Oleh: Sabdawaktu*
Mengawali matahari, aku menjenguk kabarmu diam-diam dari jendela tetangga, aku harap kau melintas atau sekadar bercakap dengan orang lain meski tak kau lihat, ada aku yang diam-diam meretas doa, meneteskan air mata, dan memendam rindu dalam-dalam agar kau tak risau atau benci pada sebuah keberadaan.
Mengalahkan senja, aku melukis baik-baik cerita kita yang pernah ada. Dengan darah puisi, dengan tinta yang tak bisa kubeli dua kali. Aku masih mengistimewakanmu pada setiap degub, dan aku selalu sanggup.
Hingga aku tak bisa mengalahkan orang lain. Jarak. Waktu, dan dirimu sendiri. Bagaimana aku setiap hari mentasbihkan kekuatan perasaan, kekhawatiran yang berlebihan, dan ketakutan yang bertambah menjadi kehilangan akal: aku masih saja berjuang – engkau terus saja tak memberi kesempatan.
Percuma.
Tak akan pernah berarti apa-apa sebuah puisi, bila dua hati tak pernah tahu caranya saling mengisi, bagaimana untuk mengerti, dan juga melunasi janji-janji.
Tak ada gunanya ada puisi. Bila apapun yang aku lakukan, aku tuliskan, hanya sebatas kata yang baunya saja tak pernah menebar kemana mana, apalagi pada arahmu yang tak pernah ketahuan di mana jalannya.
Tak ada lagi puisi.
Tak perlu lagi menulis puisi.
Hingga akhirnya, engkau yang meminta atau aku yang memutuskan untuk “sudah tak ada apa-apa”.
Tak ada lagi, yang perlu ditulis sebagai puisi.
*Rara Zarary. Alumnus Annuqayah Guluk-guluk, Madura.