Oleh: Fathur Rohman*
Hari ini kebetulan ada kegiatan di luar kota, mengingat musim hujan dan ada beberapa tempat yang harus saya kunjungi, saya berniat membawa mobil sendiri, namun ketika mampir ke rumah orang tua, ternyata ibu tidak mengizinkan saya menyetir mobil sendirian karena khawatir kalau mengantuk, saya mengikuti nasihatnya dan akhirnya saya naik bus antar kota. Setibanya di lokasi tujuan, saya menemui beberapa orang yang sudah saya rencanakan, dan di luar agenda bertemu dengan beberapa teman, kami ngobrol banyak hal, setelah selesai urusan saya, saya beranjak pulang, seperti biasa saya memilih naik angkot dari pada ojek online bila tidak terburu-buru, karena saya bisa menikmati mengobrol dengan orang-orang yang naik angkot juga atau sekadar mendengarkan obrolan mereka tentang kegiatan-kegiatan mereka dan permasalahan kehidupan mereka.
Setelah lama menunggu di pinggir jalan, tibalah angkot yang saya tunggu untuk saya naiki menuju terminal seperti biasa sebelum saya berganti naik bus jurusan ke kota tempat tinggal saya. Ketika saya masuk ke dalam angkot ternyata penumpangnya tidak banyak. Saya pun memilih duduk di dekat pintu agar bisa menikmati angin yang berhembus dari luar ke dalam mobil angkot dan agar saya mudah turun nanti, ketika sampai di terminal.
Angkot yang saya naiki bergegas melaju melewati rutenya ke arah terminal, setelah beberapa saat pak sopirnya berkata kepada ibu penumpang angkotnya; ibu turun mana? Tanyanya pada ibu penumpang yang usianya agak tua, ibu tersebut menjawab: turun depan situ pak. Pak sopir pun memberhentikan angkotnya di tepi jalan dan keluarlah ibu tersebut sambil mengangkat kedua tanggannya seraya berkata: terima kasih banyak ya pak, bapak sopir itu menjawab; iya bu sama-sama, tidak apa-apa. Saya berpikir secara matematis, “wah bapak sopir ini rugi Rp.4000 karena seharusnya ia dapat ongkos tersebut, tetapi dengan keikhlasannya membantu ibu penumpang tersebut tanpa meminta ongkos naik angkotnya sehingga ia tidak jadi dapat.
Kemudian mendekati terminal bapak sopir tersebut berkata pada penumpang yang tersisa; turun di luar terminal atau di dalam? Saya bertanya; mobil angkotnya ini masuk terminal atau tidak pak, karena setau saya biasanya kalau sudah menjelang sore tidak masuk terminal, kalau masuk saya ikut masuk karena saya mau naik bus. Bapak supir angkot tersebut berkata: iya mas masuk.
Kemudian ia menyetir angkotnya dan membawa penumpangnya ke dalam terminal. Ia tidak menurunkan penumpangnya di pemberhentian angkot sebagaimana angkot yang lain di waktu pagi, namun ia memberhentikan penumpangnya tepat di dekat bus yang akan saya naiki.
Mendadak ada penumpang yang merasa dimudahkan karena ia merasa dipermudah untuk turun di dekat bus yang akan dinaiki, ia membayar angkot yang ia naiki kepada bapak supir angkot tersebut sejumlah Rp.10.000. Sepontan saya kepikiran, saya menghitung lagi dengan cara matematis, ternyata bapak supir angkot ini gak jadi rugi Rp.4000 tetapi ia malah untung Rp.2000.
Ongkos naik angkot Rp.4000 untuk setiap penumpang, bila diawal ia ikhlas membantu dengan tidak meminta uang ongkos angkotnya pada ibu penumpang tadi secara kasat mata ia rugi Rp.4000, namun ketika ada penumpang yang membayar ongkos angkotnya Rp.10.000, maka ia jadi untung dengan perhitungan Rp.4000 (ongkos ibu penumpang) + Rp.4000 (ongkos asli penumpang yang membayar lebih) = Rp.8000, jadi sisanya 2000.
Selain itu ia juga mendapatkan keuntungan non materi berupa pahala membantu orang yang membutuhkan dan memotivasi orang lain untuk berbuat baik juga, sehingga orang-orang baik di negeri ini bisa bertambah banyak lagi.
Itulah pelajaran yang saya dapat hari ini ketika naik angkot, bahwa kebaikan itu akan membuahkan kebaikan yang lain, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi akan menular atau memotivasi orang lain yang meilhatnya untuk melakukan kebaikan yang berbeda. Berbuat baik tidak selalu harus berupa materi atau uang melainkan bisa dengan banyak cara.
Allahu a’lam bisshawab.
*Dosen PBA Unhasy Tebuireng Jombang.