Oleh: Fathur Rohman*
Orang bisu tidak diwajibkan untuk mempelajari ucapan-ucapan yang diharamkan dan orang buta juga tidak diwajibkan untuk mempelajari hal-hal yang haram untuk dilihat. Demikian juga orang yang tidak pernah berkumpul dengan orang yang terhormat tidak diwajibkan untuk mempelajari tata krama duduk dan bergaul dengan orang-orang yang terhormat.
Belajar itu akan menjadi tidak wajib untuk dilaksanakan saat ilmu yang dipelajari tersebut tidak membawa manfaat bagi orang yang mempelajarinya, sehingga bukan banyaknya pelajaran atau ilmu yang harus dipelajari oleh seseorang, melainkan seberapa banyak kemanfaatan ilmu yang ia pelajari dalam kehidupan.
Manfaatnya ilmu tidak bisa serta merta diketahui saat seseorang sedang belajar, namun seringkali manfaat atau tidaknya ilmu tersebut diketahui saat seseorang telah selesai melaksanakan proses belajarnya. Mereka baru menyadari bahwa ilmu yang mereka pelajari di bangku sekolah, kuliah, atau pesantren sangat bermanfaat dalam kehidupannya.
Orang bisu tidak diwajibkan mempelajari ucapan-ucapan yang dilarang, karena pempelajarinya tidak ada gunanya dan tidak manfaat baginya. Demikian juga orang buta tidak diwajibkan untuk mempelajari hal-hal yang haram untuk dilihat, karena mempelajarinya tidak ada gunanya dan tidak manfaat baginya. Lantas siapakan yang harus menentukan bahwa ilmu yang ia pelajari itu akan bermanfaat atau tidak bermanfaat, maka jawabannya bisa sangat beragam, ada yang menjawab guru, murid, Allah, orang tua, atau yang lainnya.
Untuk mengetahui hal itu ada baiknya kita perhatikan ungkapan bahwa “kewajiban belajar itu sangat bergantung dengan tuntutan keadaan masing-masing orang.” Seandainya ada seorang muslim laki-laki yang memakai pakaian dari sutra murni maka ia harus mempelajari hukum memakai kain sutra bagi laki-laki muslim. Bila ada orang Islam yang meminum minuman keras dan memakan daging babi, maka ia harus mempelajari hukum meminum khamer dan memakan daging babi bagi seorang muslim.
Ini artinya bahwa belajar itu diawali oleh ketidaktahuan, tidak mengerti, atau tidak berilmu. Untuk itulah penting bagi seseorang untuk mempelajari hal hal yang ia belum mengerti dan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya. Bukan hanya untuk kemanfaatan bagi dirinya sendiri, tetapi juga kemanfaatan untuk orang lain.
Orang tidak diwajibkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaat bagi dirinya, bukan hanya menurut dirinya sendiri melainkan menurut orang yang mengajarinya juga. Itulah kenapa perlu kirannya seorang murid dan guru untuk sama-sama menyadari ilmu apa saja yang akan membawa manfaat sesuai dengan keadaan masing-masing murid.
Orang bisu tidak akan mengucapkan kata-kata protes kepada gurunya yang mengajarinya walaupun yang diajarkan itu adalah tentang larangan mengucapkan kata-kata yang diharamkan oleh agama Islam. Sebagaimana orang yang buta tidak akan melihat contoh hal-hal yang haram dilihat bagi seorang muslim. Itulah kenapa semua pengetahuan tersebut menjadi tidak wajib untuk dipelajari karena semua ilmu pengetahuan itu bukan merupakan hal-hal yang dituntut oleh keadaan orang-orang tersebut.
Walaupun begitu, bukan berarti semuanya itu tidak boleh untuk dipelajari. Semuanya itu boleh untuk dipelajari, namun alangkah lebih baiknya bila waktunya dipergunakan untuk mempelajari hal-hal yang sesuai dengan tuntutan keadaannya masing-masing.
Dengan demikian, bila seorang murid ingin semua ilmu yang dipelajarinya bermanfaat selain menjalankan apa yang sudah dijelaskan dalam kitab talimul mutaalim, adabul alim wal muta’allim, dan lain-lain. Ia dapat membuat dirinya berada dalam keadaan yang menuntut penguasaan ilmu yang sedang ia pelajari sehingga keadaan tersebut akan memotivasi dirinya untuk lebih giat mempelajari ilmu tersebut, sebagai contoh seorang muslim tidak wajib belajar ilmu haji saat ia belum memenuhi syarat orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji, agar mempelajari ilmu haji itu wajib bagi dirinya, maka ia bisa berusaha menjadi orang yang memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji, dan saat ia sudah memenuhi syarat sebagai orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji, maka ia juga menjadi orang yang berkewajiban mempelajari ilmu haji.
Belajar tidak akan pernah menjadi penting bagi seseorang ketika ia tidak mengetahui kemanfaatannya karena keadaan dirinya yang tidak menuntutnya untuk mempelajarinya.
Allahu a’lam bisshowab.
*Dosen Unhasy Tebuireng Jombang.