Sumber: Google.com

Oleh: Muh Sutan*

Dalam khazanah Islam, perhatian terhadap mendidik anak tidaklah dianggap sepele. Pemenuhan kebutuhan sejak kecil disebutkan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam adabul alim wal mutaallim melalui hadis riwayat Aisyah r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda:

حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهً وَيُحْسِنَ مَرْضَعَهُ وَيُحْسِنَ أَدَبَهُ

Artinya: “Hak anak atas orang tua ialah memberi nama yang baik, memberi asupan (ASI) yang baik, dan mengajarinya akhlak yang baik.”

Pemenuhan kebutuhan anak akan berbeda seiring bertambahnya umur mereka. Anak yang masih kecil atau di bawah umur 7 tahun, dalam fikih tidak diwajibkan untuk shalat tetapi hanya diperintahkan shalat saja. Hal ini berlaku bagi anak yang belum mumayyiz. Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Quthu al-Habib al-Ghorib tausyikh ‘ala fathi al-qorib al-mujib menyebutkan:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

بِأَنْ يَأْكُلَ وَيَشْرَبَ وَيَسْتَنْجِيَ وَحْدَهُ بَعْدَ تَعْلِيْمِهِ كَيْفِيَّةَ الْإِسْتِنْجَاءِ

“(Tamyiz tercapai) dengan si anak makan, minum, dan buang air sendiri setelah mengajarinya tata cara istinja’.”

Ini merupakan ukuran minimal seorang anak dikatakan mumayyiz, atau dalam istilah lain bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Setelah umur 10 tahun, saat sang anak meninggalkan shalat konsekuensi yang didapat adalah pukulan (dhorb) atau hukuman yang mendidik.

Lafadz anak dalam al-Quran disebutkan bermacam-macam. Dalam tafsir al-Munir istilah shobiy digunakan untuk bayi baru lahir sampai berhenti menyusu. Sedangkan ghulam digunakan bagi remaja yang sudah berkumis dan punya keinginan menikah, ini sama dengan istilah fata (anak mencapai usia pemuda 16-30 tahun). Istilah walad menunjukkan keturunan atau segala anak cucu. Ibn bermakna nasab, dan alam kunyah. Tiflun lebih umum digunakan untuk segala hal yang kecil, baik hewan, manusia, tumbuhan, benda lainnya.

Pola Asuh

Ahli tafsir Tebuireng, KH. Musta’in Syafi’i menyebutkan ada tiga fase dalam mendidik anak. Pertama, di usia 0-7 tahun adalah masa anak dalam dunia bermain. Di sini orang tua juga berperan untuk memantau dan mendidik dengan menyuruh shalat. Kedua, di usia 8-14 tahun adalah masa pengajaran orang tua kepada anak tentang tata krama dan akhlak, dan jika diperlukan ditambah dengan paksaan. Orang tua mengajari tata krama kepada Sang Khaliq dan sesama manusia. Ketiga, di usia 15-21 tahun ke atas, cara mendidik dengan pendekatan dialogis.

Kebutuhan dasar psikologi manusia di tahap ketiga ini patut diperhatikan. Mulai dari kebutuhan otonomi, kebutuhan merasa diakui dan diterima lingkungan (kebutuhan relasi), sampai kebutuhan merasa mampu atau kompeten (kebutuhan kompetensi). Di dalam fikih, ketika seorang anak sudah beranjak dewasa atau baligh maka dia sudah masuk kategori mukallaf (wajib menjalankan ketentuan syariat Islam). Seorang mukallaf mempunyai tanggung jawab atas dirinya sendiri dalam hal ibadah. Orang tua hanya mendampingi agar kebutuhan dasar psikologi di atas bisa terpenuhi dengan baik.

Dalam Self  Determination Theory (SDT), bahwa seseorang yang hidup di lingkungan yang baik dalam pemenuhan otonomi, keterhubungan, dan kompetensi akan membentuk pribadi yang punya motivasi intrinsik. Mudahnya, dia bisa mengendalikan dirinya dalam membuat pilihan dan keputusan tanpa ada intervensi dari luar. Kemandirian membawa kebebasan bagi anak untuk melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya sendiri. Keterhubungan atau relasi menjadikan hubungan sosial individu bisa berinteraksi dengan orang lain dan memiliki rasa saling bergantung satu dengan yang lain. Kompetensi menciptakan individu lebih tertarik, terbuka, dan belajar lebih baik dalam beradaptasi dengan tantangan baru.

Tentu semua ini dalam pendampingan orang tua, tidak serta merta sang anak dilepaskan begitu saja tanpa ada nilai yang dipegang atau ditanamkan oleh orang tua. Karena teori SDT hanyalah salah satu instrumen dalam mendidik anak, itulah yang disebut John W. Santrock bahwa orang tua punya peran manajerial dalam perkembangan sosioemosional anak. Sehingga kualitas kemandirian, keterhubungan, dan kompetensi anak dengan lingkungan sekitar menjadi sehat.

Realitas sekarang orang tua dihadapkan berbagai macam fenomena dan tantangan dalam mendidik anak. Orang tua harus siap menghadapi tantangan zaman, apalagi tantangan era digital semakin kompleks. Perkembangan teknologi dan media sosial harus diikuti oleh orang tua atau bagi calon orang tua. Jangan biarkan anak kita menjadi generasi yang hanya belajar sebuah norma dari media sosial, tanpa andil orang tua yang ikut mengawasi.

Wallahu al-musta’an


*Alumnus Universitas Hasyim Asy’ari