ilustrasi: santri

Oleh: Uzair Assyaakir

Lulusan pondok malah menghindari balik kampung? Kenapa bisa begitu? Simak tulisan ini!

Nek sifat e wes gawanan ket bayi, ya gak iso diubah sampek mene gedhe,” atau jika diterjemahkan berbunyi, “kalau sifatnya sudah bawaan dari bayi, ya tidak bisa diubah sampai dewasa,” menjadi momok yang samar terbayang menghantui pikiran Muhammad Nashikhul Ibad (23) sampai saat ini.

Ibad adalah santri lulusan pondok pesantren Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam Depok. Saat saya melakukan wawancara pada 3 Juli 2023, dirinya mengaku bahwa dalam hati kecilnya, ia sebenarnya tidak ingin terlalu lama balik kampung.

“Di sini itu kadang merasa tidak berguna. Lebih enak di luar kampung, entah mondok itu atau ya kadang mengisi khutbah.” ujarnya sambil sesekali mengembuskan asap rokok.

Apa yang dikatakannya ialah akibat dari rasa sungkannya terhadap kampung halaman semasa kecil. Ibad mendaku dirinya adalah anak yang nakal saat dulu masih kecil hingga beranjak remaja. Tetangga kiri-kanan-depan-belakangnya sudah hapal betul akan hal itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengunduh mangga tanpa izin yang punya, menggigit tangan anak tetangganya hingga harus dijahit, melempar garam hingga mengenai mata dari teman sebayanya, dan sudah pernah dimarahi satu kompleks serta dicap sebagai biang onar, adalah sedikitnya cerita masa lalu yang Ibad tuturkan. Meski begitu, berbanding terbalik dengan kelakuannya, dirinya selalu mendapat ranking pertama di kelas semasa sekolah madrasah dahulu. Sekilas saya langsung kepikiran dengan tokoh Dilan. Begajulan di luar sekolah, tapi urusan isi kepala tetap cemerlang.

Pria yang memiliki senyum manis itu kemudian mondok, menjadi santri di pondok pesantren yang ada di Jombang sejak SMP hingga SMA, kemudian dilanjut menempuh pendidikan sarjana sekaligus melanjutkan perjalanan memperdalam agamanya di Depok. Sebagaimana seorang santri yang sedang menimba ilmu sekaligus ngalap barokahnya sang kyai, dirinya sangat jarang pulang ke kampung halamannya.

“Dulu ibu pernah bilang, ‘le, kamu gak bakal dipercaya di desa ini sebelum kamu membuktikannya’,”

Demikian dirinya bercerita. Ketidakpercayaan yang dipanggul Ibad adalah imbas kenakalannya semasa kecil. Akan tetapi ketika saya tanya, apakah memperdalam pemahaman agama melalui kegiatan mondok ini ia lakukan karena ingin membuktikan sesuatu? Ibad terang menjawab, tidak.

“Tak ada yang perlu dibuktikan. Awalnya mondok itu kan untuk diri saya sendiri, syukur-syukur bisa bermanfaat untuk masyarakat.”

Kini, setelah menyelesaikan S1 program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, pulang kampung masih menjadi sesuatu yang bikin hati Ibad gusar. Tak lain dan tak bukan, kegusaran di hatinya itu berasal dari citra diri yang sudah buruk di mata orang-orang sekampungnya.

“Iya, di sini itu kayak gak mungkin dipercaya. Wong dulunya anak nakal,” ujarnya.

Hanya satu minggu dia pulang ke kampung halamannya. Dalam waktu yang singkat itu, dia bercerita kalau saat Idul Adha dirinya sempat diamanahi untuk berkhotbah di masjid kampung yang terletak di Pucang Telu, Lamongan. Masjid kampung biasa, tetapi yang membuat ia merasa yakin mengemban amanah itu adalah karena yang menjadi jamaah sholat ied adalah orang-orang yang tidak ia kenal secara langsung. Atau pendeknya, bukan warga yang sekampung dengan dirinya.

Tak dapat dipungkiri, persepsi masyarakat yang telanjur melekat tentang kepribadian seseorang di masa lalu akan sangat sulit untuk dihilangkan atau diubah. Dewasa ini, branding diri menjadi hal yang penting dan terus-menerus diusahakan untuk diperbaiki.

“Dulu pernah, waktu main ke Bandung ada yang nanya, ‘dari mana ini?,’ waktu itu aku bareng temen-temen sepondok lagi jalan setelah turun dari bus. Saat itu juga cuma pake celana pendek. Eh tiba-tiba satu temen saya nyeletuk menjawab ‘santri Al-Hikam, bang.’ Uh, mati aku. Bukan karena apa, seharusnya ya tidak perlu membawa nama pondok di saat berpakaian santai kayak gitu. Nanti kesannya bisa buruk.” ujar Ibad berkelakar.

Dalam pikiran orang-orang, santri seyogyanya memakai peci, mengenakan gamis, dan selalu bergiat di masjid. Anggapan itu mungkin benar, tetapi entah santri, ustaz, atau lainnya, manusia tetaplah manusia. Jalan-jalan santai menghirup udara segar di ruang terbuka seharusnya mudah dilakukan oleh siapa saja asal memakai pakaian yang sopan.

“Manusia kan bisa berubah. Jadi ya jangan kemudian dianggap sama saja dengan masa lalunya.” ujarnya.

Semoga melalui cerita Ibad ini kita bisa berpikiran terbuka. Bahwa hidup tidak melulu konstan. Melalui pengalaman dan pembelajaran, manusia bisa berubah. Tugas kita sebagai manusia yang tergabung dalam kelompok masyarakat adalah sebisa mungkin berprasangka baik kepada sesama.

Baca Juga: Santri Mahasiswa: Mahasantri?