sumber ilustrasi: prmapers

Akui Kesalahan

Oleh: halub©   

Pondasi bangunan itu dihancurkan, dengan sengaja. Alasan bosan, monoton, tidak romantis. Aku kira dia mau, juga bersedia berada di bawah kehendak tak jelasku.

Awalnya dikatakan, “Lemparkan tali, agar terikat di leher, biarkan aku menjadi peliharaanmu.” Semua berlalu, buhul sihir pun sirna. Tak mungkin aku memakai sihir lagi. Tapi, aku hanya mau dia, mereka, yang lain salah.

Memang, semula, aku yang seolah-olah menyerahkan diri. Tapi, sejatinya aku tak mau diatur, biarpun seharusnya aku harus mau diatur. Dan sekarang aku didesak agar mengakui kesalahan. Memang dia, mereka pikir, ketika aku salah mereka, dia, benar?

Cari sensasi online, dengan story WhatsApp, Instagram story hingga titik-titik kecil yang terlihat saking terlalu banyaknya. Begitulah aku, aku tak munafik, aku akan melakukan berbagai kesalahan terang-terangan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu, kalian ingin aku mengakui semua itu!? Itu BUKAN KESALAHANKU! Kalian lah yang salah! Buat apa sibuk dengan seluruh kesalahanku!?

*Pamulang, Rabu 140224, 13.39.


Mendiskusikan Hal-hal Remeh

Oleh: halub©

Tercengang, sibuk dengan hal-hal remeh; alih-alih “SALING MENUTUP AIB”, nyatanya: menghiasi kebatilan dengan ungkapan-ungkapan yang indah. Fokus, serius dengan yang sia-sia, yang jauh lebih penting mungkin dianggap sia-sia dengan sangat banyak sekali alasan ya yang dibuat-buat seolah masuk akal dan pasti diterima.

Timang-timang aib sendiri, ribut-bising-menggelegar dengan aib yang lain. Selalu saja asik, renyah sangat membicarakan yang tak penting yang dianggap seakan-akan penting.

Sudah seperti menjadi hobi tersembunyi; berteriak keras agar orang lain begini begitu dalam hal kebaikan (entah tujuannya apa), tapi lupa diri sendiri amburadul, ngerasa bagi yang ngerasa, yang keras kepala pun tak sedikit.

Mulai, dari hal hal penting kecil, yang biasanya dianggap remeh, mungkin juga sampah tak terasa yang sejatinya sangat penting dan bahkan sangat bahaya jika diremehkan, kini dianggap: santailah, masih hidup ini, besok besok kenapa sih!?

Kalau ada yang berusaha peduli, o macam-macam prasangka, sok suci, omdo lah, beragam dan terlalu banyak. Sudah jelas rambunya warna hijau, protes: kenapa tak merah saja, merah dituruti, mulai lagi lah biar greget! “Merah yang mana nih? Merah saga, merah koral, merah tomat. Kan merah banyak!” 

Bedebah tetap bedebah mau kiamat 999 kali sekali pun. O, memang sibuk dengan yang remeh terlalu selalu mengasyikan, mengembirakan, menjadikan hidup terasa jauh lebih hidup.

Gundukan sampah di depan mata tak ada, debu sangat kecil di seberang planet terlihat amat sangat sangat jelas. Apa memang sebenarnya tujuan dari kehidupan dan penghidupan ini?

A, tapi sudah lah racun dan pembuat racun kadang-kadang peracik handalanya diri ini sendiri.

*Tangsel, Sabtu111123, 22.13.


Toxic

Oleh: halub©  

Istilah baru makin diburu. Pemburu kehilangan tempat ternikmatnya. Zaman berputar, menari kencang, melumat banyak nikmat; sederhana, yang kini dianggap tak ada. Peralihan ini terus menjalar ke banyak elemen.

Mungkin, aku terlalu banyak bicara hal-hal kosong, nyaring bagai tong kosong. Berkelakuan semaunya pusar. Selalu, meningkatkan pengakuan, kalau diri sendiri yang paling ternodai dan terzalimi.

Mencemooh, merendahkan, berlagak superioritas, tentang kewajiban pribadi yang terremeh saja, terbengkalai. Di kawasan orang lain, jalan pikirannya: semua orang harus mengerti diriku sendiri. Orang lain selalu toxic, racun. Aku selalu lebih baik dari siapa pun.

Masalah kecil, telah silam, selalu suka kuungkap lagi, pada akhirnya semua jadi tak karuan. Kesalahan pribadi, seringnya aku limpahkan ke orang yang kubenci. Sebab selain diriku, hanya lah racun dan selalu salah.

Ketika aku salah, aku sukanya marah, dan memang selayaknya begitu. Tentang rekayasa, itu yang paling kusuka. Apa lagi kalau orang-orang tertarik, pada memperhatikanku walaupun semuanya palsu. Caper publik?  Itu lah jati diriku. 

Tentang kebengisan dan kekejian hati terbusukku ini, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Hingga matahari tak terbit lagi. Orang lain harus merasa bersalah, atas?  

Seluruh kesalahan fatalku. Yang ada di selangkangan nafsuku, harus wajib dipenuhi. Dengan cara apapun. Aliran angin mengajarkan, ancaman lah teknik gelap itu. 

Tentang akibat? Mana ada kekeliruan ini berdampak buruk bagi yang lain, itu fitnah. Justru mereka harus bangga, sebab aku ada. Bukan kah semua yang telah terjadi adalah baik?

Buat apa aku harus pahami persepektif yang lain, tentang dinamika sosial budaya pergaulan antara sesama? Itu tak wajib, bahkan tak dianjurkan, sedikitpun untukku.

*Cls, Senin 120224, 18.10.