ilustrasi taklid mazhab

Agama Islam mewajibkan kita untuk bertaklid kepada para mujtahid dalam mengambil suatu hukum. Kewajiban ini berlaku ketika seseorang tidak mampu untuk menemukan hukum sendiri. Salah satu ayat al-Quran yang mendasari kewajiban ini adalah Q.S. an-Nahl ayat 43:

فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Hukum syari’at diambil dari al-Quran dan hadits yang tidak sembarangan orang dapat menemukan hukum darinya. Orang yang hendak menggali hukum syari’at harus memiliki kemampuan akademik dan perangai yang baik. Tujuannya tidak lain, untuk memahami maksud Tuhan lewat ilmu yang diberikannya.

Jangan sampai kita menjadi ahli neraka sebab membuat-buat hukum sendiri. Nabi sendiri pernah bersabda:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

‌مَنْ ‌كَذَبَ ‌عَلَيَّ ‌مُتَعَمِّدًا، ‌فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa sengaja berbohong atasku, maka ia telah menempatkan dirinya di neraka”.

Menurut al-Asy’ari كذب adalah menginformasikan sesuatu tidak sesuai faktanya. Membicarakan hukum tanpa didasari dalil dan mengatasnamakan ucapannya atas nama nabi juga disebut كذب. Orang yang suka berbohong terlebih berbohong atas nama nabi akan mendapatkan siksaan yang berat.

Oleh karena itu, para mujtahid telah merumuskan hukum dengan semua kemampuan yang mereka miliki, demi memudahkan umat muslim dalam memahami hukum dan meminimalisir kebohongan. Terbukti saat ini kita bertaklid kepada mereka dalam hukum.

Apa itu taklid dan Ijtihad?

Secara bahasa taklid bermakna mengalungkan sesuatu pada leher. Sedangkan secara istilah, Syeikh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Lubb al-Ushul menjelaskan:

‌التقليد أخذ قول الغيرمن غير معرفة دليله

Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dan landasannya”.

Ijtihad secara bahasa bermakna kemampuan atau kecakapan, dan secara istilah menurut Imam Zarkasyi dalam Bahrul Muhith ijtihad adalah:

بَذْلُ ‌الْوُسْعِ فِي نِيلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِي بِطَرِيقِ الِاسْتِنْبَاطِ

“Mengerahkan seluruh kemampuan untuk menemukan suatu hukum dengan metode istinbath (penelitian).”

Sehingga yang dimaksud mujtahid adalah orang-orang yang mampu dan memiliki kecakapan dalam menemukan hukum melalui dalil-dalil syar’i (al-Quran dan hadits).

Bertaklid selain Mazhab Empat

Ada 4 madzhab yang terkenal dalam bidang fikih yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Keempat madzhab tersebut adalah mujtahid dan merupakan sumber rujukan dalam mengatasi problematika umat.

Sebenarnya selain empat di atas ada banyak imam-imam besar seperti ats-Tsauri, Laits, Hasan al-Bashri yang memiliki keilmuan yang luar biasa, akan tetapi karna tidak ada satupun dari pengikutnya yang melestarikan dan membukukan ajaran-ajaranya, madzhab tersebut menjadi punah dan tidak memiliki pengikut.

Lantas apakah semua madzhab yang ada boleh kita ikuti atau tertentu pada empat madzhab yang terkenal saja?

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah menjelaskan:

وَحَاصِلُ الْمُعْتَمَدِ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ يَجُوزُ ‌تَقْلِيدُ ‌كُلٍّ ‌مِنْ ‌الْأَئِمَّةِ ‌الْأَرْبَعَةِ وَكَذَا مَنْ عَدَاهُمْ مِمَّنْ حُفِظَ مَذْهَبُهُ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ وَدُوِّنَ حَتَّى عُرِفَتْ شُرُوطُهُ وَسَائِرُ مُعْتَبَرَاتِهِ.

“Kesimpulan dari pendapat muktamad adalah boleh mengikuti imam empat, begitu juga kepada selain mereka yang madzhabnya tetap terjaga dan terdokumentasi sehingga dapat diketahui syarat-syarat dan hal-hal yang menjadi ketentuan dalam madzhabnya”.

Mereka itulah yang disebut sebagai mujtahid karena memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah. Mujtahid harus melewati syarat-syarat tertentu agar ia bisa dikatakan mujtahid dan syarat-syarat itu sulit untuk dilakukan oleh orang-orang biasa semacam kita. Salah satunya adalah paham seluruh perangkat ilmu untuk memahami al-Quran seperti ilmu gramatikal arab, ushul fikih, nasikh mansukh, dan lain-lain. Sehingga wajar bagi kita mengikuti pendapat-pendapat yang mereka sampaikan.

Kita patut berterima kasih atas jasa-jasa yang telah diberikan oleh para sarjana-sarjana muslim. Berkat beliaulah kita menjadi mudah dalam menemukan suatu hukum. Kendati demikian, kita tidak pantas hanya berhenti pada pendapat-pendapat beliau yang telah terumuskan, tetapi minimal kita dapat memahami jalan pikir beliau, cara analisa beliau dalam memahami al-Qur’an, metode yang beliau gunakan dalam menemukan hukum. Dengan demikian ilmu yang sampai pada kita akan semakin mantap dan meyakinkan. Maka bertaklid pada selain empat mazhab boleh hukumnya dengan catatan mazhab tersebut terjaga dan terdokumentasi.

Wallahu A’lam.

Baca Juga: Begini Hukum Mencampuradukkan Mazhab (Talfiq)


Referensi:

  • Lubb al-Ushul,karya Syeikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari.
  • Bahrul Muhith, karya Syeikh Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah bin Bahadir az-Zarkasyi.
  • Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, karya Syeikh Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami.

Ditulis oleh Samsul Arifin, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang.