Oleh: Yuniar Indra Yahya*
Kematian tidak ada yang pernah tahu, kecuali Tuhan yang Maha Kuasa, dan semua makhluk hidup di dunia ini pasti akan mengalami kematian tanpa terkecuali. Tak seorang pun yang dapat memastikan waktu dan tempat mereka meninggalkan dunia. Masing-masing manusia juga tidak tahu orang sekitarnya kapan meninggal. Seorang anak tidak tahu kapan orang tuanya wafat. Seorang murid tidak tahu umur gurunya. Seorang gubernur pun tidak tahu kapan Israil menjemputnya.
Lumrahnya manusia, usia meninggal itu lebih banyak dialami oleh mereka yang berumur. Namun, bisa saja mereka yang baru saja keluar dari rahim diberi umur pendek oleh Allah. Bahkan ada juga janin yang tidak berkesempatan menghirup udara dunia sama sekali. Karena kematian memang tak memandang usia. Lalu, pernahkah terpikirkan bahwa seorang anak bisa jadi meninggalkan orang tuanya lebih dulu?
Nabi Muhammad SAW pernah mengalami hal yang menyedihkan, yakni kehilangan seorang anak. Bahkan bukan sekali dua kali, dari tujuh putra mahkota Nabi, hanya Fatimah Az-Zahrah yang diberi kesempatan oleh Allah memberi cucu Rasulullah. Salah satu peristiwa sedih Nabi adalah wafatnya wafatnya Ibrahim ibn Muhammad SAW.
Ibrahim merupakan putra Nabi yang berasal dari rahim Maria Al-Qibthiyah. Ia lahir pada 8 Dzulhijjah 8 H/630 M. Satu-satunya putra yang bukan anak dari Khadijah. Umur Ibrahim tidak lama, Ia meninggal pada Rabiul Awal tahun 631 M. Dia diberi kesempatan oleh Allah menghirup udara bumi hanya sekitar 6 bulan.
Mengutip buku Muhammad Rasulullah karangan pustakawan Muhammad Ridha, bahwasanya Nabi sedih sekali ketika kematian Ibrahim.
فَلَمَّا مَاتَ دُمُمَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَحْمَن: اي رَسُولَ الله هَذَا الذِي تَنْهَى النَاسَ عَنْهُ، مَتَى يَرَكَ المسْلِمُوْنَ تَبْكِي يَبْكُوْا
Ketika Rasulullah menderaikan air mata melihat Ibrahim wafat, Abdurrahman ibn Auf berkata pada Rasul: “Wahai Rasulullah, sedih melihat orang meninggal Anda larang orang-orang bersedih, hari ini semua orang melihat Anda menangis, ya mereka ikut menangis.”
Lalu Rasulullah menanggapi, “Kesedihan ini adalah rahmat dari Allah, sebuah bentuk sifat kasih sayang seorang manusia. Yang tidak boleh adalah meratapi kesedihan.” Setelah itu beliau meminta agar Ibrahim disemayamkan di kawasan Baqi’. Kemudian beliau menyalati bayi Ibrahim itu. Usai dikuburkan beliau memercikkan air ke atas kuburan Ibrahim. Dan hal itu menjadi percikan air pertama terhadap kuburan dalam sejarah.
وَانْكَسَفَتْ الشَمْسُ يَوْمَ مَاتَ اِبْرَاهِيْمُ فَاَذَاعَ النَاسُ: اِنَّ الشَمْسَ كَسَفَتْ حَزْنًا علَى مَوْتِ اِبْرَاهِيْمَ فَقَالَ رَسُولُ الله: (إِنّ الشَمْسَ والقمَرَ آيتَانِ من آيَاتِ الله لايَنْكَسِفَانِ لِمَوتِ أَحَدٍ)
Matahari tertutup awan pada waktu kematian Ibrahim, lalu masyarakat menganggap bahwa langit bersedih atas kejadian ini. Tapi Muhammad dengan tegar menyangkal: “Matahari dan Bulan merupakan ayat Allah, keduanya tidak meredup karena kematian seseorang.”
Meskipun ucapan Nabi adalah untuk menghibur diri dan orang sekitarnya. Tapi dalam sejarah pasti matahari meredup ketika Nabi disakiti atau putra-putranya wafat. Hal itu merupakan bentuk mukjizat dari Allah. Mesurt Minchem (ميسودر منجم) dalam bukunya Hayah Muhammad berpendapat, “Nabi Muhammad adalah seorang yang logis. Terbukti dari sanggahan beliau terhadap masyarakat yang berpikir nyeleneh.”
Begitu tegarnya Nabi Muhammad ketika kepergian putranya yang masih belia. Ia membendung kesedihannya pun orang-orang di sekitarnya. Muhammad hanya sedih, tapi tidak berlarut. Beliau sadar betul tugas kenabiannya tidak boleh terhenti karena kematian putranya. Itulah hikmah yang dapat diambil oleh orang-orang saat ini.
*Mahasantri Mahad Aly Haysim Asy’ari Tebuireng Jombang.