pak udKH. Muhammad Yusuf Hasyim atau biasa dipanggil Pak Ud, tergolong pengasuh terlama di Tebuireng setelah Kiai Hasyim Asy’ari. Pak Ud mengasuh Tebuireng selama 41 tahun (1965-2006), sementara Kiai Hasyim mengasuh Tebuireng selama 48 tahun (1899-1947). Selain itu, Pak Ud juga tergolong pengasuh Tebuireng yang berumur panjang bila dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Kiai Wahid Hasyim wafat di usia 39 tahun, KH. Abdul Kholik wafat dalam usia 48 tahun, dan KH. Abdul Karim Hasyim wafat pada usia 54 tahun. Sementara Pak Ud wafat pada usia 77.

Pak Ud menjadi pengasuh Tebuireng menggantikan kakaknya, Kiai Kholik Hasyim, yang meninggal dunia tiga bulan sebelum meletusnya peristiwa G302/PKI. Selama memimpin Tebuireng, Pak Ud selalu memperjuangkan kemandirian pesantren dan mengupayakan pendidikan murah bagi semua kalangan.

Kelahiran dan Masa Kecil

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pak Ud lahir pada 3 Agustus 1929, di tengah suasana santri yang tengah khusyuk melantunkan ayat-ayat suci al-Quran dan lengkingan suara azan yang memenuhi angkasa Tebuireng. Dia adalah anak terakhir (bungsu) dari tujuh bersaudara (selain empat saudaranya yang meninggal di waktu kecil).

Masa kecilnya dihabiskan di Tebuireng. Dia belajar membaca al-Quran langsung dari ayahandanya. Ketika melakukan perjalanan, Kiai Hasyim sering meminta Muhammad Yusuf kecil untuk mengulangi hapalan ayat-ayat Al-Quran, baik saat naik mobil, kereta api, atau naik delman (dokar).

Sejak berumur 12 tahun, dia mondok di Pesantren Al-Quran Sedayu Lawas, Gresik, yang dipimpin oleh Kiai Munawar. Kemudian pindah ke pesantren Krapyak, Jogjakarta, di bawah asuhan Kiai Ali Ma’sum. Setelah dari Krapyak, Pak Ud sempat menimba ilmu di pondok modern Tegal, Ponorogo.

Meskipun tidak sempat mengenyam pendidikan formal, tapi Pak Ud rajin membaca dan banyak bergaul dengan kalangan terpelajar. Hal itu diimbangi dengan ketajaman intuisi dan keluwesan bergaul. Ini sangat mendukung ketika Pak Ud harus terjun sebagai politisi Nasional di kemudian hari.

 

Pejuang Bangsa

Secara ideologis, sejak dulu umat Islam di Indonesia sangat anti Barat, sehingga dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang untuk melawan Sekutu. Awalnya pemerintah Jepang mengizinkan pendirian Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menangani urusan pernikahan, talak, rujuk, dan ibadah haji, dengan tujuan untuk mengambil hati umat Islam. Selain itu, penjajah Jepang juga menyetujui berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) bulan Oktober 1943. Dan ketika ancaman Sekutu kian meningkat, Jepang menyetujui usulan para tokoh Islam untuk membentuk Laskar Hizbullah bulan Desember 1944. Setahun sebelumnya, tebentuk pula PETA (Pembela Tanah Air).

Sebagai tokoh Islam yang sangat berpengaruh, Kiai Hasyim Asy’ari mendukung penuh berdirinya PETA dan Hizbullah, bahkan merestui dua orang puteranya bergabung di dalamnya. Abdul Kholik Hasyim bergabung ke PETA dan ikut latihan menjadi daidanco (Komandan Batalyon), sedangkan Pak Ud yang saat itu masih berumur 16 tahun, masuk Hizbullah sekitar awal tahun 1945.

Setelah Amerika Serikat menjatuhkan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki (tanggal 14 dan 15 Agustus 1945), lalu disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, di berbagai wilayah banyak organisasi-organisasi massa yang membentuk laskar-laskar bersenjata. Salah satunya adalah Laskar Hizbullah. Yang menggunakan nama Laskar Hizbullah cukup banyak. Masyumi, yang saat itu merupakan salah satu partai besar, mempunyai laskar yang juga bernama Hizbullah.

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari juga membentuk Laskar Hizbullah, yang kemudian dikenal sebagai Laskar Hizbullah Cibarusa, karena perkembangannya berada di wilayah Cibarusa, Cimahi, Jawa Barat.

Sementara Pak Ud, walaupun dalam usia yang masih sangat muda, bergabung dengan Laskar Hizbullah Jombang. Ketika resolusi jihad lahir, disusul dengan meletusnya Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, Pak Ud terpilih menjadi komandan Kompi Laskar Hizbullah Jombang.

Setelah berhasil menaklukkan kota Surabaya, pasukan Belanda bergerak ke arah Jombang dan berhasil memporak-porandakan kota santri itu. Pasukan yang dipimpin Kolonel Van Der Plass tersebut lalu bergerak ke arah selatan menuju Tebuireng. Pesantren Tebuireng yang saat itu dipimpin Kiai Wahid Hasyim, dituding sebagai tempat persembunyian Tentara Republik sehingga diserang sampai luluh lantak.

