Sumber gambar: jalandamai.org

Oleh: Rif’atus Zuhro*

Hal paling fundamental dari rumah Indonesia adalah berhasil memadunya nilai-nilai agama dan cinta. Keduanya bagai dua sisi yang saling bersinergi dan saling menguatkan sendi-sendi dalam membangun rumah Indonesia.

Manusia Indonesia mempunyai ciri khas yang unik, yaitu hidup dengan ideologi Pancasila yang memadukan keislaman dan keindonesiaan, yang memadukan agama dan cinta. Ramuan ini, tentu saja tidak semata-mata tiba-tiba ada, namun ramuan ini adalah berkat ramutan (yang dirawat) oleh leluhur tetua bangsa yang memahami nilai-nilai agama.

Air yang berasal dari sumber yang jernih, akan terus mengalirkan air yang jernih. Begitulah kira-kira analogi yang tepat untuk menjelaskan asal muasal harmoni yang harmonis yang ada di tengah-tengah kita di rumah Indonesia.

Rumah Indonesia sudah terlanjur mengenal kerja sama antara agama dan cinta. Keduanya tidak saling memusnahkan, justru keduanya saling menguatkan untuk menjadi pijakan kehidupan yang agung, luhur, toleran, dan bertenggang rasa untuk rumah Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Barangkali itulah, satu alasan yang tepat mengapa hingga saat ini rumah Indonesia menjadi gadis jelita yang menyilaukan banyak mata kiri dan kanan, juga mata rasa. Segala tipu daya diajikan untuk meluluhkan rumah Indonesia. Padahal rumah itu punya siapa?

Rasional maupun tidak, dipahami atau tidak, masa begitu cepat bergerak dan akan meninggalkan siapapun yang lengah terhadapnya. Masa juga akan memperdaya siapapun yang terlena karena sibuk mengejar untuk mengerjainya. Rumah sudah tak seperti rumah, rumah serasa seperti neraka bagi yang terkulai lemah.

Dalang-dalang sering bercerita, konon, Islam ke Indonesia dibawa dengan sentuhan cinta sehingga mudah diterima bangsa pribumi. Dalang lain juga bercerita, konon, Islamlah yang membawa Nusantara merdeka setelah dijajah ratusan tahun oleh bedebah Belanda. Ia terus bercerita tanpa kemarahan, Indonesia tidak akan merdeka, tanpa kemarahan, tidak akan ada persatuan untuk melawan. Dongeng yang melelahkan namun syarat makna dan hikmah.

Saat ini, kata dalang lain siapapun boleh berdongeng semaunya. Justru, yang disoal, ketika tidak ada antitesis dari tesis yang palsu. Meskipun antitesis nya juga akan turut palsu, tapi setidaknya manusia tetap berpikir sesuai dengan kodratnya meskipun berpikir untuk menipu sejarah rumah Indonesia.

Dalang teringat kata Cak Nun dalam beberapa ceramahnya, kebenaran letaknya di dapur, ketika kebenaran ditunjukkan di muka umum, maka yang tampak adalah kebaikan, yang tampak adalah keindahan.

Kebenaran ada tiga, kebenaran diri sendiri (personal), kebenaran kelompok, dan kebenaran yang sebenarnya, katanya.

Benar saja, kebenaran kelompok cenderung menganggap orang lain jauh dari kebenaran yang mereka yakini, dan kelompok cenderung untuk menyalahkan kelompok yang dianggap tidak sama dengan kelompok tersebut, padahal kebenaran yang mereka yakini adalah sebatas kebenaran kelompok dan bukan kebenaran yang sebenarnya. Yang ada bukanlah kebenaran, tapi menuju kebenaran, semua individu, semua kelompok yang diyakininya adalah menuju kebenaran.

Saat ini, tetua-tetua bangsa merawat rumah Indonesia tanpa tendensi ingin berkuasa. Meski tampak sekali jauh dari layar kaca, namun kedalaman kata-kata mereka mampu menembus kaca hingga beribu-ribu mil tetap terasa tentram dan meneduhkan rumah Indonesia.

Tetua-tetua bangsa sengaja tidak mau nampak di layar kaca, karena sudah banyak kaca yang tidak rata, tapi cembung dan cekung, justru tidak ada gunanya.

Doa untuk bangsa, adalah penyelamat bangsa yang mungkin tidak banyak dicerna oleh mata dari akal yang hanya melihat layar kaca.

Layar kaca dari rumah Indonesia penuh dengan politisi kata, layar kaca penuh dengan drama dan ambisi kekuasaan atas nama perlindungan rakyat jelata, namun buta akan cinta. Apalah arti kata-kata jika matamu buta akan kata rumah Indonesia. Apalah arti kata-kata jika kau sibuk memupuk lembar-lembar di dalam saku dada.

Apalah arti kata-kata cinta, jika rumah Indonesia kalian jadikan berbeda dari rasa-rasanya, menipu dengan kata, membohongi dengan kata, sudahlah mengaku saja.

Kembalilah tetua bangsa, unjuklah di layar kaca rumah Indonesia, rumah Indonesia yang sudah berbeda.


*Penulis adalah alumnus STIT UW Jombang, yang saat ini sedang bekerja di Laziznu Jakarta.