Ilustrasi air

Ada perbedaan ulama dalam menafsirkan lafad thohur. Ulama sepakat bahwa jenis air yang suci dan dapat mensucikan benda lain, sekaligus juga tidak makruh digunakan adalah air mutlak. Air mutlak adalah air yang terbebas dari batasan atau catatan yang mengikat. Artinya jika air tersebut disebutkan, maka tidak perlu menambahkan embel-embel apapun setelahnya. Atau seandainya butuh untuk disebutkan, itu pun hanya bertujuan menjelaskan asal muasal air tersebut, seperti air sungai, air laut dan air sumur.

Berbeda dengan air yang memiliki batasan yang mengikat, seperti air kopi dan air susu. Maka untuk menyebutkan air tersebut, butuh menambahkan kata “kopi” dan “susu” setelahnya. Bahkan jika tidak ditambahkan, akan menyebabkan salah paham.

Perbedaan dalam Memaknai Lafad Thohur

Dasar penetapan air mutlak sebagai air yang suci dan mensucikan adalah Surah Al-Furqon ayat 48:

“وَاَنْزَلْنا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوْرًا”

dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi mensucikan.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara kebahasaan, menurut Imam Mahalli dalam kitabnya Al-Mahalli syarah dari kitab Minhaj Ath-Thalibin milik Imam Nawawi, lafaz “ma’” yang dimutlakkan diarahkan kepada air mutlak atau air yang terbebas dari batasan atau catatan yang mengikat.

Namun dalam pemaknaan lafaz “thohur”, dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir karangan Abu Al-Hasan ‘Ali bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Imam Mawardi, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat antar ulama.

Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Hasan, lafaz  “thohur” bermakna suci. Hal ini berdasarkan pada Surah Al-Insan ayat 16:

“وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَاباً طَهُوْرًا”

Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih (dan suci).

Pada ayat di atas, lafaz “thohurbermakna suci dan tidak bisa diartikan mensucikan.

Selanjutnya, menurut pendapat lain, lafaz “thohur” pada ayat yang pertama memiliki arti mensucikan, dan ini adalah pendapat yang kuat. Landasan pendapat ini secara garis besar terbagi menjadi dua, yakni dari sudut pandang dalil dan kebahasaan.

Adapun dari sudut pandang dalil, pada Surah Al-Anfal ayat 11 dijelaskan Allah menurunkan air dari langit untuk digunakan bersuci. Hal ini menunjukan bahwa air memiliki sifat mensucikan, maka lafaz “thohur” pada surah Al-Furqon bermakna mensucikan.

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّماَءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu.

Kedua, hadis-hadis Nabi yang terdapat redaksi “thohur” di dalamnya, semuanya mengarah kepada makna mensucikan. Sebab jika diarahkan kepada makna suci, akan tidak sesuai dengan konteksnya. Salah satu contohnya adalah tatkala Nabi menyebutkan lima hal yang tidak diberikan kepada Nabi-nabi sebelumnya, di antaranya yakni:

” وجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضَ مَسْجِدًا وَتُرَابُهَا طَهُوْرًا “

dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan tanahnya dapat mensucikan.”

Seandainya lafaz ”thohur” di atas tidak diartikan mensucikan, melainkan dengan arti suci, maka akan menghilangkan sisi keistimewaan Nabi Muhammad. Karena pada masa Nabi-nabi sebelumnya, tanah di bumi sudah memiliki sifat suci.

Adapun dari segi bahasa, lafaz “thohur” adalah shigot mubalaghoh, hasil perubahan dari lafaz “thohir”. Dalam gramatikal bahasa Arab, shigot mubalaghoh harus memiliki perbedaan makna dengan bentuk asalnya. Perbedaan makna ini biasanya terletak pada makna tikror (berulang kali), contohnya antara lafad كاذب dengan lafaz كذّاب, lafaz كاذب bermakna berbohong, sedangkan كذّاب adalah sering kali berbohong.

Namun jika antara shigot mubalaghoh dengan lafaz asalnya tidak bisa dibedakan dengan makna tikror, maka dibedakan melalui makna lazim (intransitif) dan muta’addi (transitif), seperti antara lafaz طاهر dan طهور. Lafaz طاهر adalah lafaz lazim yang tidak membutuhkan objek, dan maknanya adalah suci. Sedangkan lafaz طهور diarahkan kepada makna nuta’addi, yakni mensucikan.

Adapun dampak dari perbedaan pendapat di atas adalah menurut pendapat pertama, boleh hukumnya mensucikan benda najis dengan benda cair selain air, asalkan benda tersebut suci, seperti teh, kopi dan sebagainya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan sebaliknya, sebab yang dapat mensucikan benda lain hanyalah air.

Baca Juga: Jenis-Jenis Air untuk Bersuci

Hikmah yang dapat diambil adalah perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Berawal dari pemahaman yang beda, maka hukum yang dimunculkan pun akan beda.

Oleh karenanya, tidak perlu untuk terlalu menghakimi orang lain yang berbeda dengan kita, karena itu adalah suatu kewajaran. Yang terpenting adalah kita bisa berlapang dada dalam menyikapi perbedaan dan saling bahu membahu terhadap apa yang disepakati bersama.


Ditulis oleh: M. Ahsani Taqwim AJ, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo