Oleh: Muhammad Najib*
Kekerasan dalam dunia pendidikan sudah seperti jamur di musim hujan saat ini. Maraknya tindakan kurang terpuji telah menodai dunia pendidikan Indonesia. Kekerasan baik fisik maupun verbal telah banyak terjadi, tidak hanya dari guru ke murid namun bahkan sebaliknya. Kekerasan seakan telah menjadi pemungkas masalah-masalah yang terjadi.
Salah satu kasus yang masih hangat di ingatan kita adalah kasus tewasnya guru Budi. Seorang guru seni yang mengajar di salah satu sekolah menengah atas di kota Sampang, tewas dipukul oleh siswanya sendiri. Kejadian bermula ketika salah seorang siswa tidak mendengarkan materi yang disampaikan, sehingga guru Budi menegurnya dengan mengoleskan cat lukis dengan kuas di pipi siswa tersebut. Rasa tidak terima membuat sang siswa memukul guru Budi, yang akhirnya berujung pada kematian.
Kasus yang lain terjadi di Purwokerto, Jawa tengah. Seorang guru menampar beberapa siswa di depan kelas. Seperti yang dilansir di situs BBC News (20/4/18), guru tersebut menampar beberapa siswa lantaran telat masuk kelas. Akhirnya guru tersebut menghukum siswa-siswa tersebut dengan sebuah tamparan. Menurut video yang beredar di media sosial, tamparan tersebut terlihat keras. Namun begitu, akhirnya kasus tersebut selesai ‘hanya’ dengan permintaan maaf.
Sebenarnya dalam payung hukum Indonesia sendiri telah diatur apa dan bagaimana seharusnya siswa dan guru harus berlaku. Dalam UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2004 tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”
Dari pasal itu saja sudah dapat dilihat bahwa peserta didik adalah pihak yang harusnya terlindungi dari tindak kekerasan, apa pun itu. Peran guru selain menjadi pendidik juga disebutkan dalam pasal itu, yakni menjadi pihak yang harusnya menjadi pelindung peserta didik. Namun apakah landasan yuridis ini sudah mampu mengatur atau menjamin perilaku yang baik dalam proses belajar mengajar? Penulis kira belum.
Dalam membimbing peserta didik, Ki Hajar Dewantara telah memberikan kita sebuah kalimat padat nan filosofis, yaitu “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun Karso, tut wuri Handayani”. Tiga kalimat itu menggambarkan etika seharusnya dari seorang pendidik, dimana sebagai seorang pendidik guru harusnya dapat menjadi teladan, penuntun, dan pengarah. Dengan begitu, maka sudah tidak mungkin jika guru yang melakukan tindak kekerasan akan menjadi teladan, penuntun, apalagi pengarah bagi muridnya.
Menurut Syaiful Sagala (2013: 223), guru bagi siswa adalah sebagai pengganti orang tua di sekolah, yang bertugas untuk mendidik dan membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa menjadi manusia dewasa. Oleh karena itu, seharunya siswa memperlakukan guru sebagaimana ia memperlakukan orang tuanya di rumah, sehingga tata krama dan sopan santun dapat diberlakukan pula terhadap guru di kelas.
Jika dalam agama Islam, guru memiliki posisi yang sangat mulia. Ini dikarenakan oleh tugas seorang guru yang juga sebagai agen dakwah atau penyebar ilmu. Dalam dunia pesantren, derajat seorang ustadz terlebih kiai sangat lah tinggi, sehingga para santri harus tawaduk kepadanya. Tawaduk berarti menjaga etika dan sopan santun ketika berhadapan dengan seseorang. Bahkan dalam bahasa pesantren, ilmu seorang santri atau pelajaran tidak akan barokah atau menjadi kebaikan jika dalam proses menuntut ilmu ia tidak berlaku baik terhadap gurunya.
Akhirnya dapat kita simpulkan, bahwa faktor paling fundamental dalam menangani kasus kekerasan ini adalah kesadaran masing-masing pihak, baik dari lembaga pendidikan, peserta didik, maupun pihak luar seperti keluarga dan lingkungan, terhadap peran yang sedang dimainkan, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar.
Nilai akhlak atau etika yang baik juga harus terus dikembangkan, sekali lagi oleh seluruh pihak. Tentunya hal ini tidak bisa dibangun secara instan dan perlu proses panjang, sehingga dapat tertanam sedalam-dalamnya, dan menjadi tabiat dan kebiasaan baik sehari-hari.
*Alumni Tebuireng, mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.