sumber : http://elezioni2018.varesenews.it/tag/attilio-fontana/page/2/

Oleh: Hilmi Abedillah*

Dalam kajian ushul fikih dikenal ‘maqashid syariah’ sebagai salah satu modal penting dalam berfatwa. Seorang ahli fikih harus memahami maqashid syariah dan menjaganya dalam setiap hukum yang dikeluarkan. Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang artinya tujuan. Jadi, ia adalah tujuan diciptakannya syariat Allah.

Maqashid syariah ada lima: menjaga agama (hifdzud din), menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga akal (hifdzul ‘aql), menjaga keturunan (hifdzun nasl), dan menjaga harta (hifdzul mal). Semua mempunyai tiga level, yaitu darurat (dlaruriyyat), kebutuhan (hajiyyat), dan pelengkap (tahsiniyyat). (Sejarah Ushul Fikih, 188)

Sebagian ulama ada yang menambah satu lagi yaitu menjaga kehormatan (hifdzul ‘irdl) seperti contoh qadzaf dan li’an. Ada yang menganggap itu sudah masuk ke dalam menjaga keturunan, sebagaimana dijelaskan oleh asy Syathibi. Ibnu ‘Asyur menjelaskan, “menghitung menjaga kehormatan sebagai bagian dari dlaruriyat itu tidak benar. Yang benar itu termasuk hajiyyat.” (Syarh Tanqihul Fushul, III, 49)

Dlaruriyyat harus didahulukan daripada hajiyyat. Hajiyyat harus didahulukan daripada tahsiniyyat. Menurut Prof. Dr. Ali Jum’ah, lima maqashid syariah tersebut merupakan urutan prioritas dalam tarjih. Jika berbenturan antara kemaslahatan jiwa dan kemaslahatan akal, maka diprioritaskan kemaslahatan jiwa. Ada juga yang berpendapat bahwa menjaga agama didahulukan atas menjaga yang lain. Maksudnya, selain menjaga agama belum tentu sesuai urutannya. (Sejarah Ushul Fikih, 190; Nihayatus Sul fi Syarhi Minhajil Wushul, II, 300)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Agama yang dimaksud di sini adalah ritual, simbol, dan syiar. Menjaga agama yang dimaksud bukanlah menjaga Islam. Demikian pendapat Prof. Dr. Ali Jum’ah. Ia menjelaskan, “Karena, kata ‘agama’ dengan maksud Islam adalah (kandungan) lima maqashid itu sendiri. Terkadang kita menemukan ushuli (ahli ushul fikih) medahulukan ‘din’ dengan makna Islam dalam tata urutan maqashid. Akan tetapi, dalam tata urutan ini kata ‘din’ bermakna simbol, syiar, dan ibadah. Jika tidak begitu maka Islam adalah kelima maqashid itu sendiri. Dari sini, dan karena kita mengurutkan sesuai dengan tartib maqashid, maka kita mengajak seluruh umat agar menjadi umat Islam dalam arti sebagai ajaran yang menjaga jiwa, akal, agama, keturunan, dan harta, bukan sebagai ritual, simbol, dan syiar.” (Sejarah Ushul Fikih, 190)

Maka, secara tidak langsung manusia telah menerima ajaran Islam dan dapat hidup di bawah payungnya, meskipun tidak beragama Islam. Mereka mungkin menolak masuk Islam secara formal, namun mereka telah menyetujui bahwa menjaga lima hal tadi merupakan asas berkehidupan damai. Boleh jadi mereka tidak menerima Islam sebagai syariat negara mereka, mau tak mau mereka menerima Islam sebagai hukum dunia.

Dengan begitu Islam memiliki makna yang lebih luas. Ia bukan hanya syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan semua upaya meletarikan nilai-nilai maqashid syariah. Dengan Islam yang luas, dalil-dalil yang tidak qath’i (pasti) bisa berubah bentuknya dalam konteks yang berbeda. Misalnya bentuk pakaian dalam menurut aurat, sistem pemerintahan, makanan untuk berbuka, penggunaan sarana dakwah, dll.

Jika seorang mujtahid setelah mengolah dalil atau beristidlal menghasilkan hukum yang menganulir atau menyia-nyiakan maqashid syariah, maka ia harus mengevaluasi dan mengkaji ulang hasil istidlal-nya sehingga hukum yang dihasilkan sejalan dengan maqashid syariah. Contohnya, jika ada faqih dari madzhab Syafi’i mengerahkan pikiran dalam ushul madzhabnya, dia berkesimpulan bahwa zakat tidak boleh keluar dari komoditi emas dan perak. Kemudian ia menemukan realita bahwa transaksi saat ini menggunakan uang kertas, dan emas-perak bukan lagi menjadi alat transaksi. Apakah ini berarti zakat emas-perak sudah tidak berlaku sementara uang kertas tidak wajib dizakati? Dia dengan kesimpulannya itu telah menyimpang dari maqashid syariah yang tergambar dalam menjaga harta. Hal ini mewajibkan ia meninjau ulang hukum yang didapatnya dari proses istinbath-nya itu.

Dalam Al Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. Penyebutan ‘harta’ yang masih menerima tafsir membuat ia bisa berbentuk selain emas-perak. Tujuan zakat adalah santunan terhadap kaum fakir dan adanya jaminan sosial bagi mereka. Asalkan harta yang ada di tangan kita (uang kertas) mempunyai nilai yang sama dengan emas-perak, maka ia wajib dikeluarkan zakatnya. (Sejarah Ushul Fikih, 192)

Begitulah sekelumit pemikiran ushul fikih Prof. Dr. Ali Jum’ah dalam karyanya Tarikh Ushul Fiqh. Beliau adalah mufti Mesir sejak 2003. Selain mengajar mata kuliah Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar, ia juga aktif mengisi seminar dan diskusi di dalam maupun luar negeri. Di samping itu, ia menjabat sebagai dekan fakultas pelajaran ketimuran Universitas Harvard yang berada di Mesir, dewan pembina mata kuliah agama Islam dan bahasa Arab di Universitas Oxford untuk kawasan Timur Tengah, dan menjadi dosen terbang di berbagai universitas.


*)Redaksi Majalah Tebuireng