Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah).

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi (jam’iyyah) didirikan pada 31 Januari 1926. Sebagai komunitas (jama’ah), NU telah hidup di Nusantara selama ratusan tahun sebelumnya dalam bentuk faham Ahlussunnah wal Jama’ah. NU didirikan oleh para ulama pesantren di Jawa yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan banyak kiai lain. Tujuan NU adalah untuk mengembangkan Islam berdasar ajaran empat madzhab, sama sekali tidak bernuansa politik.

NU mulai terlibat dalam organisasi yang bernuansa politik saat tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diwakili oleh KH. A Wahid Hasyim. Selanjutnya NU terlibat dalam Shumubu (semacam Kantor Urusan Agama dibawah pemerintah Jepang) yang juga diwakili oleh Kiai Wahid sebagai Ketua Harian, sedang Ketuanya adalah Hadratussyaikh. Selanjutnya NU terlibat dalam proses penyusunan UUD 1945 yang diwakili oleh Kiai Wahid dan tokoh-tokoh lain. Dalam kabinet pertama RI, NU diwakili oleh Kiai Wahid.

Menjadi Partai NU
Awal perjalanan politik praktis NU dimulai pada November 1945 ketika bersama ormas Islam lainnya mendirikan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). NU menjadi anggota istimewa dan mendapat kedudukan Ketua Majelis Syuro yang dijabat oleh Hadratussyaikh. Pada 1947 tokoh-tokoh Syarikat Islam mendirikan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).

Saat itu NU belum mempunyai tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi menteri, sehingga hanya posisi menteri agama yang dapat diharapkan oleh tokoh NU. Ternyata tidak sselamanya posisi itu diisi oleh tokoh NU. Setelah Hadratussyaikh wafat pada 1947, maka wewenang Majelis Syuro tidak sekuat seperti sebelumnya. Berdasar antara lain dua hal itu, maka tokoh-tokoh NU merasa lebih baik ormas NU keluar dari partai Masyumi dan mendirikan Partai NU. Muktamar Palembang 1952 memutuskan berdirinya Partai NU. Diluar dugaan banyak orang, Partai NU keluar menjadi pemenang ke tiga pemilu 1955 dengan memperoleh suara 18,4% atau 45 kursi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peristiwa G30S/PKI pada September 1965 membuat perubahan mendasar dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. NU dan Orde Baru bekerja sama tetapi hanya berjalan beberapa tahun. Dalam pemilu 1971 juru kampanye NU di banyak tempat mendapat hambatan luar biasa dari TNI dan Polri. Hal itu dilakukan karena Partai NU masih memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Walau demikian, perolehan suara Partai NU tetap bertahan pada angka 18,4%.

Pada awal 1973 Partai NU harus bergabung dengan Parmusi, PSII dan Perti menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di dalam PPP, walaupun suara NU paling banyak, tetapi Parmusi lebih berperan karena mendapat dukungan Pemerintah. Parmusi mendapat 6,3%. PSII mendapat 2,3% dan Perti mendapat 0,7%. Dengan dukungan pejabat Pemerintah, maka pimpinan PPP menggeser hampir 30 tokoh terkemuka NU dari posisi calon terpilih PPP pada pemilu 1982.

Kembali ke Khittah
Peristiwa di atas tentu mengecewakan NU dan memicu munculnya gagasan untuk meninjau kembali keberadaan NU di dalam PPP. Sebenarnya keinginan untuk meninggalkan politik praktis itu sudah lama muncul di antara sejumlah tokoh NU, tetapi tidak mendapat dukungan terlalu besar, misalnya pada Muktamar 1967, Muktamar 1971 dan Muktamar 1979. Tetapi ketidakberdayaan NU di dalam PPP menghadapi tokoh-tokoh Parmusi yang didukung Pemerintah ketika menghadapi pemilu 1982, memperkuat keinginan untuk mengembalikan NU menjadi ormas keagamaan.

Selain itu ada faktor lain yang memperkuat keinginan untuk melepaskan diri dari kegiatan politik praktis, yaitu fakta bahwa banyak aktivis NU di dalam Kementerian Agama dan lembaga pemerintah lainnya harus memilih antara menjadi aktivis NU atau menjadi PNS. Selain itu juga terdapat fakta bahwa karena organisasi NU lebih fokus pada kegiatan politik, maka perhatian organisasi NU terhadapa amal usaha seperti pendidikan, amal sosial, kesehatan dan ekonomi menjadi terabaikan.

Pada Mei 1983, 24 Kader NU menggelar pertemuan bersejarah di Jakarta. Mereka memulai pembahasan untuk merumuskan Khittah NU 1926 yang akan diajukan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo. Dari 24 kader NU itu terdapat nama Kiai Sahal Mahfudz, Gus Dur, Gus Mus, Mahbub Djunaidi, Tolhah Hasan, Zamroni. Kemudian “Majelis 24” itu membentuk Tim 7 yang terdiri dari Gus Dur (Ketua), Zamroni (Wakil Ketua), Said Budairy (Sekretaris), Mahbub Djunaidi, Fahmi Saifuddin, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagja.

