KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng; memimpin Tebuireng selama tiga tahun (1947 – 1950). Salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia pada umumnya. Pahlawan nasional ini juga dikenal sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN) dan merupakan Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir, dan Kabinet Sukiman).
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Pagi itu, Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M., dari dalam bilik rumah sederhana milik pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah, terdengar tangisan bayi memecah suasana pagi. Para santri yang saat itu sedang mengaji, langsung tanggap bahwa itu adalah suara putra Kiai Hasyim yang baru lahir. Sang ibu yang sudah lama menanti kehadiran bayi laki-laki, sangat gembira dengan kelahirannya.
Kiai Hasyim memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Akan tetapi nama itu agaknya kurang sesuai baginya. Namanya kemudian diganti dengan Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya.
Abdul Wahid adalah putera kelima pasangan Kiai Hasyim-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun). Dia anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.[1]
Berkelana Mencari Ilmu
Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebuireng.
Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.
Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa Inggris.
Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas.[2] Selain menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2 tahun.
Memimpin Tebuireng
Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng. Siswa pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.[3]
Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang—saat itu—belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Pada tahun yang sama, tepatnya pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M., Kiai Wahid menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang). Ada peristiwa menarik dalam prosesi pernikahan ini. Mempelai lelaki hanya berangkat seorang diri ke Denanyar. Kiai Wahid datang hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.
Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Terpilihnya Kiai Wahid sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.
[1] Ketika Abdul Wahid berumur tiga bulan, ia dibawa oleh ibunya menemui Kiai Cholil Bangkalan untuk memenuhi nadzar sang ibu. Ketika tiba di kediaman Kiai Kholil, keduanya tidak dibolehkan masuk rumah. ”Kamu tidak saya izinkan masuk ke rumah ini, dan tidak saya izinkan meninggalkan tempat itu sebelum ada perintah dariku!” seru Kiai Kholil dari dalam rumah. Nayi Nafiqah mematuhi perintah Kiai Kholil. Ia tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya semula, meskipun hujan turun sangat deras dan suara guntur menyambar silih berganti. Dengan hati yang amat ikhlas dan tawakal, ia duduk sambil meletakkan bayi Abdul Wahid di pangkuannya. Nyai Nafiqah merasakan ada kekuatan gaib yang membuatnya tenang.
Isyarat Kyai Kholil ini baru terpecahkan ketika tersiar kabar bahwa KH. Wahid Hasyim mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan antara kota Bandung dan Ciamis. Saat itu hujan turun sangat lebat. Kecelakaan itu mengakibatkan K.H. Abdul Wahid, yang saat itu menjadi Menteri Agama, meninggal dunia.
[2] KH. Muhammad Ilyas adalah mantan Menteri Agama dalam tiga kabinet berbeda: Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956), Kabinet Ali-Roem-Idham (1956-1957), dan Kabinet Djuanda (1957-1959); beliau juga mantan Kepala Madrasah Aliyah Tebuireng.
[3] Meskipun demikian, perubahan ini tetap berpijak pada tradisi keilmuan Islam. Ini yang membedakannya dari sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pendirian Madrasah Nizhamiyah Tebuireng diinspirasi oleh institusi pendidikan an-Nidzamiyah Baghdad yang didirikan oleh pemimpin Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk, pada tahun 1092 M., dimana materi pelajarannya juga memuat filsafat Yunani. Madrasah Nidzamiyah mengalami kemunduran bahkan akhirnya “mati” gara-gara Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta.
Bersambung, selanjutnya….