Sumber: gambartanganblog

Oleh: Rizka Nur Maulidiyah*

Hari itu matahari seperti menyembunyikan sinarnya, pohon-pohon dan dedaunan bergoyang layaknya seorang putri yang menari-nari. Semilir angin berhembus dari ketinggian menuju suatu pemukiman. Batu-batu berhamburan, kayu-kayu roboh, bak sehabis dilahap monster.

Perjalanan ini sangatlah menyedihkan. Perjalanan ini seperti jadi saksi, hati terkapar melihat kering rerumputan. Kuberjalan meneliti apa yang terjadi dengan hati yang sedih ini. Kuingin menghentikan langkah tapi hatiku mencoba untuk memberontak untuk melanjutkannya. Entah apa yang terjadi sehingga aku tetap berjalan untuk melihat alam sekitar.

Ketika berjalang, aku melihat ada seorang penggembala kecil duduk termangu di atas sebongkah batu yang  bergeletakan. Terlihat, seperti ada yang dia pikirkan. Aku mencoba mendekatinya dan bertanya kepadanya,  “Namamu siapa, dik?”

“Toni,” ucapnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari jawaban yang diberikan dengan sangat singkat, membuatku penasaran tentang bocah ini. Sehingga aku mencoba terus bertanya hal lain,

“Apa yang kau lakukan disini, dik?”

“Kenapa kamu tidak sekolah?”

“Aku lagi mengembala kambing kak, aku sekarang tidak sekolah kak,” jawabanya.

“Memang kenapa dek kamu sekarang tidak sekolah?” tanyaku. Lantas dia menangis sejadi-jadinya.

Aku heran dan kasihan denga apa yang terjadi pada si penggembala kecil itu. Apakah ada pertanyaan yang membuat hatinya terluka. Aku merasa bersalah dan aku memeluknya. Dia menangis dalam pangkuanku, dia tidak peduli kondisi kambingnya dan siapa aku yang dia peluk.

Setelah lama menangis, lalu dia diam dan menatapku dengan tajam.  Aku heran dan penasaran, “Maafkan kakak, dek. Mungkin pertanyaan kakak melukai hatimu?”

Dia menjawab dengan penuh tangis, “Tidak kak, bukan sebab pertanyaan kakak menjadikan aku menangis,” ujar Toni.

“Lantas kenapa dek, apa yang membuat kamu menangis?” ucapku.

“Aku sudah satu tahun ini putus sekolah. Sekarang hidupku berubah drastis kak, rumahku roboh, ibu dan bapakku telah meninggal akibat tsunami. Yang aku miliki sekarang hanya kambing-kambing ini,” ujarnya dengan mata berbinar.

“Kamu tinggal dimana sekarang?” “Sekarang aku tinggal bersama kakekku yang sudah sakit-sakitan,” imbuhnya. Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya karena sudah tidak bisa menahan tangis. Aku mencoba untuk menenangkan dia walaupun itu tidak ada hasilnya. “Sudah-sudah, jangan diterusin.” Pikiranku sudah melayang kemana-mana. Tak terasa, dari mataku menetes air pula.

Aku bukanlah Soekarno yang akan menolak ketidakadilan. Aku bukan seorang dokter yang bisa menyembuhkan luka orang yang sakit. Aku hanyalah mempunyai hati dan mata yang bisa dirasakan dan melihat. Itu adalah mata batin yang tidak buta .

Dengan keadaan (sekarang yang terjadi), membuatku tidak menghentikan perjuanganku. Apakah keadaan ini pantas dan adil untuk si kecil Toni. Ataukah Tuhan ingin menguji hambanya. Apakah Tuhan bosan melihat kelakuan manusia yang selalu tidak puas. Ataukah alam sudah tidak sanggup menahan kelakuan manusia yang merusaknya?

Aapun itu, aku masih bertanya-tanya. Pikiranku tiba-tiba menyambungkan dengan keadaan kekuasaan dan kepemimpinan di negeri ini. Apa jadinya negeri ini, jika pemimpinya ingin menang sendiri. 10, 20, atau 30 tahun kedepan, apa yang terjadi jika yang dialami oleh Toni terjadi kepada generasi-generasi yang lain. Di mana para pejabat, yang katanya ringan tangan (suka bederma) kapanpun.

Di mana para perwakilan rakyat yang selalu ada untuk rakyat (katanya), mana. Di mana mereka semua? Apakah mereka tidak tau apa yang terjadi kepada rakyatnya atau karena mereka buta kondisi rakyat yang kesusahan?

Kalau mereka tidak mau, lalu rakyat menilai jelek, di mana mereka semua? Benar kata Gus Dur, pemimpin itu punya mata, tapi sayang mata itu tidak digunakan untuk melihat keadaan rakyat. Mereka punya hati, tapi mereka tidak bisa merasakan keadaan yang dialami oleh rakyat. Mereka punya telinga, tapi sayang telinganya tidak digunakan untuk medengar keluhan rakyat. Mereka itu disebut; mata batinnya buta.

Aku mencoba mengajak Toni untuk jalan-jalan melihat kondisi pemukimannya. Ketika sampai di sebuah pantai, Toni duduk tanpa sepatah kata pun. Dia menatap jauh, dan dia berteriak, “Aaaaaaaaaaaaaaa.” Dia ingin kondisinya berubah.

Selepas dari laut, Toni mengajak pulang. Setiba di rumah kakeknya, keadaan sang kakek memprihatinkan. Sang kakek sakit, tapi memaksakan untuk bekerja demi memenuhi biaya hidup, tetapi Toni berhenti sekolah karena kekurangan biaya dan memutuskan menjadi pengembala kambing.

Aku tidak tahan mendengar ceritanya. Selepas dari situ, aku kembali menuju laut yang telah kami singgahi tadi. Aku mencoba berkata kepada ombak, pasir, dan matahari, tetapi semuanya diam dan membisu.

Aku sadar bahwa memang hidup itu penuh perjuangan. Perjalanan ini sangatlah menyedihkan, sayang para penjabat dan para perwakilan rakyat  tidak ikut bersamaku melihat banyak kondisi yang harus mereka ketahui. Aku sadar, aku harus berusaha untuk mewujudkan kesejateraan untuk orang orang seperti Toni.

Setelah dari laut, aku berjalan untuk menikmati keindahan kota Aceh, orang-orangnya sangat ramah kepada tamu mereka. Aceh sangat memperhatikan hukum, terutama hukum Islam yang berlaku disana. Juga terlaksana dengan baik. Dari perjalanan ini, semoga ada hikmah yang dapat diambil.


*Penulis adalah santri Pondok Putri Pesantren Tebuireng Jombang.