Sumber gambar: www.google.com

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto*

Melafazkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad adalah sesuai dengan arahan Rasulullah dalam bershalawat dan bershalat. Namun, menambahkan sayyidina sehingga menjadi ‘Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad’ adalah mengedepankan etika (adab), dan dapat dibenarkan.

اللهم صل على سيدنا محمد

Rasulullah sendiri adalah seorang Sayyid. Karena itulah beliau pernah bersabda, “Ana sayyidu waladi Adam.”

Sahabat beliau, misalnya Abdullah ibn Mas’ud juga mempunyai shalawat dengan penyebutan Sayyidina, yaitu:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

اللهم اجعل صلواتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu, dan keberkahan-Mu kepada junjungan para utusan (Nabi Muhammad).”

Para ulama sepakat atas kebolehan menambah lafaz sayyidina sebelum Muhammad. Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Ibn Abdis Salam memilih pendapat bahwa menambahkan sayyidina itu lebih utama, karena hal ini adalah bagian dari etika kepada Nabi, dan berpijak pada kaidah bahwa menjaga etika itu lebih utama daripada mengerjakan perintah, ‘Mura’atul Adab afdhalu minal imtitsal.’

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَبِ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al Bajuri, juz I, hal 156)

Disebutkan dari Syekh Izz ibn Abdissalam bahwa menambah gelar ‘sayyid’ dalam shalat didasari perbedaan pendapat, apakah yang utama itu mengikuti perintah Rasulullah atau melaksanakan etika? Aku berkata: “Yang jelas bagiku dan yang aku lakukan di dalam shalat, atau lainnya adalah menyebut gelar Sayyid. Sebagaimana keterangan kitab Mawahib Jalil juz 1 halaman 69 di bawah ini:

أن الإتيان بها فى الصلاة ينبنى على الخلاف هل الأولى امتثال الأمر أو سلوك الأدب؟ قلت: والذي يظهر لي وافعله فى الصلاة وغيرها الإتيان بلفظ السيد

Tentang kaidah ini Mura’atul Adab afdhalu minal imtitsal.’ terdapat dua hadis yang mendukungnya. Pertama, ketika Abu Bakar (Ibn Abi Quhafah) diperintah Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat Shubuh, Abu Bakar tidak mematuhinya, kemudian berkata:

ما كان لابن أبي قحافة أن يتقدم بين يدي رسول الله

“Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.”

Kedua, Ali ibn Abi Thalib enggan menghapus nama Rasulullah dari lembaran perjanjian Hudaibiyah, padahal itu diperintahkan Rasul, kemudian ia berkata:

لا امحو إسمك ابدا

“Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.”

Kedua kisah ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Penetapan atau kerelaan Nabi atas keengganan atau ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan Ali, karena mendahulukan etika dari pada perintah, menunjukkan bahwa menjaga etika itu lebih utama dari pada melaksanakan perintah.

Membaca sayyidina adalah bentuk pengagungan dan penghormatan kepada junjungan kita. Kalaulah menyebut bupati saja kita pakai kata-kata penghormatan seperti Bapak Bupati yang kami muliakan, kenapa kepada Nabi Muhammad SAW makhluk paling mulia saja dipermasalahkan? Wallahu a’lam bis showab.

*Aswaja Center Nadlatul Ulama Jombang.