ilustrasi: santri

Oleh: Satrio Dwi Haryono

Sepuluh tahun terakhir bermunculan model-model baru pesantren yakni, mulai mendirikan dan mengembang lembaga pendidikannya. Melalui berbagai sekolah formal dari SD / MI hingga perguruan tinggi pesantren ingin turut merespon perubahan zaman. Model tak serupa juga terus ditemukan seperti pesantren enterpreneur, pesantren ekologis, dan lain sebagainya. Hal ini seakan menjadi hal wajib dalam melakukan respon terhadap realitas. Pasalnya, zaman terus berubah juga dibarengi dengan persoalan-persoalan baru.

Hal tersebut juga diafirmasi oleh Kuntowijoyo (1991) dengan mengatakan pesantren tidak hanya mengembangkan pendidikan keagamaan namun juga meliputi kegiatan sosial, ekonomi dan ekologi.

Pada mulanya, pesantren hanya menjadi pendidikan non-formal yang menghasilkan lulusan-lulusannya sebagai ahli di bidang agama Islam. Namun dengan model-model baru, pesantren dapat mengasilkan alumni-alumni yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, namun juga ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, politik, alam, dan lain sebagainya.

Sejatinya, seorang santri merupakan murid yang mengenyam pendidikan agama di suatu kawasan pesantren. Lingkup tertutup juga menjadi “hakikat” dari seorang santri yang sedang menempuh pendidikan di pesantren. Namun, zaman ini dengan transformasi sosial yang begitu kuat mengharuskan pesantren atau santri untuk bersikap lebih terbuka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seperti yang dijelaskan di muka, pesantren telah menciptakan model-model baru yang lebih variatif. Namun dalam hal ini akan dibahas sedikit mengenai pesantren mahasiswa.

Pesantren Mahasiswa: Suatu Pesantren atau Hunian?

Secara mendasar terdapat dua model pesantren mahasiswa yakni pesantren yang menginduk pada perguruan tinggi dan pesantren yang tidak menginduk dengan perguruan tinggi namun menerima santri yang berstatus mahasiswa. Kategori pertama ini biasanya merupakan binaan dari perguruan tinggi.

Dalam hemat penulis, untuk kategori pertama ini merupakan tempat untuk penyetaraan pengetahuan bagi mahasiswa perguruan tinggi islam yang belum pernah mengenyam pendidikan islam baik di pesantren atau pun madrasah. Biasanya mereka belum menguasai dasar-dasar keagamaan Islam secara baik.

Anehnya, mereka seringkali disebut sebagai mahasantri. Padahal dalam definisinya, “maha” memiliki arti tinggi. Tentu dalam konteks ini adalah keilmuan. Lantas, layak—kah mereka yang berada pada pesantren tersebut disebut sebagai mahasantri?

Kategori kedua biasanya dihuni oleh para mahasiswa yang sedang belajar di perguruan tinggi di sekitar pesantren. Kebanyakan dari mereka merupakan alumnus-alumnus pesantren sebelum menginjakkan kakinya di perguruan tinggi. Namun tak sedikit pula yang sama halnya dengan kategori pertama yakni, kasaranya, belum begitu mendalam pengetahuan agamanya.

Dari kedua kategori tersebut bagi penulis tidaklah seutuhnya menjadi santri atau pun mahasiswa. Pasalnya, mereka hanya melakukan peminjaman identitas ketika berada di lingkungan perguruan tinggi atau pun pesantren. Porsi kegiatan yang begitu njomplang pun kentara. Ada yang malah berlarian melancong bergabung dengan organisasi atau pun komunitas sehingga tanggung jawab di pesantren dan di perguruan tinggi tidak terpenuhi.

Bahkan parahnya, ada yang ketika melepas identias santrinya dan memeluk identitas mahasiswa bersuka ria dengan lawan jenis berboncengan berdua, nonton bioskop, nonton konser dan parahnya hingga menginjak cipika-cipiki.

Kedua model pesantren ini kebanyakan telah menyediakan fasilitas yang begitu mewah dan jauh dari kata rekoso. Tersedianya secara merebak teknologi membuat para ‘santri’ merasa leha-leha. Kelonggaran jadwal di pesantren dengan dalih mengerjakan tugas kuliah pun dijadikan senjata bagi para ‘santri’ untuk melancong kesana kemari.

Jika hal tersebut marak ditemui alih-alih menghasilkan lulusan yang begitu kompeten, pesantren mahasiswa justru mendegradasi hal tersebut. Bayangan dapat mencetak generasi yang ahli di bidang ilmu agama islam dan ilmu pengetahuan umum hanya akan menjadi ilusi semata.

Baca Juga: Mahasantri, Pengemban Psywar terhadap Radikalisme

Di sini perlunya pesantren mahasiswa melakukan pendisiplinan sistem dengan tujuan tetap terjaganya muru`ah kesantrian. Tetap terjaganya ketakwaan, akhlak yang karimah, mencintai ilmu dan lain sebagainya. Jangan sampai pesantren (mahasiswa) terkesan seperti hunian atau kos-kosan. Ya, kos-kos an islami.

*Santri Pondok Ngeboran, Boyolali.

Referensi: Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.