Pesantren Tebuireng.

Oleh: Muhammad Abror Rosyidin*

“Membersihkan hati dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan ilmu yang barokah. Selain itu dengan hati bersih, akan lebih mudah menerima dan mempelajari ilmu.” (KH. M. Hasyim Asy’ari, dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim)

Menarik kiranya, bagi kita untuk menghayati dan menginternalisasi pesan guru besar kita ini. Pendiri dari pesantren yang sudah 122 tahun mengawal Islam dan Indonesia memadu.

Di ulang tahun yang sudah hampir satu seperempat abad ini, Tebuireng terus mengalami dinamika perubahan demi perubahan, seiring perubahan zaman dengan berbagai tekanan dan arus yang terus meningkat, maka dilakukanlah berbagai inovasi, akulturasi, integrasi, dan si-si-si lainnya.

Namun, cukup memperihatinkan, di hari berdirinya ini, ada tulisan seorang alumni yang bagi penulis secara pribadi, juga bagi beberapa orang yang beberapa saat lalu berdiskusi dengan penulis tentang konten yang diangkatnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Judulnya pun cukup menarik pembaca “Barokah adalah Candu Santri, dan Tebuireng Salah Satunya”. Titik berat tulisan itu, mengarah kepada Tebuireng yang menurutnya mengalami desalafifasi atau menuju modernisasi yang sedikit-demi sedikit menggerus budaya pesantren.

Begitu kiranya pemahaman penulis tentang apa yang diutarakannya dalam tulisan yang dimuat opini.id. Kata pertama yang muncul dalam benak penulis setelah tamat membacanya adalah “picik”.

Artinya, pikirannya terlalu sempit untuk melihat luasnya dinamika perkembangan Tebuireng yang pesat. Terkungkung dalam nostalgia masa mondoknya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa hal itu berpengaruh terhadap kepicikan berpikir.

Dia menganggap, apa yang dipikirkannya itu sangat luas, terlampau betul, atau sukar dipikirkan oleh orang lain. Lalu penulis agak tergelitik, di mana ia menyebutkan bahwa tulisan itu tidaklah hasil dari subjektifitas belaka. Padahal kritikan model begitu, terlebih kepada Tebuireng, terlampau jadul, kuno, dan tidak relevan.

Perkembangan dan dinamika adalah anak dari zaman. Torehan prestasi Pak Ud dalam mengasuh mengalami masa emas, pada era awal dan pertengahan periode antara tahun 1965-1980. Terbukti banyak alumni yang dilahirkan menjadi tokoh dan ulama terkemuka di negeri ini.

Pada era akhir kepengasuhan Pak Ud, sepengatahuan penulis dari para senior, beberapa alumni era 60-80-an, juga era sebelum Pak Ud mengasuh, mulai memberikan usulan dan saran atas kelangkaan alumni yang memahami betul ilmu-ilmu kepesantrenan.

Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa alumni di era itu, tidak berkualitas atau tidak bagus. Sungguh amat sangat tidak berani, karena kesantrian penulis, sampai mengatakan begitu.

Namun, penulis hanya menceritakan fakta bahwa kondisi saat peralihan dari Pak Ud kepada Gus Sholah, Tebuireng memang butuh pengembangan yang agak revolusioner, itulah kenapa Pak Ud harus memilih pengganti yang tepat, selain karena keuzuran beliau, dan juga faktor kesehatan dan usia. Maka dipilihlah Gus Sholah yang dianggap Pak Ud kompeten. Adapun Gus Ishom yang digadang-gadang dapat melanjutkan estafet, ditakdirkan Allah meninggal di usia muda pada 2003.

Sebelum mengarah kepada tanggapan penulis terhadap ulasan ananda Muhammad Lutfi tersebut, penulis ingin menceritakan kronologi, fakta, dan data yang penulis ketahui. Saat peralihan dari Pak Ud ke Gus Sholah, biar tidak out of data karena subjektifitas akibat kepicikan nostalgik.

