KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) saat diwawancarai oleh tim media tebuireng.online (foto: Dimas Setyawan)

Membaca adalah gerbang utama agar dapat memahami ilmu dan melaksanakan ritual ibadah. Sangat tidak baik, bila mana manusia mendalami ilmu agama atau menjalankan ibadah tanpa disertai dengan ilmu. Tetapi pada kenyataannya yang ada, minat membaca masyarakat Indonesia masih sangatlah rendah.

Menurut KH. Salahuddin Wahid dalam kesempatan “Ngaji Literasi” di Pesantren Tebuireng pada 10 Maret 2019, menyatakan bahwa “minat baca di negara maju, setiap penduduk rata-rata membaca buku 20-30 pertahun. Di Indonesia minat membaca masyarakatnya dalam setahun hanya mampu 3 buku saja, bahkan ada juga yang tidak membaca buku sama sekali.”

Rendahnya semangat membaca di negara kita sudah cukup memprihatikan. Sehingga sering kali kita melihat prilaku yang kurang baik di media sosial, baik ujaran kebenciaan, hoaks, fitnah, dan lain sebagainya. Maka dari itu, peranan pesantren tampil di kontes bermedia sosial menjadi solusi utama bagi keberlangsungan bermedia kita ke depan yang lebih baik.

Dari permasalahan di atas, penulis sempat mewawancarai KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) selaku Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, guna membicarakan solusi yang akan ditawarkan oleh pesantren untuk meningkatkan minat baca di negara Indonesia, terlebih untuk menanyakan strategi yang baik dari pesantren untuk meminimalisir pengaruh buruk media saat ini.

Bagaiamana pandangan Gus Kikin mengenai perkembangan literasi membaca di lingkungan pesantren?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menurut saya, minat baca para santri di lingkup pesantren sangatlah luar biasa. Santri tidak hanya mampu membaca materi maupun pelajaran yang diberikan. Akan tetapi santri mampu menghafal itu semua. Bahkan terdapat salah satu riset di Amerika menyatakan hafalan adalah proses pendidikan luar biasa. Bahwa menghafal adalah suatu hal proses melekatnya pelajaran seperti berbentuk file. Dan suatu saat, ketika kita membutuhkannya materi tersebut akan hadir dengan sendirinya berkat proses menghafal tersebut.

Di sisi lain, meskipun kita tidak memahami maupun belum menguasai materi atau suatu pelajaran tersebut. Proses menghafal akan menuntut kita menggali kembali ingatan akan hal-hal yang pernah kita pelajari. Pada proses menghafal adalah pendidikan khas pesantren. Mungkin hari ini, sangat sulit ditemukan proses menghafal selain di pesantren. Dan santri sebagaiamana kita ketahui, telah terbiasa menghafal seperti kitab-kitab karangan para ulama hingga menghafal kitab suci Al-Qur’an.

Kemudian, bagaiamana pandangan Gus Kikin mengenai perkembangan literasi digital di pesantren?

Secara tidak langsung, bahwa literasi digital adalah suatu alat atau sarana untuk menggapai sesuatu. Seperti halnya tawassul (perantara) dengan perkembangan literasi digital tersebut kita bisa mengadakan sistem pengajian online agar mampu dijangkau lebih luas. Terlebih sebagai jembatan kita menyiarkan dakwah agama kepada masyarakat umum.

Tetapi perlu diketahui, kita tidak dapat memfokuskan hal tersebut. Karna karakter pesantren adalah fokus pembetukan ahlak melalui ajaran-ajaran syariat yang telah dijalankan. Jadi jangan terlalu kita fokuskan hal ini sehingga kita kehabisan waktu untuk mengajarkan nilai-nilai syariat.

