sebuah gambar: perempuan dan buku

Oleh: Nabila Rahayu*

Pertemuan yang membuat ukiran sejarah hidup dengan berbagai macam cara dan rasa yang telah berhasil tercipta. Dalam suatu kejadian pasti banyak sekali makna tersirat yang tuhan beri kepada diri, namun diri tak mengerti. Temu yang menurutku tak akan pernah semu. Belum pernah kering ingatan temu yang menyatukan kita. Menciptakan tali persahabatan. Yang berharap hanya maut yang dapat memisahkan temu.

Bis dan perjalanan panjang itu yang menjadi saksi bahwa dirimu yang mampu menjadi sepasang telinga kala diri ini memulai cerita, berkeluh kesah, menjadi canda tawa.

Aku bangga karena telah menemukanmu. Karena diantara berjuta-juta manusia yang hadir dalam hidupku. Kau yang mampu memaknai hidupku yang sedikit lagi hampir mati. Ketika bunga mawar hampir mati menjadi layu, kau datang bak air yang menyelamatkan diriku. Terdengar aneh memang, tapi ini lah kenyataannya.

Lucu yah..

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Padahal kita baru bertemu, tapi sudah sedekat ini. Aku baru sadar. Temu memang bisa menjadi candu. Mendengar ceritamu, menikmati setiap bait lagu yang kau ciptakan untukku. Semua bagiku candu. Kau selalu menemaniku di rumah pohon itu setiap sore. Menikmati senja, memandang kepakkan sayap burung gereja, di tambah dengan camilan kesukaanku. Selalu seperti itu setiap harinya. Tanpa jeda. Tanpa henti. Kau selalu berarti.

Tapi terkadang dirimu menjengkelkan!. Tak mau kalah dengan alibiku. Sampai kita memutuskan untuk saling berdiam diri. Lama sekali  waktu yang terbuang percuma untuk permasalahan ini. Tak ada yang mau kalah. Karena ego yang menjadi  penguasa.

Hari itu, aku mendengar kau sakit. Sampai masuk IGD. Aku bingung. Antara sedih dan senang.

Perjalanan hariku tanpamu tetap berjalan. Meski ada yang kurang. Teman-teman yang lain berbeda. Tak pernah mau menjadi sandaran diri. Walau satu pemikiran tapi menurutku tetap beda. Untungnya aku tak pernah meminjam telinga dan pundaknya untuk berkeluh kesah.

Entah sejak kapan, akhirnya aku bisa memendam semua pendaman ceritaku semenjak alfanya dirimu. Aku belajar menjadi seorang yang tak mengeluh kepada siapapun.

Bahagia aku tapaki hari …

Tanpaku sadari bahwa, kau membutuhkan telinga dan pundakku. Aku yang salah selama  ini. Kau berjuang sendirian melawan sebuah anugerah penyakit yang tuhan berikan. Tanpa kau ceritakan semuanya padaku. Aku sedikit tersinggung mengenai itu. Aku sahabatmu. Kau juga sahabatku. Tapi mengapa aku tak pernah kau ceritakan kepadaku?. Orang lain yang kau beritahu. Di titik ini aku kecewa.

Terlepas dari semua masalah yang terjadi. Aku melunturkan egoku dengan menjengukmu sakit bersama teman-teman yang lain setelah pulang sekolah.

Kurus. Itu deskripsiku pertama kali melihatmu. Selang infus yang terpasang rekat di tanganmu. Sedikit membuatku hampir menitikkan airmata. Selama ini, kau melawan penyakit itu sendirian. Aku dimana?. Akhirnya egoku benar benar telah luntur. Terbasuh oleh air mata deras. Dan aku langsung memelukmu.

Relung hati berkata…

Sahabat, kau harus sembuh. Bagaimanapun kau harus sembuh. Demi keluargamu, demi teman-temanmu dan demi  orang orang yang sayang padamu. Kau harus kuat.

Selalu maaf yang terucap. Aku minta maaf padamu karena keegoisan ini.

Damai pun tercipta. Candaanmu yang membuat aku menjadi tawa lagi. Kau terlihat pura-pura sehat. Padahal nyatanya kau menahan sakit.

Laun waktu yang tertelan habis. Sesal yang terasa. Karena dimasa kritismu aku tak bisa hadir disampingmu. Tak banyak pinta yang kau mau. Aku ingat itu. Kau hanya ingin semua orang-orang yang menyayangimu tersenyum bahagia melihat kepergianmu selama-lamanya.

Tanpa pamit, detik itu juga kau pergi meninggalkan aku dan kami semua untuk selama-lamanya. Butiran bening mengalir deras saat kau di makamkan. Teringat semua ukiran sejarah hidup yang terukir rapi dalam catatan memori. Tawamu yang receh, tingkahmu yang konyol, semua hal tentangmu terputar begitu saja dalam memori bak cuplikan film.

Hingga akhirnya, setelah tanah menutupi dirimu utuh. Saat itu juga dirimu benar-benar telah meninggalkan kami.

Kita hebat, karena telah menjalin persahabatan hinngga sejauh ini. Tak akan ada yang memutuskan untuk berpisah. Apalagi untuk temu. Terimakasih dirimu, karenamu aku mampu belajar untuk menjadi kuat dan hebat. Aku mampu menjadi seorang yang lebih dewasa lagi. Kau memang sudah berakhir tapi persahabatan kita tanpa akhir.

*Santriwati Pondok Pesantren Putri Walisongo