Karena kerancuan pola pikir ananda Muhammad Lutfi inilah, penulis sampai-sampai siang-siang bolong di tengah menyelesaikan tulisan ini, harus telepon Ibu Nyai Farida Salahuddin Wahid untuk mencari data asli dan fakta sesungguhnya.

Saat itu santri Tebuireng mengalami penurunan secara kuantitas dan beberapa sarana memerlukan sentuhan-sentuhan ciamik dari Gus Sholah sebagai seorang insinyur berkelas nasional. Akhirnya Gus Sholah membangun asrama yang lebih besar, masjid direnovasi, diperluas dan diperbagus terasnya, tanpa mengubah masjid asli yang diwariskan Hadratussyaikh.

Revitalisasi fasilitas dan pendidikan pun dimulai. Mari buka mata dan penglihatan batin kita sekali lagi. Kalau soal pendidikan salaf ala pesantren yang dikeluhkan, mari buka data lagi. Zaman itu, sekolah memang tidak full day school, alias tidak sepanjang pagi sampai sore, atau hanya sampai siang saja.

Setelah shalat Dhuhur santri mengikuti pengajian diniyah untuk memperdalam kitab kuning dan gramatika Arab. Naasnya, waktu itu, dipakai oleh santri, melipir tidak ikut ngaji. Bayangkan separuh dari jumlah santri malah asyik di kamar, hilang entah ke mana, tidak ikut pengajian.

Gus Sholah melihat itu sebagai bentuk penurunan kesalafan dan perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Akhirnya sekolah diperpanjang sampai sore, dan pengajian ditata sedemikian rupa tersistem dengan adanya takhasus yang dibuat berjenjang sesuai kemampuan.

Lagipula di dalam sekolah penuh itu, juga ada materi-materi kitab. Ini juga yang jadi titik tekan kritik ananda Lutfi kepada Tebuireng era Gus Sholah? Saya katakan lagi, nirdata yang dilakukannya fatal. Kalau masalah capek tidaknya santri harus sekolah full sampai sore, lalu malam harus mengaji.

Saya bertanya-tanya? Adakah ulama yang lahir dari proses kemalasan? Itulah belajar. Saya ingat petuah Kiai Musta’in Syafi’i soal adigium ngalap barokah, bahwa perlu diingat, barokah itu ada dua, barokah yang berarti ketenangan, tambahnya kebaikan, ayem, dan tentrem, serta barokah yang bermakna produktif.

Maka barokah itu diraih tidak hanya duduk di makam meminta wangsit dari Allah tapi juga dari kesungguhan berproses. Ketika diberikan waktu longgar untuk belajar, santri malah mangkir dari pengajian, maka perlu dituntun dengan sistem, agar proses itu dikawal.

Adapun saat itu ananda Lutfi merasa itu tidak efektif, ya berarti hanya sebatas itu kemampuan ananda untuk “ngalap barokah”, tak usah mengeneralisir perkara. Kalau sistem yang ananda tuduh sebagai biang kemalasan santri, buatlah penelitian yang baru, tentang penyebabnya. Kalau tak mampu, ya berarti ilmunya memang belum cukup, belajar lagi yang giat.

Lagi, dawuh guru penulis yang lain, Kiai Ahmad Roziqi, sekarang menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng yang dulu pernah menjadi tempat belajarnya ananda Lutfi ini. Kata beliau, “Doktrin barokah tidak boleh direndahkan sebagai alasan tidak belajar. Harus diperkuat bahwa barokah beriringan dengan kegigihan dalam belajar dan berkhidmat”.

Pesan yang sangat paripurna sebenarnya menggambarkan sumbingnya pemikiran ananda soal barokah. Subjektifitas dalam berargumen itu harus didasari oleh data, bukan hanya dengan ulasan.

