
Seorang anak lelaki sederhana tampak berjalan perlahan, menapaki jalan setapak yang terjal. Kakinya yang telanjang sudah terbiasa dengan batuan tajam dan licin yang tersebar di sepanjang jalan menuju sekolah. Di kejauhan, sungai yang mengalir deras tampak memantulkan sinar matahari yang hampir tenggelam, memberikan kesan keindahan yang bertolak belakang dengan perjuangannya setiap hari. Setiap langkah yang diambil adalah langkah menuju masa depan yang penuh harapan, meskipun jalannya penuh rintangan.
Di belakangnya, di rumah yang sederhana, ibu Fahmi, Huzaimah, sibuk menata sayur-sayuran yang baru saja dibeli dari petani untuk dijual di pasar. Huzaimah adalah seorang wanita tangguh, yang sejak suaminya meninggal dunia akibat kecelakaan dua tahun lalu, harus menanggung segala kebutuhan rumah tangga. Ia tak pernah mengeluh meskipun hidup mereka serba kekurangan. Segala yang dimiliki mereka adalah hasil dari kerja keras dan doa yang tak pernah putus.
Setiap pagi, Huzaimah sudah bangun lebih awal, mempersiapkan bekal untuk Fahmi, dan kemudian berangkat ke pasar untuk menjual sayur-sayurannya. Sementara itu, Fahmi, yang baru berusia 12 tahun, harus menempuh jalan jauh menuju sekolah yang ada di desa tetangga. Ia melintasi jembatan bambu yang hanya bisa dilalui satu orang, yang menghubungkan desa mereka dengan desa lainnya.
Kadang kala, ketika hujan turun deras, sungai itu meluap dan membuat jalan semakin sulit dilalui. Namun, Fahmi tetap berusaha untuk tidak terlambat ke sekolah. Ia tahu betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib.
“Fahmi, hati-hati di jalan!” teriak ibunya ketika melihat anaknya sudah mulai berjalan.
Fahmi menoleh, tersenyum lebar. “Ibu tenang saja, Fahmi bisa lewat dengan hati-hati,” jawabnya, meskipun ada rasa khawatir di dalam hatinya. Ia tahu betul bahwa ibu selalu memikirkan keselamatannya.
***
Hari itu, setelah pulang dari sekolah, Fahmi tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah selesai menata barang dagangannya. Tak ada yang berubah dari rumah mereka yang sederhana, tetapi ada kehangatan yang selalu terasa di dalamnya. Meskipun hidup mereka susah, mereka selalu bisa saling mengandalkan.
“Ibu, Fahmi dapat nilai bagus di ujian matematika tadi!” kata Fahmi dengan gembira.
Ibu Huzaimah tersenyum lebar mendengar kabar itu. “Alhamdulillah, Fahmi semakin pintar. Ibu bangga sama kamu.”
Fahmi hanya tersenyum, meskipun ada rasa haru yang mengendap di hatinya. Ia tahu betul betapa kerasnya usaha ibunya untuk membesarkan dirinya seorang diri setelah kepergian ayahnya. Semua pengorbanan itu tak pernah ia lupakan, dan ia berjanji untuk berusaha lebih keras agar kelak bisa membahagiakan ibunya.
Malam itu, setelah makan malam sederhana, ibu dan anak ini duduk bersama di teras rumah. Mereka mendengarkan suara angin yang berdesir pelan dan mendengarkan cerita tetangga-tetangga yang datang berkunjung. Meskipun hidup mereka serba terbatas, mereka merasa cukup karena dikelilingi oleh tetangga yang peduli dan saling membantu. Di desa yang terpencil itu, rasa kekeluargaan dan tolong-menolong begitu terasa.
Namun, di balik semua itu, Fahmi dan ibunya tahu bahwa kehidupan mereka tidak akan bisa terus seperti ini selamanya. Fahmi bercita-cita tinggi untuk melanjutkan pendidikan ke kota, agar bisa mendapatkan sekolah yang lebih baik. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa membanggakan ibunya, dan mengubah kehidupan mereka yang penuh perjuangan.
“Ibu, Fahmi ingin melanjutkan sekolah di kota,” kata Fahmi dengan penuh harapan.
Ibu Huzaimah menatap anaknya dengan tatapan penuh kasih sayang. “Ibu tahu kamu pasti bisa, Fahmi. Tapi, kita harus berjuang bersama. Tak ada yang mudah dalam hidup ini. Kalau kamu ingin pergi ke kota, kita harus bekerja lebih keras.”
Fahmi mengangguk, matanya berbinar. “Fahmi akan bekerja keras, Ibu. Fahmi tidak akan mengecewakan Ibu.”
***
Tak lama setelah itu, Huzaimah memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Ia sudah mendengar dari teman-temannya di pasar bahwa di kota, ada lebih banyak peluang kerja, dan mungkin ada sekolah yang lebih baik untuk Fahmi. Meski berat meninggalkan desa yang sudah mereka tinggali bertahun-tahun, mereka tahu ini adalah langkah yang harus diambil demi masa depan.
Setelah beberapa bulan menabung, mereka akhirnya bisa membeli tiket kereta untuk pergi ke Jakarta. Dengan berat hati, mereka meninggalkan rumah sederhana mereka di desa itu, namun dengan harapan besar di hati. Mereka berdua tahu bahwa meskipun tantangan yang menanti di depan tidak mudah, mereka akan menghadapi semuanya bersama-sama.
Setibanya di Jakarta, segala sesuatu terasa asing dan menakutkan bagi Fahmi. Suasana kota yang sibuk, gedung-gedung tinggi, dan ribuan orang yang berlalu-lalang membuatnya merasa kecil. Namun, di sampingnya ada ibu yang selalu memberikan semangat, dan itu membuatnya merasa lebih kuat.
Fahmi bekerja paruh waktu di sebuah warung makan, sementara ibunya mulai berjualan sayur di pasar tradisional. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil yang sederhana, namun itu sudah cukup bagi mereka. Fahmi terus belajar dengan giat, dan setiap kali merasa lelah, ia teringat pada ibu yang selalu bekerja keras demi masa depan mereka.
“Fahmi, kita harus berusaha lebih keras lagi, ya,” kata Ibu Huzaimah di suatu malam ketika mereka duduk bersama, berbagi cerita.
Fahmi mengangguk dengan tekad yang bulat. “Iya, Bu. Kita pasti bisa.”
Mereka berdua tahu bahwa hidup di kota besar ini tak akan mudah. Namun, dengan tekad dan usaha yang tak kenal lelah, mereka yakin bahwa suatu hari nanti, mereka akan meraih masa depan yang lebih baik.
Penulis: Albii