Dalam Muktamar NU di Situbondo ditetapkan Keputusan Muktamar XXVII NU tentang Khittah NU. Khittah NU terdiri dari 9 butir: 1. Mukaddimah; 2. Pengertian; 3. Dasar-dasar Faham Keagamaan NU; 4. Sikap Kemasyarakatan NU; 5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan; 6. Beberapa Ikhtiyar; 7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama; 8. NU dan Kehidupan Bernegara; 9. Khotimah.

Dalam butir Pengertian dijelaskan bahwa: 1. Khittah NU adalah landasar berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. 2. Landasan tersebut adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. 3. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.

Dari sekian banyak kandungan Khittah NU, tampaknya yang menjadi perhatian masyarakat ialah butir 8 tentang NU dan kehidupan Bernegara. Di dalamnya terkandung banyak alinea, tetapi fokus masyarakat hanya pada alinea kelima yang isinya adalah: “NU sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang”.

Awal Perubahan
Ketika Pemerintah pada 1998 membuka lebar-lebar pintu untuk mendirikan partai, spontan minat berpolitik warga NU tumbuh kembali. Banyak yang mengusulkan supaya PBNU membentuk parpol. PBNU menanggapi dengan hati-hati mengingat adanya ketentuan di Khittah NU. Tetapi melihat besarnya tuntutan kepada PBNU, maka akhirnya lima tokoh NU yaitu KH Munasir Ali, KH Muchith Muzadi, KH Ilyas Ruchyat, KH Abdurrahman Wahid dan KH Musthofa Bisri mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keterlibatan tokoh NU dalam mendirikan PKB membuat pemaknaan terhadap Khittah NU mulai berubah.

Selain di dalam PKB, banyak warga dan tokoh NU yang aktif dalam berbagai partai yaitu PPP, PNU (Partai Nadlatul Umat), PKU (Partai Kebangkitan Umat), dan Partai SUNI. PKB memperoleh 12,61% suara, PPP meperoleh 10,71%. PNU, PKU, dan Partai SUNI memperoleh suara kecil. Selain itu banyak warga NU memilih Partai Golkar. Diperkirakan jumlah suara warga NU di dalam pemilu 1999 dari berbagai partai termasuk Golkar melebihi jumlah suara Partai NU pada pemilu 1955 dan 1971.

Pada saat menjadi cawapres mendampingi Megawati pada 2004, sesuai dengan ketentuan yang ada maka Kiai Hasyim Muzadi harus non aktif. Gus Dur menganggap Kiai Hasyim menjadi cawapres dengan memanfaatkan posisi sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur ingin supaya Kiai Hasyim mundur dari posisi Ketua Umum PBNU. Kiai Hasyim menjadi cawapres atas desakan dari banyak PWNU dan PCNU aktif mendukung tetapi dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka.

Untuk Kepentingan Bangsa
Dalam sambutan pada peringatan Hari Lahir Muslimat NU ke 73 (Januari 2019) di Stadion Utama Senayan, Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siroj menyatakan bahwa dalam pemilu 2019, NU harus menang. Seorang penyiar TV saat itu langsung berkomentar, NU tidak ikut pemilu kok harus menang. Kiai Said dalam pidato di depan makam Bung Karno disaksikan Megawati, menyatakan bahwa warga NU harus memenangkan Saifullah Yusuf supaya bisa menjadi gubernur Jatim. Dari dua contoh di atas, terlihat bahwa Ketua Umum sudah terlibat langsung dan terbuka dalam politik praktis. Hal yang sama juga dilakukan tokoh NU lainnya seperti Ketua Wilayah PWNU Jatim.

Sebaliknya dalam pidato terkait ulang tahun TV One (Februari 2019), Kiai Said menyatakan bahwa pollitik NU adalah politik kebangsaan bukan politik kekuasaan. Menurut saya terlihat adanya kontradiksi antara kedua pernyataan itu. Mungkin menurut Kiai Said kedua pernyataan itu tidak bertentangan. Artinya terdapat perbedaan tafsir terhadap Khittah NU antara tokoh NU kultural dengan tokoh struktural. Perbedaan tafsir itu tentu membuat masyarakat bertanya mana yang benar dan harus dicari titik temunya melalui musyawarah. Hal itu bisa dilakukan setelah selesai pilpres.

Saya membaca berita bahwa Kiai Marzuki Mustamar Ketua PWNU Jatim menyatakan bahwa majunya Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapres bukanlah dengan tujuan meraih kekuasaan tetapi dengan tujuan untuk kepentingan bangsa. Sebuah video yang saya terima melalui WA, berisi pidato Kiai Marzuki yang menyatakan bahwa karena paslon no 02 berkolaborasi dengan pihak yang memusuhi NU dan membenci NU serta menganggap RI negara kafir dan anti Pancasila, maka warga NU harus memilih paslon no 01. Kita memahami bahwa memang diantara pendukung paslon 02 terdapat HTI dan kelompok lain yang menganggap bahwa demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi tidak berarti bahwa Paslon 02 bersikap dan punya pendirian politik seperti mereka, jumlah mereka amat kecil dan tidak mungkin mempengaruhi sikap paslon 02.

Bahkan ada tokoh NU yang menyatakan kalau paslon 02 menang, maka NKRI akan menjadi khilafah. Pendapat itu jelas tidak benar. Tidak mungkin Prabowo seorang Letjen purnawirawan akan mendirikan khilafah. Pernyataan di atas sama tidak benarnya dengan pernyataan orang yang disebut sebagai Ahmad Dani di dalam sebuah video, bahwa kini muncul Nasakom baru, yang terdiri dari PDI Perjuangan yang banyak diikuti keturunan PKI, dalam kerja sama dengan NU.

Di dalam banyak kesempatan seperti pengajian dan rapat umum, struktur NU di Jawa Timur mengahruskan bahkan menekan warga NU untuk memilih paslon no 1. Berarti struktur NU tidak yakin bahwa warga NU akan memilih pemimpin NU. Menurut saya warga NU harus dibebaskan memilih capres manapun, insya Allah kebanyakan akan memilih Kiai Ma’ruf Amin. Kalau diharuskan, bisa timbul reaksi menolak. Selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng, saya tidak melarang atau mengharuskan alumni, keluarga dan guru di Pesantren Tebuireng, untuk memilh paslon 01 atau 02.

Sejumlah tokoh NU seperti Plt Rais Aam Syuriah PBNU Kiai Miftachul Achyar menyatakan bahwa kalau dulu (organisasi) NU adalah “ashabul haq” (pemegang kebenaran), maka di masa depan NU harus menjadi “ashabul qoror” (pemegang kekuasaan). Apakah maksudnya organisasi NU harus menjadi partai politik atau tokoh-tokoh NU ramai-ramai berusaha menjadi penguasa? Kesan saya dan banyak tokoh NU kultural lain, NU kini menjadi sub-ordinat PKB, tidak independen terhadap PKB, padahal seharsunya posisi organisasi NU itu di atas semua partai. Dalam Muktamar NU ke 33 pada 2015 tokoh-tokoh PKB melakukan intervensi dengan cara yang lazim dilakukan dalam parpol bukan dengan cara ormas keagamaan.

Masyarakat Sipil
Muhammadiyah dan NU bersama ormas-ormas lain yang lahir sebelum Proklamasi dan juga bersama tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Hadratussyaikh dan lain-lain adalah para pendiri negara. Partai-partai politik pada saat itu belum berdiri. Muhammadiyah dan NU adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang menjadi semacam jangkar bagi kehidupan bangsa Indonesia ketika mengahadapi badai yang amat dahsyat.

Kedua ormas itu bisa berperan sebagai jangkar bagi Indonesia hanya bila keduanya tidak terlibat dalam politik kekuasaan atau politik kepartaian. Kedua ormas itu harus tetap mejadi bagian dari masyarakat sipil. Pada awal 1990-an NU di bawah pimpinan Gus Dur menjadi unsur utama masyarakat sipil. Selain ormas-ormas, masyarakat sipil juga terdiri dari kaum profesional, akademisi, ulama dan mahasiswa. Seperti yang disampaikan oleh Lord Acton bahwa “power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”. Masyarakat sipil-lah yang bisa melindungi rakyat terhadap kemungkinan praktik negatif dari kekuasaan.

Pada 2004 pengamat NU Greg Barton mengatakan bahwa NU harus mengisi “ruang kosong” masyarakat sipil yang mulai ditinggalkan banyak pihak. Ini yang harus dilakukan NU ke depan, sebagai wakil masyarakat madani, kalau ingin posisinya terhormat dan bermartabat di tengah pergulatan masyarakat dan bangsa”. Adakan usul untuk mengajukan Muhammadiyah dan NU sebagai calon penerima Hadiah Nobel adalah karena peran keduanya di dalam masyarakat sipil.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa sesuai khittahnya, Muhammadiyah tidak akan memihak salah satu pasangan capres. Walaupun Amien Rais mendesak Haedar Nashir untuk mendukung paslon no 02, tetapi Haedar tetap pada sikap yang seharusnya sesuai Khittah. Ternyata struktur Muhammadiyah mempunyyai pemahaman lebih baik tentang posisi Muhammadiyah dalam masyarakat sipil. Karena itu mereka lebih mempunyai komitmen terhadap khittahya dibanding struktur NU.

*Pengasuh Pesantren Tebuireng.


Dimuat di Jawa Pos.

Diketik ulang oleh M. Masnun (Redaktur tebuireng.online)