sumber gambar: https://www.gomuslim.co.id

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Ada ungkapan yang sering kita dengar, “pertumbuhan dan persaingan di masa sekarang ini sangat cepat. Kalau kita tenang-tenang saja maka kita akan tergilas.” Ungkapan ini akan menggambarkan bagaimana etos kerja setiap orang harus baik. karena hanya dengan hal itulah bisa menjalani kehidupan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu, berarti manusia dituntut untuk beraktivitas secara baik agar kehidupan yang dicita-citakan tercapai.

Akan tetapi bukan lantas kesibukan keduniaan akan melupakan kita akan kewajiban yang harus kita penuhi, yaitu berupa tuntutan untuk terus menjaga hubungan dengan Allah swt. Dalam bahasa lain, satu sisi kita harus melakukan aktivitas keduniaan dan di sisi lain harus beribadah. Misalnya, kita disibukkan dengan pekerjaan yang sulit atau tidak bisa ditinggalkan, karena bisa merugikan, padahal kita wajib salat. Terkadang kita juga bisa melakukan salat, karena keadaan yang tidak memungkinkan. Contohnya, ketika terjebak kemacetan. Sedangkan untuk melakukan salat jamak merasa tidak bisa, karena belum sampai diperbolehkannya jamak.

Maka timbullah pembahasan apakah boleh melakukan sholat jamak ketika seperti itu? Atau bagaimana tanggapan fikih terhadap salat jamak bagi orang yang tidak melakukan perjalanan al-jam’u fi al-Hadlar?

Islam tidak lain adalah agama yang selalu memberikan kemudahan kepada pemeluknya. Ajaran-ajarannya selalu bisa dilakukan dengan mudah oleh pemeluknya. Bahkan ketika ada ajaran yang terasa memberatkan kepada hambanya, ajaran tersebut akan dipermudah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

إنما بعثت بالحنفية السمحة

Pada dasarnya aku diutus untuk membawa (ajaran/agama) yang toleran dan mudah. (al-Mu’jam al-Kabir, 170:VIII)

Hadis tersebut hanya salah satu dalil yang menyatakan bahwa ajaran Islam mudah. Masih banyak lagi dalil, baik Al Quran atau al-Hadits secara jelas menyampaikan hal ini. Seperti penggalan surat al-Baqarah ayar 185.

Dalam masalah jamak, dalam Kitab fath al-Mu’in hal 469:II dijelaskan bahwa secara umum, para Imam Mahdzab terbagi menjadi dua. Pertama, menyatakan bahwa salat jamak hanya boleh dilakukan ketika perjalanan haji di ‘Arafah atau Muzdalifah. Jadi menurut pendapat ini, selain perjalanan Haji tidak boleh melakukan jamak. Bagi mereka, illat dari jamak bukanlah safar (perjalanan), melainkan nusuk (ibadah haji). Pendapat ini, disampaikan oleh Abu Hanifah dan pengikutnya, yang didasarkan atas apa yang dikerjakan Nabi.

Adapun pendapat kedua, disampaikan oleh kalangan jumhur. Menurut mereka, boleh melakukan jamak saat perjalanan apapun, dengan syarat sudah sampai diperbolehkannya salat qashar, yaitu 16 farsah. Banyak hadis yang dijadikan sandaran untuk pendapat ini, salah satunya hadis berikut,


عن معاذ قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في غورة تبوك فكان يصلي الظهر والعصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا.

Diriwayatkan dari Mu’adz dia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw. Saat perang tabuk, (ketika itu) beliau salat dzuhur dan ashar dengan cara dijamak, salat magrib dan isya’ dengan cara dijamak.” (Shahi Muslim, 460:VI)

Dalam kitab Ibanatul Ahkam disebutkan, kalangan Hanafiyyah tidak setuju dengan pendapat Jumhur dengan mengeluarkan sanggahan. Menurut mereka, hadis-hadis yang menjelaskan tentang kebolehan jamak pada selain perjalanan haji bukanlah salat jamak seperti yang kita pahami. Akan tetapi, dikenal dengan jamak shury, yaitu mengakhirkan salat yang pertama dan mengerjakan salat yang kedua di awal waktunya.

