tidak menyalahkan apa yang dilakukan oleh Bilal. Apa yang dilakukan oleh Bilal tersebut dinamakan shalat syukrul wudhu. Keutamaannya sungguh bukan main-main. Bahkan shalat jenis ini bisa menjadi sebab dimasukkannya seseorang ke dalam surga, seperti halnya Bilal. Lalu apakah sebenarnya shalat syukrul wudhu?

Shalat syukrul wudhu adalah shalat yang dikerjakan setelah berwudhu sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atau terima kasih kepada Allah Swt atas pertolongan-Nya hingga ia bisa memperoleh air yang digunakan berwudhu untuk menjalankan ibadah yang utama, yaitu shalat.

Baca Juga: Macam-Macam Bid’ah Menurut Syekh Nawawi al-Bantani


Ditulis oleh. Moehammad Nurjani, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo