Inovasi dan Varian Pesantren untuk Internalisasi Nilai Transformatik

Oleh : Mahmudin, M.Ag.*

Pada masa sekarang, umat menghadapi tantangan yang berat dari pihak luar yang berimplikasi terhadap masa depan kehidupan beraga­manya. Tantangan itu mulai dari kolonialisme dan imperialis­me yang menghasilkan benturan keras antara kebudayaan Barat dengan ajaran Islam, sampai kepada materialisme, kapitalisme, indus­trialisme yang telah berhasil mengubah sistem berpikir dan struktur sosial.Berbagai upaya modernisasi yang muncul dalam berbagai ragam dan karakteristiknya dan berbagai respon dari tantangan di atas cukup mempengaruhi kondisi pesantren sebagai bagian tak terpisahkan dari sub pendidikan kita di tanah air.

Modernisasipesantren, merupakan salah satu pendekatan untuk penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan ummat Islam saat ini dan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, modernisasi pesantren adalah suatu yang penting dalam melahirkan peradaban Islam yang modern.[1]Namun demikian, modernisasi pesantren tidaklah dapat dirasakan hasilnya pada satu dua hari saja, tetapi ia memrerlukan suatu proses panjang yang setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.[2] Sebagai suatu proses yang pan­jang, modernisasi pesantren membutuhkan suatu kerangka konseptual yang jelas dan pasti, sehingga dapat mengarahkan pada formula pesantren ideal.

Terdapat dua alasan pokok yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan modernisasi pesantren, yaitu, pertama, konsep dan praktik pesantren selama ini terlalu sempit, terlalu mene­kan­kan pada kepentingan akhirat, yang melahirkan dikotomi keilmuan meliputi:1) dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non agama, yang melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara menoton, 2) dikotomi antara wahyu dan alam yang menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pesantren, dan ketiga, 3) dikotomi antara iman dan akal.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam perspektif ini, Islam harus diyakini sebagai religion of nature, yang dengannya segala bentuk dikotomi antara agama dengan ilmu pengetahuan dihilangkan. Alam beserta isinya (materi dan kejadiannya) mengandung tanda-tanda yang memperlihatkan pesan-pesan Tuhan yang menggambarkan ke­ha­diran sebagai satu kesatuan universal, yang dengan mendalaminya, sese­orang akan mampu menangkap makna dan kebijaksanaan dari suatu yang transenden. Dengan demikian, iman tidak boleh diper­ten­tangkan dengan ilmu pengetahuan. [3]

Kedua, lembaga-lembaga pesantren sampai saat ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam, dalam meng­hadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bang­sa Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pesantren serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam. Dalam perspektif ini, lembaga pesantren diharapkan sanggup membenahi diri, sehingga ia tidak hanya mampu menjadi media transmisi budaya, ilmu dan keahlian, tapi juga sebagai interaksi potensi dan budaya, yaitu bagaimana lembaga-lembaga pesantren mampu menumbuh-kembangkan potensi anak didik yang diberikan Allah sejak lahir dalam konteks mempersiapkan anak didik untuk menjalani kehidupannya.[4]

Tantangan dan Formula Pesantren Abad 21.

Tantangan Pembaharuan Pesantren.

Data dilapangan menunjukkan, sebagian besar pendidikan pesantren di Indonesia belum terstandarisasidalam kurikulum yang integraldan tidak terorganisir dalam jaringan kerja (network) pesantren Indonesia yang sistemik.Ini berarti bahwa setiap pesantren masih mempunyai ‘kemandirian’ (untuk tidak mengatakan berjalan sendiri-sendiri) danmenerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai denganaviliasi masing-masing pesantren.Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Kementrian Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama (Kementrian Agama).Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja.Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia masih terlalu bervariasi.

Di era cepatnya perubahan di semua sektor dewasa ini, pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak tertatih-tatih, kalau tidak malah kehilangan kreativitas, dalam merespon perkembangan zaman. Beberapa pesantren yang ada pada saat ini, masih kaku (rigid) mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya sophisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan inovasi dan internalisasi transformatif tanpa harus mengorbankan karakter nilai dasar aslinya. Kenapa ini bisa terjadi, ada beberapa sebab yang menjadikan pesantren seakan menutup diri dari perubahan, antara lain :

Pertama, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada satu orang Kiai.Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang unik.Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kiai.Maka dalam perkembangan selanjutnya Kiai menjadi figur tunggal pesantren. Pola semacam ini akan berdampak pada implikasi sistem manajemen yang otoritarianistik. Pembaruan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat ber dan tergantung pada sikap sang kiai. Pola seperti ini pun akan berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren di masa depan. Banyak pesantren yang sebelumnya populer, tiba-tiba “hilang” atau gulung tikar karena sang kiai meninggal dunia.

Kedua, kelemahan di bidang metodologi.Telah umum diketahui bahwa pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi keilmuan klasik.Namun karena kurang adanya improvisasi dan inovasi metodologi, proses transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan.Dikatakan oleh Martin van Bruinessen, ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah. Jadi, proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken for granted. Muhammad Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama dan salah seorang intelektual Muslim dari kalangan pesantren NU, pernah mengkritik bahwa tradisi pengajaran yang mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah fiqih (fiqh oriented), sehingga penerapan fiqih menjadi teralienasi dengan realitas sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer.

Ketiga, terjadinya dis-orientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah realitas perubahan sosial yang sekarang tengah mengalamitransformasi yang demikian cepat.Dalam konteks perubahan ini, pesantren menghadapi dilema antara keharusan mempertahankan jati dirinya (al mukhfadhotu ‘ala al qadiimi ass sholih) dan kebutuhan menyerap budaya baru yang baik yang datang dari luar pesantren (wal akhdu bi al jadidi al ashlah).Pesantren dituntut melakukan reorientasi terhadap peran pendidikan, keagamaan, dan sosialnya.Kalau “tempo doeloe” ketika struktur komunal desa masih bertahan, hubungan pe­santren dengan masyarakat tampak begitu interaktif.Bahkan, pesantren dapat memerankan dirinya sebagai cultural broker, meminjam istilah Clifford Geertz.Bagaimana sekarang?Agaknya sudah menjadi fenomena umum, bahwa sebagian besar pesantren hanya berperan dalam tatarankonservasi atau cagar budaya yang tinggal kenangan indah saja.[5]

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong untuk maju.Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya.Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Menurut Saefuddin Amir[6], terdapat beberapa tantangan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar pesantren dalam melakukan inovasi pengembangannya, yaitu:

  1. Image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
  2. Sarana dan Prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
  3. Sumber Daya Manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
  4. Aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
  5. Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
  6. Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
  7. Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian.

Sedikit berbeda dengan hasil analisis Sa’id Agil Siraj, ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren, yaitu:

  1. Tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
  2. Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
  3. Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

 

  1. Tanda-tanda perubahan Abad 21.

Menurut Thomas A. Mulkeen dan J, Tetenbaumdalam tulisannya yang berjudul Designing Teacher Education For The Twenty First Century, mengungkapkan bahwa Abad 21 akan di tandai oleh beberapa hal sebagai berikut :

  1. Abad 21 merupakan abad yang di dasarkan pada ilmu pengetahuan;
  2. Abag 21 akan ditandai dengan meningkatnya arus informasi;
  3. Abad 21 merupakan abad yang penuh dengan perubahan yang cepat dan ketidak stabilan;
  4. Abad 21 akan ditandai dengan meningkatnya desentralisasi organisasi, lembaga dan system.
  5. Abad 21 akan merupakan abad yang berpusat pada budaya masyarakat;
  6. Abad 21 akan ditandai dengan bergesernya demografi secara besar-besaran.[7]

Demikian sedikit gambaran prediksi mengenai karakter dunia abad 21 yang sedang dan akan kita hadapi. Karena itu berbagai perubahan cara dan metode belajar harus di sesuaikan dengan perubahan dan tuntutan masa saat ini, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan pesantren.

Formula Pesantren Masa Depan : Sebuah Tawaran

Berdasarkan beberapa catatan di atas, model pesantren alternatifharus dibangun di atas landasan filosofis konsep dasar, filsafat dan teori pendidikan yang kuat, melalui perumusan asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang pendidikan, manusia, dan hakekat kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dengan berbasis pada keyakinan teologis yang terformula dalam semangat laa ilaaha illa Allah demi dan untuk menggapai kehidupan dunia hasanah dan akherat hasanah.         

Dengan demikian, modernisasi pesantren, sebagai lang­kah awal, harus melalui perumusan konsep dasar filsafat pendi­dikan Islam yang mengembangkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pelaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosio-kultural) masyara­kat Islam, sehingga modernisasi pesantren akan mempunyai landasan pendidikan yang kokoh yang dengannya arah, maksud dan tujuannya jelas dan pasti. Selamat di akherat di satu sisi tetapi juga tidak gagap menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain.

   Menyikapi berbagai problem dan kendala yang dihadapi pesantren sebagaimana di atas, menulis mengajukan gagasan untuk lebih mengoptimalkan peran dan fungsi pesantren dan keseriusan Kementrian Agama dalam hal ini bidang pondok pesantren untuk lebih pro aktif melakukan berbagai upaya kegiatan yang konkrit terukur dan betul-betul menyentuh kebutuhan pesantren.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini juga tidak boleh menutup mata, mengingat pesantren adalah salah satu pilar pendidikan Indonesia yang peran dan fungsinya telah terbukti dalam turut membangun mental karakter bangsa sejak pra kemerdekaan hingga saat ini, anggaran pendidikan di Kementrian Pendidikan yang 20% dari APBN seharusnya sebagian bisa di salurkan melalui pesantren.

Dapatlah diformulasikan model pesantren yang antisipatif terhadap kebutuhan dan perubahan zaman, dengan melakukan inovasi dan internalisasi transformatif melaui lima langkah sebagai berikut, secara konkrit penulis ajukan usulan sebagai berikut :

  1. Optimalisasi fungsi dan peran organisasi pesantren secara uni-sistemik, mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional melalui berbagai kegiatan yang mengarah pada peningkatan sumberdaya organisasi, kepemimpinan kolektif, pelayanan prima dan dan Total Quality Menejemen.
  2. Rumuskan kurikulum pesantren yang integral universal non dikotomikdengan memasukan kurikulum IPTEK dan implementasi ilmu kitab kuning dengan menanamkan ghirah (semangat) untuk melakukan kegiatan research dan penguatan metodologi berfikir ilmiah di pesantren.
  3. Tekankan pada penguatan dan penguasaan bahasa asing selain bahasa Arab/Inggris
  4. Pertahankan tradisi dan jati diri (karakter pesantren) melalui pendidikan keteladanan, yang selama ini ada dengan mengadopsi nilai nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai dasar pesantren.
  5. Tingatkan sarana prasarana dan pengembangan pesantren melalui anggaran APBN setidaknya dari alokasi anggaran pendidikan 20%, untuk merenovasi bangunan fisik, perlengkapan fasilitas pembelajaran santri, komputerisasi, laboratorium dan perpustakaan pesantren.

Apabila lima hal ini telah bisa kita lakukan, maka kita akan dapat menyusun sebuah formula pesantren yang penulis tawarkan sebagai model pesantren abad 21, diskripsinya sebagai berikut :

FORMULA PESANTREN MASA DEPAN

 

management ofprofessionalorganizations Substantifcurriculumimprovement
Uni-Sistemik :  Integral Non Dicotomic :
Kepemimpinan kolektifTotal Quality Menejemen

Pelayanan Prima

Legalitas dan FormalitasBerbasis budaya masyarakat

 

Tafaqquh fiddien (Aqidah, Syariah dan Ibadah) bukan hanya fiqihPendidikan Filsafat

MIPA, Kimia

Life skillsdan Intrepreneaurship

IT dan Komputerisasi

Multikultural dan Kearifan Lokal

 

strengtheningforeign language buildcharacter means ofpremeans
competence exemplary Standard
Bahasa ArabBahasa Inggris

Bahasa Jepang

Bahasa China

Bahasa Mandarin

Bahasa India, dll

IkhlasJujur

kesederhanaan

kemandirian

persatuan

kebebasan yang bertanggungjawab

 

PerpustakaanSupermarket

Lab. Bahasa

Lab. Sains

Lab. Komputer

Rumah Sakit

Percetakan,dll

 

 

Gb.1 model pesantren abad 21.

 

Secara umum, pesantrenmemang telah terbukti memiliki peran yang sangat signifikan, Prinsip pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang lebih positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic valuesakan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).


[1]Syed Sajjad Husein dan Syed Alio Ashraf, Menyongsonng Keruntuhan Pendidikan Isam, terj. Rahamani Astuti (Bandung: Gema risalah Press, 1994),hlm. 6.

[2]Fazlur Rahman, Islam, Ter. Ahsin Muhammad(Bandung: Pustaka,1984), hlm. 54.

[3]Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Islam Non Dikotomik, Humanisme Religius Sebagai Paradima Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm.45.

[4]Langgulung, Pendidikan Islam, hlm.95.

[5] Bandingkan dengan tulisan Clifford Geertz dalam The Religion of Jawa.

[6]https://saintek.uin-malang.ac.id/index.php/artikel-1/460-pembaharuan-pemikiran-pesantren.html di akses pada 1 Oktober 2013.

[7] Thomas A. Mulkeen dan J, Tetenbaum, Designing TeacherEducation For The Twenty First Century, 1986, hal. 621.

*Guru MAN Majenang Cilacap Jawa Tengah,

Mahasiswa S3 UIN Sunan Gunung Jati Bandung