(Foto) Gus Ishom.

Oleh: H. Fawaid Abdullah HR*

Menjadi Guru Aliyah Tebuireng

Ketika saya sudah menjadi siswa Aliyah Tebuireng, Gus Ishom lah salah satu guru favorit para siswa Aliyah. Saya lebih kenal dekat dengan Gus Ishom ketika beliau memegang bidang studi Tafsir Ahkam dan Ilmu Mantiq. Sesekali saja saya sebelum pelajaran dimulai diminta membaca kitab karangan Syaikh Ali Asshobuuny tersebut, biasanya yang sering disuruh membaca kalau teman sekelas saya sahabat Muhammad Yasin, Muhammad Shadiq (sekarang lost kontak entah dimana, sering disuruh Gus Ishom karena ngantu’an), Maman Sudirman (dari Bogor, sekarang domisili di Jombang), M Ainul Yaqin “Gober” (dari Malang, sekarang aktif di Jakarta) Muhammad Anas (sekarang mengabdi di SMP A Wahid Hasyim Tebuireng), M Mas’ud (sekarang aktif di dunia pertelevisian swasta di Jakarta), Anwar Harianto (sekarang di Pengadilan Agama, salah satu kabupaten di Papua), dan beberapa teman lainnya yang saya sudah lupa karena faktor waktu yang sudah cukup lama.

Gaya Gus Ishom yang low profile membuat semua siswa Aliyah Tebuireng langsung mendekat kepada beliau, Gus Ishom bak jadi selebriti Aliyah melebihi guru-guru perempuan di sarang siswa yang tidak ada perempuannya. Gus Ishom ketika istirahat jam pelajaran lebih banyak ngobrol dan cangkru’an dengan para siswa Aliyah, termasuk dengan saya dan teman-teman lainnya.

Dalam mengajar di kelas beliau sering tidak membawa Kitab, siswa yang di suruh membaca dan beliau yang menjelaskan isi kandungan materi permateri di kitab Tafsir Ahkam dan Ilmu Mantiq. Jelas, gamblang, fasih dalam menyampaikan ayat-ayat, humoris, memberikan contoh yang pas dan tidak bertele-tele, itulah salah satu gambaran ketika beliau ini ngajar menjadi guru saya di Aliyah Tebuireng dua tahunan sejak kelas 2 sampai kelas 3 di jurusan Agama (EXAGAS, eksekutif agama satu begitulah teman-teman menamai kelas saya ini).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Gus Ishom dua tahun mengajar di Aliyah inilah, membuat saya dan bahkan hampir semua siswa sangat dekat beliau, sifat beliau yang tidak pilah pilih kepada siapa saja beliau sangat perhatian dan ngopeni mulai hal yang dianggap besar sampai hal yang sangat kecil sekalipun.

Pernah ada seorang teman yang “kelihatan” tampak sering murung, berdiam diri, gelisah malah beliau yang dekati si teman ini, walau akhirnya tidak sampai lulus mengeyam sekolah di Aliyah, saking begitu perhatiannya beliau sampai-sampai beliau mengorbankan apa saja yang tidak lazim, tidak biasa dilakukan oleh seorang Gus sekalipun.

Gus Ishom benar-benar memerankan diri sebagai sosok yang sangat diidolakan para siswa Aliyah dan bahkan oleh “hampir semua” para santri-santri Tebuireng.


Mengijazahkan Hizib Al Jausyan & Hizib Al Andarun

Dahsyat! mungkin kalimat ini yang tepat, Gus Ishom mampu menggabungkan kekuatan spiritual dan kekuatan akal dengan kedalaman kealiman ilmu agamanya. Di tahun-tahun 90-an, santri Tebuireng masih ada “walau tidak terlalu banyak” yang masih suka topo broto, puasa mutih “ngrokot”, ngamalke wirid-amalan bacaan dan lelakon poro masyayikh tempo dulu, bahkan ada yang sampai “berjadab ria” dengan lebih enjoy sukanya wiridan dan adu “sakti” antar santri-santri maupun dengan yang bukan santri.

Mereka-mereka yang nyantri ke Tebuireng di tahun-tahun ini, bisa saya katakan adalah masa-masa “transisi”, kenapa begitu? Karena zamannya Hadratussyaikh sampai zamannya para dzurriyyah Hadratussyaikh khususnya putra beliau, Kiai Kholiq Hasyim ayahanda dari Gus Hakam, konon memang sangat dikenal sakti mandraguna.

Jadi tidak heran, kalau santri-santri Tebuireng juga ada yang mewarisi ilmu-ilmu linuwih kesaktian Hadratussyaikh ini. Sejak kedatangan “balik kampungnya” Gus Ishom di Tebuireng serasa aura Hadratussyaikh itu muncul kembali, Gus Ishom mampu memberikan apa yang diinginkan santri-santri Tebuireng dalam hal spiritual ini, apalagi kalau dilihat dari cerita-cerita masa lalu Tebuireng sangat kental dengan ilmu tentang ini, Gus Ishom mengijazahkan Hizib Al Jausyan dan Hizib Al Andarun, konon kedua hizib ini salah satu hizib andalan yang beliau dapat dari Lirboyo kediri.

