ilustrasi radikalisme

Kader Intelektual Nahdlatul Ulama

Badan Pusat Statistik mencatat selama tahun 2022 terdapat 4.004 Perguruan Tinggi di Indonesia. Dilansir dari Kompas.id, audiensi yang digelar oleh jajaran pengurus Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU)  bersama Wakil Presiden Republik Indonesia, KH Ma’ruf Amin yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, pada Senin (13/2/2023). Pada pertemuan tersebut, jajaran pengurus LPTNU melaporkan pertumbuhan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama tumbuh sangat pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dengan jumlah perguruan tinggi mencapai 254 lembaga pendidikan.

Dengan catatan tersebut, tentunya Nahdlatul Ulama akan sangat siap mencetak kader intelektual di seluruh penjuru tanah air. Ditambah dengan ribuan mahasiswa nahdliyin yang tersebar pada perguruan tinggi lainnya.

Ancaman Terorisme dan Radikalisme

Penangkapan salah satu terduga teroris yang terafiliasi dengan jaringan ISIS (Islamic State of Irak and Syiria) yang merupakan karyawan BUMN oleh Densus 88 dengan temuan senjata api, buku-buku terkait terorisme, dan barang bukti lainnya seakan membuka mata kita yang mungkin selama ini cukup “terlelap” dengan bahaya terorisme, pemahaman takfiri dan radikal.

Sebelum menyentuh pembahasan lain, kita harus mengapresiasi kinerja POLRI, BNPT, Densus 88 dan lembaga terkait lainnya yang kaitannya dengan pencegahan terorisme. Apabila dibahasakan, terorisme memang seakan seperti daun pada pohon yang selalu tumbuh apabila telah daun lain telah gugur. Sehingga cukup sulit kaitannya apabila memberantas secara tuntas dengan keyakinan bahwa jaringan teroris akan berhenti.

Kampus dan perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang sangat potensial melahirkan bibit-bibit mahasiswa kritis akan keadaan sesuai dengan fakta sosiologis yang berlangsung di dalam masyarakat. Namun, seringkali yang tidak disadari bahwa mahasiswa juga menjadi  salah satu pihak yang rentan menjadi sasaran bagi kelompok-kelompok radikal dalam recruitmen yang kaitannya dengan terorisme.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara empiris, portal dan gerbang radikalisme ialah halaqah-halaqah kajian, organisasi kampus yang tersebar yang disusupi oleh agen-agen kelompok radikal dengan paham takfiri. Kelompok-kelompok seperti ini akan dengan sangat mudah men-judge pemahaman golongan lain secara ekstrem, bahkan pada tahap tertentu dengan mudah mengkafirkan sesama muslim hanya karena perbedaan pendapat dalam derajat khilafiyah.

Bahasa-bahasa yang sering dilontarkan antara lain negara thaghut, demokrasi kafir, dan lain sebagainya. Apabila terdapat mahasiswa yang terindikasi akan hal-hal tersebut, maka harus sesegera mungkin dilakukan deradikalisasi secara berkelanjutan.

Mahasantri sebagai Aktor Intelektual

Penelitian BIN (Badan Intelijen Negara) pada 2017 mencatat sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme (cnnindonesia.com). Atas data tersebut , penulis yakin bahwa angka mahasiswa nahdliyin dalam setiap kampus memiliki porsi dan peran yang yang cukup potensial untuk menangani hal tersebut.

Apabila boleh dibahasakan, mahasiswa ini dapat dijuluki “mahasantri” akronim dari “mahasiswa santri”. Banyak peran yang dapat dilakukan oleh mahasantri ini, baik melalui politik kampus, pengadaan kajian/seminar kaitannya dengan bahaya radikalisme, ataupun memanfaatkan teknologi informasi yang ada.

Politik kampus tentunya memiliki tipe dan gaya pergerakan sesuai pergaulan kampus yang berlaku dan berkembang. Tetapi, dengan hadirnya satu kader nahdliyin dalam penentuan kebijakan kampus/kemahasiswaan, kegiatan mahasiswa, atau sekedar fasilitator mahasiswa sudah cukup memberi warna akan islam moderat dan mampu menangkal paham-paham yang berpotensi melahirkan kader teroris yang akan berbahaya bagi keberlangsungan generasi mahasiswa dalam kampus tersebut.

Maka, untuk saat ini dapat dikatakan, bahwa penangkapan terduga teroris kemarin adalah “lampu kuning” bagi semua pihak. Untuk menangkal hal tersebut, kader mahasantri ini harus siap menyingsingkan lengan baju untuk bersiap atas segala kemungkinan menyusupnya paham-paham takfiri dan radikal melalui organisasi intra maupun ekstra kampus. Dengan segala resiko, seharusnya mereka cukup untuk memiliki keberanian intelektual dalam mencurrahkan segenap tenaga dan pikiran melakukan psywar terhadap agen-agen mereka.

Sosial media pada zaman ini bukanlah medan perang yang ecek-ecek dan tidak dapat dijadikan lahan jihad. Kemasan jihad kita tentunya berbeda dengan skema jihad atau yang disebut ‘amaliyah’ oleh para teroris. Sebaliknya, jihad kita ialah menyebarkan Islam yang moderat ala ahlussunnah wal jamaah an nahdliyah sebagai rahmat dan payung yang meneduhkan bagi semuanya. Bagaimana opini publik sangat mudah dibentuk dan digiring dengan jaringan media sosial merupakan salah satu keuntungan bagi milenial mahasantri, tentunya dengan cara yang baik dan berakhlak. Sebelumnya, mengenali kelemahan lawan merupakan satu langkah untuk memenangkan pertempuran.

Oleh sebab itu, sangat perlu untuk mengenali dan menggali kelemahan kelompok-kelompok mereka kaitannya dengan pergerakannya. Satu dari sekian kelemahan dari kelompok radikal adalah mereka cukup sulit menembus mahasiswa yang memiliki basic pemahaman Islam yang moderat, sering bergaul, dan terbiasa  beragama dengan riang gembira. Sasaran mereka selama ini apabila dilihat secara kasat mata ialah mahasiswa yang saklek (kaku), kurang bersosialisasi, dan memiliki idealisme akan kurang kaffahnya islam yang ada saat ini di Indonesia. 

Maka cyberwar menjadi salah satu poin yang harus dimenangkan apabila ingin mengurangi dampak menyebarnya radikalisme di kalangan remaja dan pemuda saat ini. Menyelamatkan adik-adik, orang lain, kawan-kawan dari bahayanya radikalisme merupakan satu tugas mulia yang bisa dilakukan dimanapun, kapanpun, dana bagaimanapun melalui dunia maya. Mahasantri ini memang tidak dituntut untuk menjadi ‘polisi ideologi’ namun lebih tepatnya sebagai ‘kader intelektual’ Islam yang moderat, nasionalis, dan agamis.


Ditulis oleh Nur Muhammad Ikhsanun, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Kader Pagar Nusa Rayon UIN Sunan Kalijaga