Jumhur pun menjawab sanggahan kalangan Hanafiyyah, dengan mengatakan bahwa sanggaahan ini tidak benar. Sebab menurut mereka, dalam dhahir hadis tersebut tidak mengatakan demikian. Tidak ada yang mengindikasikan bahwa maksud kata jamak hadis tersebut adalah jamak shury. Maka tidak perlu diarahkan kepada jamak shury. Apalagi untuk penggambaran jamak shury tidak tertentu pada Dhuhur-Ashar dan Magrib-Isya’, bahkan Ashar-Magrib pun bisa. Dengan demikian, pendapat jumhur ini lebih kuat daripada pendapat Hanafiyah.Sebagaimana dalam Kitab fath al-Bari li Ibnu al-Hajr, hal. 315:II)

Kemudian, apakah yang memperbolehkannya salat jamak hanya safar? Apakah orang yang tidak melakukan perjalanan juga diperbolehkan jamak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatikan hadis berikut;


عن ابن عباس قال جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء عي المدينة من غير حوف ولا مطر فقيل لابن عباس ما أراد إلى ذلك قال أراد لا يخرج أمته.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Nabi Muhammad saw menjamak dhuhur dan ashar serta menjamak maghrib dan isya’ saat di Madinah tanpa disebabkan adanya rasa khawatir dan tanpa adanya hujan”. Lalu Ibnu Abbas ditanya, “Apa yang diinginkan Nabi dari apa yang beliau lakukan?, beliau menjawab, “Agar tidak mempersulit pada umatnya.” (Sunan Abi Dawud. 387;II)

Dalam redaksi lain tidak menggunakan kata ولا مطر tapi dengan redaksi ولا سفر. Sehingga kesimpulannya, Nabi pernah menjamak saat tidak takut hujan, dan tidak sedang melakukan perjalanan. Hadis ini jelas tentu berbeda dengan hadis sebelumnya. Pada hadis sebelumnya dijelaskan kebolehan jamak saat melakukan perjalanan. Sedangkan dalam hadis ini, tidak disebutkan alasan apapun yang menjadi penyebab Nabi melakukan shalat jamak.

Dengan begini, seakan-akan Nabi menjamak salat di rumah (fi al-hadlar) tanpa alasan apapun. Artinya, jika ingin mengambil dhahirnya hadis tersebut, maka umat Islam diperbolehkan melalukam salat jamak kapanpun saja, saat tidak melakukan perjalanan.

Namun, walau ada hadis tersebut. jumhur tidak sembarangan dalam menentukan sesuatu yang diperbolehkan salat jamak fi al-Hadlar. Mereka tidak membolehkan salat jamak secara mutlak. Mereka masih menentukan dan membatasi bagi orang yang tidak melakukan perjalanan.

Dan dalam pandangan Malikiyyah, salat jamak fi al-Hadlar bisa dilakukan ketika adanya sakit, takut, atau hujan. Ada juga di kalangan Malikiyyah, jamak fi al-Hadlar bisa dilakukan ketika adanya sakit, takut atau hujan. Ada juga yang dikalangan Malikiyyah yang memberikan syarat tambaha bagi kebolehan jamak saat hujan, yaitu bahwa hujan harus pada malam hari, sehingga yang boleh dijumpa magrib dan isya’ buka dhuhur dan ashar. Karena dalam pandangan mereka orang tidak terpengaruh hujan saat malam hari. dalam arti mereka masih bisa melanjutkan pekerjaan dunia, semisal berdagang.

Mayoritas syafi’iyyah memiliki pandangan yang berbeda, yaitu memperbolehkan jamak fi al-Hadlar saat hujan. Sedangkan saat sakit dan takut tidak diperbolehkan jamak.

Pendapat lebih longgar disampaikan oleh ulama Hanabilah. Menurut mereka jamak fi al-Hadlar boleh dilakukan oleh : 1. Orang sakit. 2. Perempuan yang menyusui, bagi mereka merasa kesulitan untuk bersesuci di setiap waktu. 3. Orang yang tidak mampu bersuci. 4) orang buta yang tida mengetahui keluar masuknya waktu sholat 5. Perempuan yang istihadah. Orang-orang yang sibuk atau udzur yang diperbolehkan untuk tidak salat jumat.

Selain pendapat-pendapat di atas, terdapat pula pendapat yang lebih longgar, yaitu Ibnu Mundzir dari kalangan syafi’iyah serta Ibnu Sirrin dari kalangan Malikiyyah. Menurut mereka, boleh menjamak salat ketika hajat (kebutuhan), asalkan tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang tidak memberikan penjelasan faktor apakah yang menjadi penyebab Nabi menjamak shalatanya.

Pendapat ini memang cukup bermasalah, mengingat bahwa hadis tersebut adalah hadis fi’liy yang lebih memiliki banyak kemungkinan pada hadis qouliy. Setelah mengikuti penjelasan di atas, perlu kita ketahui bahwa salat adalah tiang agama (imadu ad-din). Dan jamak disyariatkan untuk memberikan kemudahan.

Oleh karenanya, senyampang kita bisa melakukan salat sesuai pada waktunya, maka lebih baik tidak melakukan jamak. Namun apabila itu memberatkan atau bisa melalaikan salat maka ita lebih baik mengikuti pendapat yang terakhir ini. Seperti orang yang betul-betul tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, seperti terjebak dalam kemacetan. Tapi dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan.

Catatan ini menunjukkan bahwa salat jamak ketika keadaan seperti ini memang sangat dibutuhkan, karena memudahkan bagi kita.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.