Dan harus kita ingat kembali, bahwa tujuan akhir dari literasi digital selain menjadi media penyampaian berita yang bernuasa baik dan menyejukan, literasi digital juga adalah saranan terbaik dalam pembentukan karakter seorang santri. Melalui penyampaian suatu informasi yang berciri khas nuasa pesantren seperti, cerita teladan para Nabi, para ulama-ulama terdahulu dan lain sebagainya. Maka penguatan literasi digital di pesantren harus menjadi pelopor utama perbaikan tatanan ahlak generasi anak bangsa di masa depan.

Menurut pandangan Gus, bagaiamana cara mengembangkan literasi digital di pesantren?

Pertama, hal yang harus diperhatikan atau diingat ialah niat. Bilamana niat kita sudah baik dalam tujuan kita, maupun tujuan pengembangan literasi digital di pesantren, maka menurut saya semua akan berbuah baik.

Kedua, kembali lagi. Bahwa sudah sepatutnya tujuan kita ini tidak terlalu fokus, sehingga kita tidak melupakan nilai-nilai syariat. Kemudian kita harus ingat bahwa semua tujuan mempelajari ilmu itu untuk mengendalikan hawa nafsu kita.

Ketiga, kemudian kita harus hati-hati jangan sampai kita terbawa arus untuk suatu ambisius dalam berkompetisi atau persaingan-persaingan hingga melalaikan kewajiban kita yakni mencari ilmu.

Keempat, kita harus membentuk sistem yang baik untuk mendorong literasi digital pesantren ini agar lebih leluasa dan lebih baik dalam mensyiarkan ke kalangan orang non-pesantren agar semakin bertambah keimanannya dan yang paling terpenting, sebelum menyiarkan nilai-nilai tersebut, kita harus lebih dulu menyiarkan pada diri kita masing-masing.

Menurut Gus Kikin starategi apakah yang harus diterapkan untuk mencapai hal terbaik dalam pelaksanaan literasi digital di pesantren?

Dikarenakan literasi digital di pesantren ini adalah untuk mengajak atau berdakwah untuk kebaikan, maka harus paham, dalam artian diperbaiki terlebih dahulu segala aspek pemahaman yang hendak didakwahkan agar masyarakat dengan mudah dapat menyerap keilmuan yang kita berikan.

Selain itu, dibutuhkan motivasi dari para lapisan elemen di pesantren yang baik untuk dapat mendorong para pegiat literasi di pesantren agar dapat memberikan dukungan yang baik ke depannya dan menghasilkan hasil yang terbaik.

Secara pribadi, saya sangat senang bila para pegiat literasi di pesantren ini, dapat mengakat pemikiran-pemikiran para tokoh Pesantren Tebuireng agar semakin luas diketahui oleh masyarakat umum. Maka jadikan pemikiran para tokoh Pesantren Tebuireng ini sebagai sumber atau rujukan dasar ketika menuangkan ide dan gagasan. Untuk dapat memahami para pemikiran tokoh-tokoh Pesantren Tebuireng, saran saya buatlah halaqoh-halaqoh kecil-kecilan. Di sana lingkup pertama untuk mengkaji pemikiran-pemikiran para tokoh pesantren sebelum disebarluaskan.

Apa harapan Gus Kikin untuk masa depan literasi digital di pesantren?

Harapan yang kita inginkan tentunya pada literasi digital di pesantren ini, menjadi wadah kreativitas santri dalam berkreasi dan menuangkan segala ide-idenya dalam bentuk tulisan maupun yang lainnya.

Terlebih melalui media pesantren ini, pesantren dapat menjadi garda terdepan menyebarkan nilai-nilai keislaman khas pesantren yang menyejukkan, yakni Islam rahmatan lil a’lamiin. Bila saja bukan dari kita yang menjadi garda terdepan dalam dunia media sosial, lalu siapa lagi yang akan tetap menyebarkan kebaikan. Dan tentunya kita harus menwarnai citra media sosial kita hari ini. Hingga seterusnya.

Pewarta: Dimas Setyawan (Mahasantri Mahad Aly Tebuireng)