Oleh: Almara Sukma*

Mandi junub, mandi hadas besar, atau mandi wajib merupakan istilah yang sudah tidak asing bagi khalayak umum. Dari ketiga istilah yang dipakai di atas mengandung pengertian yang sama, yaitu mandi yang hukumnya wajib bagi seseorang (muslim) yang mengalami salah satu dari penyebab terjadinya hadats besar.

Mandi dalam bahasa Arab biasa menggunakan kata ghoslu. Secara etimologi, ghoslu yang artinya “mengalirkan air pada sesuatu”. Dan menurut terminologi syariat, kata ini berarti “mengalirkan air ke seluruh badan yang disertai dengan niat yang khusus”.[1]

Dalam kacamata fiqh, mandi dibagi menjadi empat macam, yakni:

  1. Mandi yang dianjurkan yaitu mandinya orang yang telah memandikan jenazah dan mandinya orang yang memasuki kota suci Makkah Al-Mukarramah.
  2. Mandi yang disunnahkan yaitu mandinya seseorang pada hari Jumat, hari Arafah, dua hari raya (Idul fitri dan Idul adha), dan saat hendak memakai pakaian ihram untuk berhaji atau umrah.
  3. Mandi yang diwajibkan yaitu mandi yang dilaksanakan oleh orang yang baru bersyahadat untuk masuk Islam.
  4. Mandi yang fardu yakni mandi junub, mandi setelah selesai haid, mandi setelah selesai nifas, mandi pada saat beristihadah, serta mandi setelah wiladah (melahirkan).[2]

Secara bahasa wiladah diartikan sebagai persalinan atau melahirkan. Termasuk keguguran (sekalipun hanya berupa segumpal darah atau segumpal daging). Syaikh Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozi dalam kitabnya Fathul Qorib menjelaskan bahwa, wiladah yang disertai basah-basah maka hukum mandinya wajib tanpa ada perbedaan pendapat. Sedangkan, wiladah tanpa disertai basah-basah hukum mandinya wajib menurut pendapat qoul ashah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(والوِلادة) المصحوبة بالبلل موجبة للغسل قطعا. والمجردة عن البلل موجبة في الأصح.

[محمد بن قاسم الغزي، فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب = القول المختار في شرح غاية الاختصار، صفحة ٤٢]

Wiladah (melahirkan) tanpa basah, maka hukumnya ketika itu sama seperti hukum janabah (yakni hukum keluarnya mani yaitu wajib mandi) karena bayi adalah hasil percampuran dari air mani lelaki dan air mani wanita, menurut pendapat qoul ashoh. Namun jika kelahirannya diikuti dengan keluarnya darah sebagaimana yang biasa berlaku, maka hukum mandinya wajib menurut ulama tanpa ada perbedaan pendapat.

Kesimpulannya, wiladah hukumnya sama dengan orang junub, yakni wajib mandi. Kewajiban mandi berlaku secara umum bagi perempuan yang melahirkan, meskipun kelahiran tersebut tidak disertai darah. Alasannya, karena anak yang lahir itu terbentuk dari unsur mani yang menyebabkan mandi. Dan, mandi wajib tidak sah bagi perempuan sebelum darah tersebut berakhir.

Apabila setelah melahirkan belum sempat mandi wiladah dan sudah keluar darah nifas maka mandinya setelah darah nifasnya berhenti. Mandinya cukup dengan mandi satu kali saja,

إذا أصابت المرأة جنابة ثم حاضت قبل أن تغتسل من الجنابة لم يكن عليها غسل الجنابة وهي حائض، لأنها إنما تغتسل فتطهر بالغسل وهي لا تطهر بالغسل من الجنابة وهي حائض، فإذا ذهب الحيض عنها أجزأها غسل واحد

( الأم  ١ / ٤٥ )

“Apabila seorang perempuan janabah kemudian dia haid sebelum mandi janabah, maka dia tidak boleh mandi janabah. Apabila darah haid sudah berhenti maka boleh baginya mandi satu kali.”

Adapun lafadz niat ketika mandi sebagai berikut,

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ النِّفَاسِ وَ الوِلاَدَةِ  ِللهِ تَعَالَى

Artinya: “Aku niat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari nifas dan melahirkan karena Allah Ta’ala.”


[1]Muhammad bin Qosim al-Ghozi, Fathul Qorib. Hal. 41

[2] Nurul Asmayani, Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 63-67


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari