Oleh: Yuniar Indra*

Syaikh Manna’ Khalil Al-Qattan menyebutkan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an beberapa corak tafsir al-Quran. Sedikitnya ada empat macam tafsir al-Quran yang disebutkannya. Pertama, Tafsir bi Al-Ma’tsur. Tafsir ini merupakan tafsir yang menjadi pegangan dalam memahami ayat untuk menghasilkan sebuah hukum. Dan tafsir yang paling bersih dari kecerobohan dan kekeliruan. Kecenderungan dalam tafsir ini adalah menguraikan lafadz ayat disandingkan dengan ayat atau hadis. Dalam artian ayat dijelaskan ayat lain atau hadis. Secara metodologis tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir dengan metode paling mapan.

Kedua, tafsir bi al-Ra’yi, merupakan metode penafsiran yang digunakan oleh kalangan mufasir untuk menguraikan makna ayat al-Quran. Tafsir ini cenderung menggunakan logika mufasir ketika mamahami makna ayat. Jadi dapat dimungkinkan pemaknaan atau penafsirannya bergeser dari panduan metodologis. Para pengarangnya kebanyakan adalah ahli kalam atau di zaman dahulu lebih mengarah kepada kalangan Mu’tazilah. Beberapa di antaranya yakni, Abdurrahman ibn Kaisan al-Asham, Al-Jubba’i, Abd Al-Jabbar, Al-Rummani, dan Zamakhsyari.

Ketiga, tafsir Shufiyah. Adalah corak tafsir yang mempunyai kecenderungan pemaknaan ayat Al-Qur’an kepada hal-hal yang bersifat sufistik. Beberapa contoh karangan tafsir bercorak sufi adalah Ibn ‘Arabi, Abdul Qadir Al-Jailani, dan sebagainya. Para ulama sufi condong memaknai ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan nafas nilai-nilai kesufian, seperti zuhud, mujahadah, mursyid.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Keempat, tafsir Isyari, yakni coraknya hampir sama dengan metode pemaknaan tafsir sufi. Menurut al-Dzahabi, tafsir Isyari ialah suatu penafsirkan al-Quran dengan berbeda maknanya yang terdapat pada kata-kata yang tersurat, penafsiran ini dilakukan dengan mempergunakan isyarat-isyarat yang tersembunyi yang hanya nampak pada pemuka-pemuka tasawwuf, dengan arti kata tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat[1]. Beberapa tafsir Isyari yakni, Tafsir al-Tustury, Ruh al-Ma’any, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Rais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, Haqaiq al-Tafsir.

Pada tulisan kali ini, penulis akan sedikit menguraikan tentang salah satu tafsir sufi. Yaitu tafsir yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Tafsir dengan nama lengkap al Faqtih al-Ilahiyyah wal Mafatih al-Ghaibiyah al-Maudhuhah lil Kalam al-Qur’aniyyah wa al-Hukm al-Furqaniyyah ini selesai ditulis oleh Al-Jailani pada hari Selasa 4 Sya’ban 1275 H. Tafsir lengkap menguraikan 144 surah dalam Al-Quran, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai Al-Nas.

Secara teknis tata cara penfsiran Al-Jailani masih sama dengan ulama salaf. Yakni menguraikan ayat dengan sepenggal-sepenggal tiap kata atau kalimatnya. Sebagaimana metode syarh dan hasyiah dalam literatur Islam klasik. Kutipan-kutipan hadis sebagai argumentasi juga tidak luput digunakan oleh Al-Jailani dalam kitab tersebut. Di akhir surah beliau juga memberikan beberapa paragraf tadabbur terhadap tiap surah.

Sepenggal Contoh

Untuk melihat secara langsung model penafsiran Al-Jailani, berikut adalah beberapa penggalan tafsirnya di beberapa ayat.

  1. Memaknai wala al-dhallin (وَلَا الضَّالِّيْنَ)

ولا الضالين﴾ بتغريرات الدنيا الدنية، وتسويلات الشياطين عن منهج الحق ومحجة اليقين.

Al-Jailani memaknai orang-orang tersesat pada kalimat terakhir di surah Al-Fatihah adalah orang-orang yang diombang-ambingkan kehidupan dunia fana, dan tipu daya setan yang menjauhkan dari jalan kebenaran dan arah keyakinan.

Sementara mufasir lain seperti Syaikh Nawawi al-Bantani memaknai orang-orang tersesat adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang jauh dari agama Islam:

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ أي غير دين اليهود الذي غضبت عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ أي غير دين النصارى الذين ضلوا عن الإسلام ويقال: المغضوب عليهم هم الكفار، والضالون هم المنافقون

2. Memaknai (توَاصَوْا بالصَبْرِ)

Imam Ibn Kastir memaknai sabar pada penggalan surah Al-‘Ashr adalah perintah untuk bersabar atas musibah dan bencana atau tabah terhadap seseorang menolak untuk diajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan:

{وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ} عَلَى الْمَصَائِبِ وَالْأَقْدَارِ، وَأَذَى مَنْ يُؤْذِي مِمَّنْ يَأْمُرُونَهُ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَهُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Sementara Abdul Qadir Al-Jailani memaknai ayat tersebut sebagai bentuk perintah kesabaran terhadap sulitnya berlaku taat, lelahnya riyadah, beratnya bersikap lebih dari kebiasaan umum, dan sukarnya meninggalkan kegemaran hewani (bagi mereka yang punya sifat nafsu kuat)

وتواصوا أيضا (بالصبر» [العصر: 3] على مشاق الطاعات ومتاعب الرياضات الطارئة عليهم، من قطع المألوفات الإمكانية، وترك اللذات البهيمية اللازمة للقوى البشرية.

Pola penafsiran Abdul Qadir Al-Jailani jika dibandingkan dengan mufasir lain sangat terlihat perbedaannya. Abdul Qadir Al-Jailani memiliki pemaknaan ayat al-Quran secara mendalam dan tidak terlalu fokus terhadap hukum fikih yang terkandung di dalamnya. Hal ini wajar sebab beliau merupakan salah satu ulama yang membidangi dirinya pada ilmu tasawuf. Pada awal pengantar kitabnya belia berpesan kepada para pembaca dan pengkajinya:

والملتمس من الإخوان، والمرجو من الخلان الا ينظروا فيه إلا بعين العبرة لا بنظر الفكرة وبالذوق والوجدان لا بالدليل والبرهان، وبالكشف والعيان لا بالتخمين والحسبان

Dimohon dengan hormat terhadap saudara-saudara dan orang-orang yang menuju kesunyian, agar memaknai tafsir ini dengan kaca mata hikmah, tidak dengan sudut pandang logika. Juga dengnan rasa, perhatian, tidak dengan dalil dan petunjuk. Juga dengan terbukanya mata hati dan pikiran, tidak dengan dugaan dan perhitungan.

Demikian ulasan singkat mengenai tafsir al-Jilani. Semoga bermanfaat.


[1] Abd Wahid, Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. Jurnal Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim. 2010


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari