sumber ilustrasi: idntimes.com

Oleh: Qurratul Adawiyah*

Besok diskusi lagi Fa, jangan lupa banyak baca buku biar diskusinya hidup.”

Setiap hari, aku pasti mendapatkan jatah bacaan dari si Zulfan yang setiap waktu menuntutku untuk selalu membaca supaya mendapatkan banyak referensi untuk diskusi setiap harinya. Mau tak mau aku harus melakukannya selagi itu membuat otakku berkembang.

Selain Zulfan teman kecilku, jauh lebih dari itu dia juga disarankan orang tuaku untuk selalu menjagaku hingga hal-hal kecilpun yang terjadi padaku ia harus tahu, lebih-lebuh untuk perkembangan intelektualku. Sebenarnya terlalu berlebihan menurutku tapi aku selalu membuang pikiran itu karena  pada nyatanya semua yang dilakukan Zulfan untuk kebaikanku.

Bahkan perdebatan-perdebatan kecil sering terjadi diantara kita karena berbedanya pemahaman. Sempat aku tumpahi ia dengan segelas kopi hangat pada saat diskusi mingguan  salah satu organisasi ekstra kampus, kebetulan posisi duduknya tak jauh dari posisi dudukku, sebenarnya aku kasihan melakukan hal itu tapi ia tak pernah berhenti mau berselisih pendapat denganku.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Karena ngototnya ia terhadap pemikirannya sendiri. Saat aku tanya di luar diskusi atau saat lagi duduk santai berdua alasan dia mempertahankan argumennya yang jelas-jelas sudah salah, jawabannya hanya pengen tahu sejauh mana pengetahuanku lebih berisi mana otaknya dengan otakku.

“Karena yang aku tahu kamu itu kan orangnya suka baca meskipun masih dibawah pengawasanku, tapi setidaknya aku tahu lah lebih jauh mana intelektual kita berisi,” ungkapnya disela kekesalanku.

Kadang-kadang aku menyesali diri sendiri, kenapa aku harus terjebak dalam emosiaonal yang tinggi saat diskusi dengan Zulfan padahal maksud dia baik, tapi tak apalah aku melakukan hal konyol itu karena ketidaktahuan yang dimaksud Zulfan.

Setelah diskusi mingguan itu terus berlanjut, sedikit demi sedikit aku tak lagi ada keinginan mengejar argument Zulfan, selain jenuh sering berbeda pemikiran ada kalanya aku diam menjadi pendengar dan notulen yang baik, dan mungkin saat ini juga kesempatan teman-teman yang lain untuk mengeluarkan pemikiran mereka dari sekian pemikiran yang telah lama tak kunjung diutarakannya. Karena terkadang waktu yang terus menerus mengajak kita untuk menghentinkannya meskipun diskusinya belum usai.

***

Dua minggu berlalu, aku sengaja tak ikut diskusi mingguan, akupun tak tahu menahu tentang keadaan Zulfan meskipun ada sedikit kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan yang setiap hari tak ada kabar tentang Zulfan.

Aku coba mengambil ponsel yang berada dibalik bantal, dengan penuh harap Zulfan memberi kabar, diam-diam aku tersenyum kecil membaca pesan lucu dari Zulfan sebelum tak ada kabar dua minggu ini. Memikirkan hal yang tidak-tidak itu terjadi, apa mungkin Zulfan sibuk dengan organisasi luar selain dia aktivis dia juga pegiat literasi. Aku meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meskipun nyatanya ada sedikit ketidaknyamanan.

Setiap kali megang ponsel pasti saat itu juga pikiranku tertuju pada Zulfan, karena ia adalah salah satu teman chat aku yang sangat terbuka dan cerita keluh kesah tentang kesehariannya. Lagi-lagi aku berusaha berpikir positif tentang Zulfan, tapi kali ini tidak, sungguh sangat berbeda sekali dengan sebelum-sebelumnya.

Biasanya sesibuk apapun kegiatan Zulfan ia pasti disempatkan untuk menayakan tentang keadaanku dan mau berbagi cerita setiap harinya, kali ini aku baru tahu sesuatu tentang keadaan Zulfan yang sebenarnya.

Sore ini aku hendak membuat semuanya nyata tanpa kebimbangan dan kekhawatiran yang terus menerus menghantui. Setiap kali aku tanya pada teman dekatnya Zulfan semuanya hanya menggelengkan kepala dengan sangat curiga aku yakin pasti ada sesuatu dibalik semua itu.

Dengan langkah pasti dan harap semoga Zulfan baik-baik saja aku langsung ke kontrakannya. Tiba-tiba teleponku berdering, ternyata Zufan menelpon padahal aku sudah ada di depan kontrakannya. Mungkin saja ia mau ngasih tahu kalau dia tak lagi ada kontrakannya tapi mana tahu ia kalau aku he ndak kemari.

“Fa pulang, ngapain ke kontrakan aku lagi di rumah udah hampir setengah bulan.”

Zulfan bicara dengan datar. Aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, tapi kenapa ia bisa tahu kalau aku mau ke kontrakannya, tapi itu bukan hal yang  penting, sekarang waktunya aku bertanya bagaimana keadaanya.

“Kamu baik-baik aja?” Pertanyaan yang tak seharusnya kutanyakan, karena suara ibunya yang menyuruh Zulfan minum obat sambil terisak dan suara orang-orang di sekelilingnya.

“Aku baik-baik saja, kamu jaga diri baik-baik di sana jangan lupa banyak baca buku yang banyak juga diskusi biar pikiranmu terus berkembang, mungkin ini terakhir kalinya aku mengingatkanmu.”

Tiba-tiba telpon itu terputus, aku coba terus menghubungi tapi hasinya nihil. Pikaranku tak jelas mengenai kata-kata terakhir Zulfan.

Perasaanku semakin gelisah. Secepat mungkin aku ke terminal dengan gusar untuk pergi ke rumah Zulfan, setelah cukup lama di perjalanan, akhirnya aku tiba di rumah Zulfan. Dalam kepanikan, aku berlari keluar dari bus menuju rumah Zulfan. Pasti terjadi sesuatu, pikirku. Tak mungkin orang sebanyak ini ada di rumah Zulfan tanpa ada hal lain yang terjadi.

Ibu Zulfan mendekatiku dengan isak tangis yang tak ada jeda di pelupuk matanya, sembari memberi buku kecil bersampul hijau yang tak lain buku harian Zulfan yang setiap saat ia bawa kemana pun pergi.

“Nak, ini ada titipan dari Zulfan buat kamu.”

Aku terima dengan tangan lunglai tak bertenaga seakan-akan aku tak lagi ada artinya hidup tanpa Zulfan yang setiap saat selalu ada untukku.

Tak mungkin orang yang setiap hari selalu menasehatiku dan selalu ada di hadapanku, seketika mendadak tak terlihat. Aku tak percaya. Ah mungkin dia sedang tidur. Aku coba membangunkannya tapi tetap saja Zulfa tidak bangun-bangun.

Dengan rasa putus asa aku menghentikan usaha yang tak ada hasilnya. Meskipun sangat sulit menerimanaya lebih baik aku belajar mengikhlaskannya. Karena aku yakin Zulfan pasti mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya.

Setelah penguburan selesai, aku pamit pulang pada keluarga Zulfan. Semuanya tak lagi sama, aku banyak diam memikirkan Zulfan yang tak lagi ada. Aku merasa kecewa pada diri sendiri yang tak segera mengambil tindakan mencari tahu apa yang terjadi dengan Zulfan. Kali ini aku banyak menyalahkan diriku.

Tiba-tiba di sela diamku, aku teringat pada pemberian buku itu. Aku baca dengan sebaik mungkin dari halaman ke halaman. Tertulis tebal dengan ukiran menarik. Yang membuat mataku  terhenti dengan tangis yang tak lagi bermakna itu.

I Love You, Eiffah Izzatul Umamy.”

Bait kata yang terkesan sejauh ini aku mengenalmu namun kisah di antara kita tak lagi bisa dijalin. Kita telah berada di dunia berbeda, mungkin kau kira rasa itu hanya kamu yang merasakannya tidak denganku namun semua itu sebuah kesalahan besar.

Sejak perhatianmu terhadapku sangat besar, di sanalah rasa itu tercipta dengan rasa yang sulit di mengerti dan akupun tak berani mengisahkan rasa itu padamu yang pada saat itupun aku tak mengerti ada apa di balik semua itu meskipun aku selalu menepisnya dengan kuat bahwa kau hanya menganggapku sebagai adik, tak melebihinya.

Selamat tinggal Zulfan semoga engkau berada di tempat yang indah, seindah kebaikanmu selama ini terhadapku, jika kita memang ditakdirkan untuk berkisah di dunia yang sama maka yakinlah Allah lebih tahu dari segalanya. Semuanya hanyalah tentang waktu saja.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.