ilustrasi Perdebatan Imam Syafi’i dan Imam Sufyan

Suatu hari, datanglah Imam Sufyan Ats-Sauri ke majelis Imam Syafi’i. Pertemuan kedua tokoh besar ini bukan karena kebetulan belaka, namun hendak mendiskusikan satu masalah fikih terkait hukum menyamak kulit bangkai.

Kita tahu, menurut literatur mazhab Syafi’i, status kulit bangkai yang sudah disamak dihukumi suci. Namun, kalau kita membaca sejarah, ternyata dahulu Imam Syafi’i pernah berpendapat bahwa status kulit bangkai tidak bisa suci, meski sudah disamak.

Perdebatan dimulai ketika Imam Syafi’i menawarkan satu konsep sebagaimana berikut, “Kulit dari bangkai hewan itu selamanya tidak bisa dihukumi suci, meski sudah disamak.”

Konsep yang beliau tawarkan berdasar riwayat seputar catatan Nabi kepada sahabat bernama Juhainah. Nabi menuliskan,

إِنِّيْ كُنْتُ رَخَصْتُ لَكُمْ فيِ جُلُوْدِ اْلمَيْتَةِ فَإِذَا جَاءَكُمْ هَذَا فَلَا تَنْتَفِعُوْا مِنَ اْلمَيْتَةِ بِإِهَابِ وَلَا عَصَبِ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dahulu Aku pernah memberikan keringanan atas sucinya kulit bangkai. Dengan datangnya suratku ini maka janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai yang telah disamak.” (HR. Imam Abu Dawud: No. 4127).

Menerima tawaran tersebut, Imam Sufyan Ats-Sauri tidak tinggal diam. Beliau juga memberikan satu konsep, “Kulit dari bangkai hewan itu bisa dihukumi suci dengan disamak.”

Sama dengan Imam Syafi’i, konsep yang beliau tawarkan juga ada dasarnya. Dasar tersebut sebagaimana berikut,

هَلَا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوْا إِنَّهَا مَيْتَةٌ! قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

Kenapa tidak kalian gunakan kulitnya dengan menyamaknya hingga bisa dimanfaatkan? Mereka menjawab,”Kami mengira bangkai”. Beliau SAW berkata,”Yang diharamkan adalah memakannya“. (HR. Bukhari Muslim).

Dari perdebatan yang ada, muncullah kemudian satu kesimpulan. Imam Syafi’i memilih pendapat yang diutarakan oleh Imam Sufyan Ats-Sauri. Sebaliknya, Imam Sufyan Ats-Sauri malah memilih kesimpulan dengan konsep yang ditawarkan oleh Imam Syafi’i. Entah pemikiran apa yang menyebabkan keduanya mengubah konsep yang awalnya ditawarkan.

Jadi, kesimpulan yang sekarang sudah jamak diketahui di dalam literatur fikih mazhab Syafi’i, bahwa kulit bangkai itu bisa suci dengan disamak, berawal dari perdebatan sengit antara Imam Syafi’i dan Imam Sufyan Ats-Sauri. Perdebatan yang begitu seru, bukan debat kusir, yang hanya mencari menang, bukan benar.

Dari cerita yang ada, mungkin kita bisa mendapat satu hikmah sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, pengarang buku bertajuk Yaquth Nafis berikut,

فَانْظُرُوْا إِلَى عَدَمِ التَعَصُّبِ لِلْرَأْيِ

Maka, lihatlah wahai pembaca! Apa yang terjadi di antara Imam Syafi’i dan Imam Sufyan Ats-Sauri adalah aplikasi konkret dari ketidakfanatikan ulama terhadap satu pendapat yang ia pegang.”

Jadi, para ulama, meski berdebat, mereka sadar bahwa pendapat mereka benar, namun sudah pasti mengandung kemungkinan salah. Sehingga, mereka tidak fanatik, ngeyel, dengan pendapat yang mereka pegang, juga menerima kemungkinan-kemungkinan yang datang dari pemikiran lain.

Inilah karakter yang kiranya harus kita miliki hari ini. Sebagai intelektual, kita harus menyakini, pendapat benar itu bukan hanya berasal dari pemikiran kita saja. Peluang kebenaran itu berasal dari teman diskusi kita sangatlah besar. Sehingga, perdebatan yang kita jalani bisa berjalan secara efektif, memunculkan manfaat bagi para kita sendiri sebagai peserta debat.


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang