KH. Ahmad Baidlawi Asro merupakan pengasuh Tebuireng yang sangat konsens pada pendidikan dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Beliau benar-benar menekuni dunia pendidikan dan sedikitpun tidak terlibat urusan politik. Seorang figur pendidik yang sederhana dan bersahaja, ikhlas, tekun beribadah, dan tidak memiliki ambisi apa-apa.
Kepemimpinan Kiai Baidlawi merupakan hal yang baru di Tebuireng, di mana seorang menantu dapat menduduki posisi pimpinan pesantren di saat putra-putri Kiai Hasyim Asy’ari masih ada. Masa kepemimpinan Kiai Baidlawi berlangsung satu tahun, dari tahun 1951 sampai 1952.
Kelahiran
Kiai Baidhawi lahir di Banyumas, Jawa tengah, pada tahun 1898 M. Ayahnya, Kiai Asro, merupakan kiai yang sangat terkenal di Banyumas. Salah seorang cucu Kiai Asro adalah KH. Saifuddin Zuhri, mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 1961-1967 yang juga mertua Gus Solah.
Pendidikan
Kiai Baidhawi memulai pendidikannya di HIS Banyumas, setelah itu dilanjutkan ke Pesantren Jala’an dan Pesantren Nglirep (keduanya di Kebumen), serta beberapa pesantren lain di Jawa Tengah.[1] Setelah tamat, sang guru merekomendasikannya untuk melanjutkan studi ke Pesantren Tebuireng Jombang, yang saat itu diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Selama nyantri di berbagai pesantren, Kiai Baidhawi terkenal sangat rajin belajar, baik mempelajari kitab yang telah dikaji ataupun yang belum. Ketekunan itu ditopang oleh kecerdasannya yang luar biasa. Dia selalu menarik simpati sang kiai, di manapun berada, tak terkecuali Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim sering menunjuk Kiai Baidhawi sebagai pengganti bila sedang berhalangan. Bahkan tidak jarang dalam masalah-masalah tertentu, Kiai Hasyim bermusyawarah dan meminta pertimbangan kepadanya.
Sebagai bentuk penghargaan kepada murid istimewanya itu, Kiai Hasyim memberangkatkannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di sana. Setelah itu, Kiai Baidhawi melanjutkam studinya ke al-Azhar, Kairo, yang merupakan perguruan Islam tertua di dunia.
Berkeluarga
Sekembalinya dari Mesir, Kiai Baidhawi mengabdikan diri di Tebuireng dengan membantu Hadratus Syeikh mengajar. Tak lama kemudian, Hadratus Syeikh menjodohkannya dengan putri ketiganya, Aisyah. Dari pernikahan ini Kiai Baidhawi dikaruniai 6 putra-putri. Yaitu Muhammad, Ahmad Hamid, Mahmud, Ruqayyah (istri KH. Yusuf Masyhar MQ), Mahmad, dan Kholid.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah dikaruniai anak yang ke-6, Nyai Aisyah diapanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kesedihan melanda keluarga besar Kiai Baidhawi.
Atas restu keluarga, Kiai Baidhawi kemudian menikah lagi dengan Nyai Bani’, adik Kiai Mahfudz Anwar (Seblak). Dari perkawinan ini Kiai Baidhawi dikaruniai seorang putri bernama Muniroh.
Kemudian Kiai Baidhawi menikah lagi dengan keponakan Kiai Mahfudz Anwar bernama Nadhifah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 5 putra-putri. Yaitu Muthohar, Hafsoh, Munawar, Munawir, dan Fatimah.
Pendidik Sejati
Kiai Baidhawi menjadi pengasuh Tebuireng setelah Kiai Karim memintanya untuk menggantikan kedudukannya. Salah satu peran penting Kiai Baidhawi di Tebuireng adalah pengenalan sistem klasikal (madrasah). Sebagaimana diketahui, sejak awal berdirinya, Tebuireng menggunakan sistem pengajian sorogan dan bandongan. Namun sejak tahun 1919, Kiai Baidhawi bersama Kiai Maksum mulai memperkenalkan sistem klasikal, meskipun materi pelajarannya masih terbatas pada kitab-kitab klasik (penambahan materi umum baru dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim sejak tahun 1935).
Dikisahkan, pada suatu hari di tahun 1919, Kiai Baidhawi sedang mengajar santri dengan papan tulis. Tangan kanannya memegang kapur dan menulis huruf-huruf Arab, dan tangan kirinya juga memegang kapur dengan menulis huruf-huruf latin (pada masa itu jarang sekali santri yang bisa menulis latin). Melihat hal ini, Kiai Hasyim Asy’ari tertarik dan mengatakan, ”Tidaklah mungkin seseorang dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu.” Sejak saat itulah di Tebuireng diperbolehkan mengadakan sistem madrasah, yang kemudian diberi nama Madrasah Salafiyah Syafiiyah, dengan jenjang mulai sifir awal hingga qism as-sadis (kelas enam).
Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa selama masa pengabdiannya di Tebuireng, Kiai Baidhawi tidak pernah aktif dalam dunia politik praktis. Satu-satunya jabatan yang pernah dipegangnya adalah anggota Dewan Syuriah PBNU.
Selama masa kepemimpinannya, Kiai Baidlawi tidak melakukan perubahan sistem maupun kurikulum di Tebuireng. Kiai Baidhawi meneruskan dan memelihara sistem yang sudah ada.
Ketika kepengasuhan Tebuireng ingin diteruskan oleh KH. Abdul Kholik Hasyim, Kiai Baidhawi sama sekali tidak merasa keberatan. Dia menyerahkan kursi pengasuh kepada adik iparnya itu dengan ikhlas hati. Baginya, figure pemimpin tidaklah penting. Yang penting adalah kelangsungan proses belajar-mengajar di pesantren Tebuireng, terlepas siapa pengasuhnya.
Meskipun tidak lagi menjadi pengasuh Tebuireng, Kiai Baidhawi tetap tekun membantu proses belajar-mengajar di sana. Beliau ikut mengajar di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah Tebuireng. Tak jarang bila ada waktu longgar, beliau memantau para santri ke kamar-kamar.
Kepergian Sang Pendidik
Jumat sore di tahun 1955, cuaca di langit Tebuireng terasa sejuk. Kiai Baidhawi, yang pada siang harinya menjadi imam salat jumat dan ikut mendoakan korban bencana di Aceh, pada sore harinya mengalami demam tinggi. Demam itu terus dirasakan hingga malam hari.
Pada pertengahan malam, para santri dikejutkan oleh berita bahwa KH. Baidhawi telah berpulang ke rahmatuLlah. Allah Swt. telah memanggilnya meninggalkan kehidupan fana ini. Inna liLlahi wa Inna ilahi Raji’un.
Jenazah KH. Baidhawi dikebumikan di area pemakaman keluarga di tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Pada batu nisannya tertulis angka 8. Pesantren Tebuireng benar-benar merasa kehilangan, karena sejak saat itu Tebuireng hanya memiliki beberapa kiai yang termasuk pengajar kitab tingkat tinggi. Yaitu KH. Idris Kamali, KH. Adlan Ali, KH. Karim Hasyim, dan KH. Abd Mannan.
[1] kami kesulitan melacak data pesantren-pesantren di Jawa Tengah yang pernah ”disinggahi” Kiai Baidhawi.