Sumber gambar: https://www.integreater.de

Keterangan dalam kitab risalah al-Mu’awanah karya Sayyid Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad al-Haddad, menyinggung bagaimana seyogyanya pribadi seorang muslim dalam mengupayakan keyakinan dan niat yang jernih dalam setiap lakunya. Yang menjadikan langkah dan perilaku muslim tersebut menjadi bernilai baik di dunia maupun di akhirat. Pada awal pembukaan kitab, latar belakang penulisan dari kitab tersebut adalah untuk menolong dan menguatkan para hamba yang cinta melakukan suluk di jalan akhirat.

Dalam kitab risalah al-Mu’awanah, disebutkan diantara sebab yang menjadikan keyakinan seorang muslim itu menjadi kuat dan bagus. Pertama, yakni pondasi untuk melakukan kesinambungan dalam menempa hati dan telinga agar mendengarkan ayat (tanda) dan hadis yang menunjukkan keagungan Allah Swt., kebenaran Rasul-Nya, konsekuensi bagi penentang ajaran rasul, dan peradilan di dunia akhirat.

Cukup diisyaratkan oleh firman Allah Swt.:

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ يُتْلى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Tidak cukupkah bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (Al Quran) sedang ia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya dalam Al Quran itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang beriman.” (QS. Al-Ankabut: 51)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalau boleh mengomentari, di sini ada kemandirian teologi yang dicapai oleh muslim tersebut. Dia bukan muslim yang hanya ikut-ikutan saja dalam ibadah atau syariat Islam. Dia mau berusaha menggali setiap ayat dan hadis untuk menguatkan keyakinan tentang kebenaran Islam. Tidak perlu terlalu mengunggulkan logika atau bukti dari para ilmuan, karena keimanan pada hal gaib adalah tingkat keimanan paling tinggi setelah iman para nabi, yakni para as-Shiddiqun.

Untuk memudahkan, dalam tradisi ushul fiqh ada tiga istilah yang sering digunakan dibawah derajat “yaqin”. Pertama dzan, kedua wahm, ketiga syak.  Dalam dzan, prosentase yakin lebih unggul daripada keragu-raguan. Dalam wahm yang unggul adalah keragu-raguan. Sedangkan dalam syak, prosentase antara yakin dan ragu adalah sama seperti 50 banding 50. Ini seperti keterangan dalam kitab al-Bayan karya Abdul Hamid Hakim. Yakin menempati posisi di atas tiga istilah ini, dalam satu keterangan yakin diartikan sebagai ketenangan dan hilangnya syak.

Kedua, sebab yang menjadikan keyakinan menjadi kuat dan bagus adalah memperhatikan gejala dan gejolak kerajaan langit dan bumi. Hal-hal yang menakjubkan ciptaan Allah, dan permulaan adanya alam.

Diisyaratkan oleh firman-Nya:

سَنُرِيهِمْ آياتِنا فِي الْآفاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah haqq. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Fushshilat: 53)

Sudah barang tentu kita hanyalah makhluk kecil yang ada di dunia ini. Hanya saja, kesadaran semacam ini akan terus berperang dikarenakan ada pertarungan antara jiwa dan darah daging pada diri manusia. Nafsu melawan jiwa atau hati nurani. Nafsu yang mengarahkan pada ketidakpatuhan kepada Allah, akan bisa diredam jika kita senantiasa tidak memanjakan nafsu tersebut. Kalau yang sering kita lakukan adalah tadabbur alam, merenungkan kebesaran dan keagungan ciptaan Allah di dunia.

Sebab ketiga, agar keyakinan menjadi kuat dan bagus adalah mendasari setiap perbuatan dengan konsekuensi keimanan secara lahir dan batin, terus-menerus dalam hal itu seraya berdaya-upaya semampunya seperti diisyaratkan dalam firman Allah Swt.:

 وَالَّذِينَ جاهَدُوا فِينا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut : 69)

Diantara buah keyakinan ialah perasaan tenteram akan janji Allah, kepercayaan hati pada jaminan Allah, pemusatan cita dan harapan kepada-Nya, meninggalkan segala hal yang menjadikan sibuk selain kepada Allah, kembali kepada-Nya dalam setiap keadaan, serta penyaluran seluruh daya dan tenaga dalam mencari keridhaan-Nya.

Secara umum, keyakinan adalah pondasi utama, sedangkan kedudukan yang mulia, akhlak terpuji, dan amal-amal saleh adalah cabang-cabang serta buah-buahnya. Akhlak dan amal seseorang selalu mengikuti keyakinan dirinya, baik dalam hal kuat atau lemahnya serta sehat dan cacatnya.

Telah berkata Lukman ‘alaihi as-Salam:

لَايُسْتَطَاعُ الْعَمَلُ إِلَّا بِالْيَقِيْنِ وَلَا يَعْمَلُ الْعَبْدُ إِلَّا بِقَدْرِ يَقِيْنِهِ وَلَايَقْصُرُ عَمَلَهُ حَتَّى يَنْقُصَ يَقِيْنِهِ

“Tiada amal baik dapat dilaksanakan kecuali dengan keyakinan, tiada seorang hamba mampu beramal kecuali sekadar keyakinannya, dan tiada akan berkurang amalnya sampai berkurang pula keyakinannya.”

Karena itu Rasulullah Saw. bersabda:

اَلْيَقِيْنُ الْإِيْمَانُ كُلُّهُ

“Keyakinan adalah keseluruhan keimanan.”

Adapun tingkatan keyakinan orang yang beriman itu ada tiga tingkatan:

Pertama, tingkatan kaum kanan (ashhab al-yamin), yakni kepercayaan yang pasti dan kuat tetapi masih disertai kemungkinan timbulnya keraguan dan guncangan apabila datang hal-hal yang dapat mempengaruhinya. Keadaan seperti ini biasa disebut keimanan (iman).

Kedua, tingkatan orang-orang yang didekatkan (muqarabin), yakni berkuasa iman atas hati secara penuh. Hal yang berlawanan dengan iman (yaitu ingkar) tidak akan terjadi, tidak akan terbesit, apalagi ada (ingkar tersebut). Pada tingkatan ini, sesuatu yang gaib menjadi seakan-akan hadir dengan jelas di hadapan penglihatan. Keadaan seperti ini biasa disebut keyakinan (yaqin).

Ketiga, tingkatan para nabi dan pewaris mereka yang sempurna, yakni kaum yang tulus (al-shiddiqin), yaitu beralihnya sesuatu yang gaib menjadi benar-benar hadir dengan jelas di depan penglihatan mereka. Keadaan seperti ini disebut “penyingkapan dan pandangan langsung atau nyata” (al-kasyf wa al-‘iyan).

Di antara masing-masing tingkatan terdapat perbedaan derajat yang cukup besar. Masing-masing mempunyai keutamaan meskipun sebagian dari mereka lebih utama dari yang lainnya. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Wallahu a’lam


Ditulis oleh M. Sutan Alambudi, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.


*disadur dari kitab risalah al-Mu’awanah karya Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi ibn Muhammad al-Haddad