Jika memang pernah melakukan survei, berapa prosentasenya? Berapa persen yang setuju, berapa persen yang sebaliknya? Lalu bicara soal sampel datanya seperti apa? Siapa saja yang ditanya, jenjang sekolahnya bagaimana? Rentan usianya seberapa? Wes wes wes, itu ketinggian, takutnya tidak sampai ke sana alur berpikirnya.

Itulah baru akademis dan ilmiah, kalau hanya melompat selompatan dapat buah apel, seperti tupai, ya tentu, itu penipuan bukan cerdas.

Fakta berikutnya, sebagai bukti bahwa justru Gus Sholah membangkitkan lagi kesalafan Tebuireng setelah lama terpendam.

Dari masa Kiai Kholiq Hasyim pernah ada Madrasah Muallimin. Tahun 1966, lulusan pertama sekaligus menjadi lulusan terakhir, karena akan dibubarkan, santri kelas 4, 5, dan 6 diluluskan semua.

Zaman Pak Ud juga ada Madrasah Muallimin, sampai pada tahun 1991 dihapus dan digantikan dengan adanya Majma’ al-Buhuts (forum diskusi mahasiswa dan santri senior). Lalu pada 2008, dihidupkan kembali oleh Gus Sholah dan tim 11 yang ditunjuk untuk merealisasikan itu.

Muallimin didirikan berawal dari enam santri saja, tapi Gus Sholah meminta untuk terus dilanjutkan hingga sekarang ini terus berkembang. Fokusnya untuk mengembalikan ruh salaf di Tebuireng Lalu, Pak Ud mewariskan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Pak Ud menjawab permintaan para alumni sepuh untuk mendirikan satu unit pendidikan yang khusus mencetak kader tafaquh fi ad-diin. Mengamalkan titah Tuhan, “Minhum thaifatun liyatafaqqahu fi ad-diin”.

Di antara santri-santri unit-unit lain belajar agama sekaligus memperdalam ilmu umum, ada satu unit yang fokus pada tafaqquh fi ad-diin. Langkah Pak Ud ini tepat, dan oleh Gus Sholah dijawab dengan pengembangan. Ma’had Aly ini strata S1, sebelumnya konsen di Fikih dan Ushul Fikih, tetapi selepas resmi diakui negara, menjadi jurusan Hadis dan Ilmu Hadis.

Lagi-lagi, usaha itu tidak lain untuk mengembalikan ruh hadis di Pesantren Tebuireng. Sekarang ini kedua unit itu mewarnai. Lulusan-lulusannya menjadi agen Tebuireng dari kalangan ahli salaf. Di antara para santri dan mahasantrinya, juga banyak yang menjuarai lomba baca kitab dan lomba-lomba lain yang berkaitan. Apalagi sekarang Mahad Aly Tebuireng sedang proses pengajuan program pascasarjana (S2) sebagai bukti Tebuireng selalu melakukan pendalaman turots tanpa meninggalkan penyelarasan tuntutan zaman.

Butuh data? Penulis siap menjadi perantara untuk berdialog dengan mudir kedua lembaga itu. Lah wong, Madrasah Aliyah Salafiyah Syaf’iyah, tempat ananda belajar dulu, juga banyak menorehkan prestasi, banyak yang bahkan dapat melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Saya cukup terganggu dengan satu kalimat dalam tulisan ananda setelah menjelaskan bahwa Gus Sholah adalah seorang teknokrat dibenturkan dengan realita kepesantrenan, berbunyi, “Eh justru berujung dikotomi yang ironi”.

Kata dikotomi ini sepertinya ananda tidak begitu memahami. Justru kritikan dalam tulisan ananda, menunjukkan dikotomi akut yang selama ini menghantui pendidikan pesantren dan pendidikan Islam pada umumnya, yaitu dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Seakan ilmu agama adalah akhairatsentris, sedangkan ilmu umum hanya urusan dunia saja.