Pasukan Van Der Plass lalu bergerak ke selatan untuk mengejar pasukan Republik pimpinan Pak Ud. Dalam kontak senjata di Desa Laban, selatan Tebuireng, Pak Ud tertembak di bagian dada sebelah kiri. Namun peluru hanya merobek baju uniform kebanggaannya, tidak sampai menembus dada. Pak Ud sempat pingsan selama beberapa jam akibat tembakan tersebut.

Pak Ud kemudian diamankan di rumah Maksum, teman dekatnya. Rumah Maksum memang digunakan sebagai tempat menyembunyikan mortir, bedil, mesiu, dan tentara yang sedang dicari-cari Belanda. Setelah 3 hari bersembunyi, Pak Ud meninggalkan tempat persembunyiannya bersama beberapa warga desa. Dari Desa Laban mereka melewati hutan jati ke desa Sugihwaras, Wonosalam, Gumeng, sampai ke kawasan Tretes di Malang. Jarak itu ditempuh selama berminggu-minggu dengan berjalan kaki.

 

Berkeluarga

Setelah lama bergerilya, Pak Ud dan pasukannya turun gunung dan memilih desa Pojok, tepatnya di rumah Kiai Abdul Karim, sebagai markas tentara. Markas dengan komandan Kapten Hambali ini, dalam perkembangannya, semakin ramai dikunjungi anggota pasukan maupun rakyat yang simpati pada perjuangannya.

Di markas ini pula semangat perjuangan Pak Ud makin terpompa, terutama ketika mendapat kunjungan seorang gadis Madiun, yang ketika itu datang menjenguk kakaknya, Kapten Hambali, yang sedang sakit. Gadis cantik itu bernama Siti Bariyah. Awalnya pemuda Yusuf Hasyim menganggap pertemuan dengan adik komandannya ini biasa saja. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri, hatinya kemudian terusik.

Pada kesempatan berikutnya, Pak Ud mendapat kesempatan mengunjungi rumah Siti Bariyah di Madiun. Jabatannya sebagai Komandan di Kompi Hambali, membuatnya cepat akrab dengan keluarga Siti Bariyah. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Lalu pada tanggal 24 November 1951, pernikahan keduanya diresmikan tanpa kehadiran mempelai wanita, karena Siti Bariyah masih harus meneruskan sekolahnya di Solo.

 

Pemberontakan PKI

Ketika Perdana Menteri Moh Hatta melakukan rasionalisasi dan strukturisasi TNI, Pak Ud masuk dalam dinas TNI dan mendapat pangkat Letnan Satu di bawah pimpinan Letkol Munasir. Menurut satu sumber, Letkol Munasir adalah teman dekat Kiai Wahid Hasyim.

Dalam peristiwa Madiun 1948, Pak Ud menjadi salah satu komandan tempur yang berada di garis depan. Pak Ud bersama pasukannya berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting yang diculik PKI, seperti Kapten Hambali, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Imam Zarkasyi, pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo. Saat itu Pak Ud terjun bersama kakaknya, Kiai Kholik Hasyim.

Tujuh  tahun  berikutnya, yaitu tahun 1955, PKI kembali melakukan pemberontakan melalui peristiwa G30S dengan dibunuhnya beberapa Jenderal TNI. Di tengah peristiwa G30S/PKI, Pak Ud dan keluarga sudah pindah ke Jakarta, tinggal di kawasan Tebet. Pak Ud, oleh orang-orang PKI di Jakarta, juga dijadikan target pencarian, namun tidak berhasil ditangkap karena saat itu berada di Tebuireng.

 

Karier Politik

Mundur dari aktivitas sebagai tentara, dengan pangkat terakhir Letnan Satu, Pak Ud memulai kariernya di kancah politik praktis. Perjalanan karier sebagai politikus dimulai ketika Pak Ud menjadi wakil Sekretaris Jenderal di Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Antara tahun 1963-1964, Pak Ud dihadapkan dengan kenyataan banyaknya aksi sepihak berupa perebutan tanah rakyat (land reform) yang dilakukan anggota PKI. Menghadapi aksi ini, NU membentuk Barisan Serba Guna (Banser) tahun 1964. Banser diharapkan mampu mengimbangi aksi sepihak PKI. Pak Ud didapuk menjadi komandan.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1967, Pak Ud mengawali karier politik dengan menjadi wakil rakyat ketika ada refreshing (penyegaran) keanggotaan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Kebijakan merombak keanggotaan DPRGR ini menyusul terbitnya instruksi Jenderal Soeharto, yang mengaku mengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk membersihkan parlemen dari anggota yang berasal dari PKI dan simpatisan Orde Lama.

Memasuki gerbang DPR, Pak Ud segera terlibat dalam berbagai proses politik yang sangat dinamis di hari-hari menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Karier di DPR terus bertahan hingga tahun 1980-an.

Menjelang pemilu 1982, hubungan antara NU dengan PPP pimpinan Naro putus, sehingga Pak Ud pun tergusur dari DPR. Namun Pak Ud tidak begitu saja meninggalkan gelanggang politik. Sebagai salah seorang ketua PBNU, beliau turut berperan ketika NU memutuskan serangkaian kebijakan bersejarah tahun 1984, seperti kembalinya khittah NU 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal.

Di masa reformasi, dimana banyak bermunculan partai-partai politik, Pak Ud ikut meramaikannya dengan membentuk Partai Kebangkitan Umat. Lalu menjelang akhir hayatnya, Pak Ud dipercaya sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai PPP.