
Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia, memiliki peran yang sangat signifikan dalam membangun masyarakat yang toleran. Dengan keberagaman sebagai ciri khas bangsa ini, pesantren hadir tidak hanya sebagai tempat pendidikan agama, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter yang menghargai perbedaan. Dalam konteks kehidupan berbangsa, pesantren telah lama menjadi pilar penting untuk memupuk harmoni sosial di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya.
Sejak awal keberadaannya, pesantren telah mengajarkan nilai-nilai Islam yang inklusif dan ramah terhadap keberagaman. Para ulama pendiri pesantren memahami bahwa Islam di Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kearifan lokal. Oleh karena itu, mereka merangkul tradisi setempat tanpa kehilangan esensi ajaran agama. Proses akulturasi ini menjadikan pesantren sebagai lembaga yang tidak hanya mengajarkan syariat Islam, tetapi juga menanamkan pentingnya menghormati budaya dan tradisi lain yang ada di masyarakat.
Nilai-nilai toleransi di pesantren diajarkan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui pembelajaran kitab-kitab klasik yang sarat dengan ajaran tentang etika dan hubungan sosial. Misalnya, kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali sering digunakan untuk menanamkan pemahaman bahwa menghormati sesama manusia, terlepas dari perbedaan keyakinan, adalah bagian dari ajaran Islam. Selain itu, para santri juga diajarkan konsep ukhuwah yang meliputi tiga dimensi: ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Ketiga konsep ini menjadi landasan dalam membangun sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan.
Tradisi dialog di pesantren juga menjadi salah satu kunci dalam pembentukan sikap toleransi. Dalam forum bahtsul masail, para santri diajak untuk membahas berbagai persoalan kehidupan berdasarkan pandangan para ulama. Proses ini melibatkan perdebatan dan diskusi yang mengharuskan setiap peserta mendengarkan, memahami, dan menghormati pendapat orang lain. Tradisi ini tidak hanya melatih santri untuk berpikir kritis, tetapi juga membangun kesadaran bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan tidak seharusnya menjadi alasan untuk memecah belah.
Baca Juga: Pesantren Transformatif: Menemukan Kearifan dalam Menghadapi Tantangan Zaman
Selain itu, pesantren juga berperan penting dalam mendidik santri untuk memahami sejarah keberagaman Indonesia. Kesadaran tentang bagaimana bangsa ini dibangun atas dasar konsensus bersama dari berbagai kelompok agama, suku, dan budaya ditanamkan sejak dini. Dengan pemahaman ini, santri tidak hanya menjadi individu yang toleran, tetapi juga memiliki komitmen untuk menjaga persatuan bangsa.
Di era modern, ketika ancaman terhadap toleransi semakin nyata, pesantren berperan sebagai benteng utama dalam menangkal ideologi-ideologi yang bersifat intoleran. Radikalisme dan ekstremisme, yang sering kali menyasar generasi muda, menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. Pesantren, terutama yang berbasis Ahlus Sunnah wal Jamaah, konsisten menyuarakan pentingnya moderasi dalam beragama. Nilai-nilai wasathiyah (jalan tengah) menjadi dasar dalam setiap ajaran yang disampaikan. Pendekatan ini bertujuan untuk membentengi para santri dari paham-paham yang menyimpang, sembari menanamkan kecintaan terhadap tanah air dan semangat persaudaraan universal.
Upaya pesantren dalam mempromosikan toleransi juga terlihat dalam berbagai kegiatan lintas agama yang mereka inisiasi. Beberapa pesantren mengadakan program pertukaran pelajar dengan lembaga pendidikan agama lain, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kerja sama antarumat beragama. Inisiatif semacam ini tidak hanya memperkuat hubungan antarindividu dari berbagai latar belakang, tetapi juga menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan dapat dirayakan dalam harmoni.
Peran pesantren dalam membangun toleransi juga meluas ke masyarakat. Alumni pesantren sering kali menjadi tokoh masyarakat yang berpengaruh dalam menciptakan hubungan harmonis di komunitas mereka. Dengan bekal pendidikan yang mereka peroleh, para alumni ini menjadi agen perubahan yang menyebarkan nilai-nilai inklusif di berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pesantren sering menjadi pusat kegiatan sosial yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam berbagai acara, seperti perayaan hari besar nasional atau kegiatan kemanusiaan, pesantren membuka pintunya untuk semua kalangan, menunjukkan bahwa nilai-nilai kebersamaan adalah bagian integral dari kehidupan mereka.
Namun, peran pesantren dalam membangun toleransi tidak luput dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah adanya stereotip negatif yang sering dilekatkan pada pesantren, terutama terkait isu radikalisme. Padahal, mayoritas pesantren di Indonesia adalah lembaga yang mengajarkan Islam sebagai agama damai yang menghormati perbedaan. Untuk mengatasi tantangan ini, pesantren perlu memperkuat komunikasi dengan masyarakat luas, termasuk memanfaatkan media digital untuk menyebarkan pesan-pesan damai. Selain itu, kolaborasi dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil juga penting untuk memperluas jangkauan program-program toleransi yang mereka jalankan.
Baca Juga: Nilai Toleransi dan Persaudaraan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Di masa depan, pesantren diharapkan terus berinovasi dalam menyampaikan ajaran Islam yang moderat dan inklusif. Dengan mengintegrasikan pendekatan-pendekatan baru dalam pendidikan, pesantren dapat tetap relevan sebagai lembaga yang tidak hanya mendidik santri, tetapi juga membentuk karakter bangsa. Pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi model harmoni sosial yang dapat diadopsi oleh masyarakat luas.
Dengan segala peran dan kontribusinya, pesantren adalah garda depan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai toleransi, pesantren mampu mencetak generasi yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga memiliki jiwa kebangsaan yang kokoh. Di tengah tantangan globalisasi dan perubahan sosial, pesantren tetap menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang damai, harmonis, dan toleran.
Penulis: Shofwania Trihastuti, Mahasiswa PBI UNU Yogyakarta, Santri Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, dan saat ini ngabdi di Pondok Pesantren Bangunjiwo, Lemahdadi, Bantul.