Justru Gus Sholah ingin menampik itu, bahwa ilmu apapun tergantung pada niat dan aplikasinya, semua bisa berorientasi pada akhirat, bisa sebaliknya, keduanya bisa juga dibawa ke arah duniawi. Belajar agama untuk sombong, untuk tenar, untuk mendulang uang yang banyak, untuk menipu, ya mengikis nilai ukhrawinya. Jadi siapa yang mendikotomi?

Jadi, Tebuireng sebenarnya memberikan peluang dan pilihan untuk para santri. Kalau mau ansich belajar agama, jenjang SLTP/SLTA ada Muallimin, kalau tingkatan mahasiswa ada Ma’had Aly. Jikalau ingin belajar agama sekaligus belajar umum dengan porsi seimbang ada unit MASS dan MTsSS.

Jika ada yang ingin belajar agama tapi lebih tertarik memperdalam ilmu umum, tentu pilihannya ada SMP-SMA A. Wahid Hasyim. Jika ingin belajar agama terkhusus Sains dipadukan dengan Alquran, ada SMP Sains, SMA Trensains, dan MTs Sains Salahuddin Wahid. Walau berbeda yayasan, tapi masih saudara sesanad keilmuan, jika ingin menghafal Alquran, juga bisa masuk ke Madrasatul Quran. Barangkali mau sekolah kejuruan, ada SMK Khoiriyah Hasyim. Justru Tebuireng telah memberi pilihan yang banyak, agar para santri dapat menimbang mana minatnya.

Sungguh Elok nian desain para kiai kita, sejak zaman Kiai Hasyim sampai sekarang. Beliau-beliau menanamkan sistem yang punya ciri khas masing-masing. Saya ingat dawuhnya Kiai Musta’in bahwa setiap pengasuh punya ciri khasnya masing-masing, tidak perlu dibenturkan.

Mereka semua saling melengkapi, memberi, mewarisi, dan mengembangkan. Semua itu, juga tidak bisa jadi apa-apa tanpa kerjasama yang epik antarlini di dalam pesantren itu, termasuk pengurus, santri, pengasuh, yayasan, majlis keluarga dll. Sekarang ini pun pengasuh, Kiai Abdul Hakim Mahfudz juga mewarisi dan meneruskan tatanan yang ditinggalkan Gus Sholah dan para masyayikh terdahulu.

Intensitas pengajian kitab kuning juga ditingkatkan. Pengajian Kiai Musta’in mengakaji kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim juga rutin dilakukan, bahkan tersedia lewat online, agar alumni seantero jagat bumi dan langit dapat ikut mengaji.

Lembaga-lembaga kajian pemikiran Kiai Hasyim dan para masyayikh terdahulu, juga terus digalakkan. Beliau juga menjalin hubungan yang lebih hangat dengan para Masyayikh di luar Tebuireng guna menambah semarak kajian di Tebuireng seperti mendatangkan Gus Baha’ dan KH. Marzuki Mustamar disamping ngaji secara rutin dengan KH. Musta’in Syafi’i.

Dibentuk dewan masyayikh yang ikut merumuskan ulang kurikulum pelajaran kepesantrenan yang masih dalam penggodokan. Tujuannya agar ada continue improvement dari era ke era. Tentunya gol dari semua perjuangan para kiai kita ini, adalah internalisasi ajaran, lebih dari sekedar pinter baca kitab yang dianggap oleh ananda sebagai puncaknya. Tapi pengamalan, karakter, adab dan akhlak para santrilah utamanya.

Adigium al-Adabu fauq al-‘ilmi, adab di atas ilmu tentu saja ingat kan? Kecuali jika itu dilupakan. Kritik dari para alumni tentu sangat membangun diperlukan. Tapi antara kritik dan asumsi subjektif plus nostalgik yang skeptis, apalagi nonkontributif, saya kira itu sudah seperti anak ayam mengekor buaya.

Sampai detik ini, penulis yakin seyakin-yakinnya, api Tebuireng masih menyala. Terima kasih.

*Santri Tebuireng.