Kehampaan santri-santri akan ilmu-ilmu ini terasa terobati, banyak santri (termasuk saya) mengikuti pengijazahan kedua hizib ini di serambi Masjid Tebuireng, saking banyak santri-santri yang ikut sampai-sampai meluber ke halaman masjid, belum lagi santri-santri yang ikut dan mendengarkan dan mengikuti pengijazahan ini dari komplek-komplek, semisal komplek E Sunan Giri, komplek P Al Muhajirin, komplek B Al Firdaus (saya menetap di kamar B 07 selama 6 tahun), dan komplek D Al Jihad dan komplek C Jaya yang lebih dekat dengan Masjid yang posisinya persis berada di belakang mihrab Masjid Tebuireng, komplek A Wahid Hasyim yang persis berdampingan dengan masjid, lalu di samping masjid ada komplek F Al Falah, komplek G Al Ghazali, komplek I Al Azhar, lalu yang agak jauh tapi ada di depan masjid di seberang lapangan basket Tebuireng ada komplek M Mahasiswa, komplek O Al Khair (semua komplek yang saya sebut ini saat ini sudah luluh lantak rata dengan tanah diganti gedung baru yang lantai tiga dan lebih mentereng), yang tersisa tinggal komplek Y Al Hidayah dan komplek K.

Hampir semua santri ikut pengijazahan dua hizib ini tumplek blek di masjid dan sampai yang ikut dari komplek-komplek yang saya sebutkan diatas ini. Luar biasa Dahsyat! Begitulah kira-kira saya menggambarkannya, kehausan santri-santri Tebuireng terasa terobati dengan pengijazahan amalan wiridan apalagi dari sosok Gus Ishom yang titisan langsung dari Hadratussyaikh, riuh gayeng dan sorak sorai para santri-santri sontak membuat suasana pondok kala itu terasa menggelora dan menggelegar, pondok terasa “hidup”, saya tau sendiri karena setelah pengijazahan ini, hilir mudik santri-santri di depan komplek B Al Firdaus, komplek saya, ada jalan dari semen kotak (tanpa memakai sandal) yang memudahkan para santri-santri bisa langsung ke maqbarah Tebuireng yang persis di belakang komplek, intensitas santri-santri yang ke maqbarah semakin banyak dan tinggi, keyakinan santri-santri Tebuireng kala itu, siapa yang istikamah ke maqbarah maka akan semakin tinggi nilai barokahnya, maqbarah Tebuireng juga sebagai bagian “charger wajib” bathin dan spiritual yang dinilai sangat ampuh oleh santri-santri Tebuireng, hampir 24 jam santri-santri yang lewat di depan komplek saya itu hilir mudik dan tidak pernah kosong, ada saja dan banyak sekali, tidak pernah sepi, apalagi ditambah wiridan amalan dari Gus Ishom ini, Hizib Al Jausyan dan Hizib Al Andarun.


Mobil, Motor Butut, & Sepeda Ontel

Salah satu yang tidak “nggayani”, tidak ada jaim-jaiman dari Gus Ishom adalah beliau ini kemana-mana selalu memakai mobil sedan tua, entah tahun berapa keluaran mobil itu? warna mobil sedan beliau itu berwarna gelap, motor yang beliau sering pakai vespa tua, juga tahun tua entah keluaran tahun berapa? tidak jarang ngajar ke Aliyah malah memakai sepeda ontel.

Sesekali diluar jam sekolah papasan dengan saya waktu pulang sekolah atau terkadang sore hari ba’da Ashar di jalan menuju cukir. Kebiasaan kala itu di jam-jam sore setelah ashar, santri-santri Tebuireng agak sedikit santai, maka disempatkanlah waktu santai ini untuk sekadar refreshing, jalan-jalan sore “JJS” ke sekitar pasar cukir, ada juga yang dibuat kesempatan untuk ngopi di pertigaan pojok pasar cukir di sebelah warung sate H. Faqih, santri-santri banyak menyebutnya dengan Warung Narti, disebut demikian walau bukan pemilik warung pojok itu, dia hanya sebagai pelayan tetapi kesohoronnya melebihi pemilik dan nama asli dari warung kopi itu sendiri, buatan kopi, es kopi, dan kacang ijonya memang benar-benar maknyus ditambah senyum manisnya setiap melayani hantaran kopinya kepada santri-santri yang sudah berjejer nyangkru’.

Ada juga santri Tebuireng waktu lepas Ashar ini disempatkan untuk sekadar “sambang atau manggil” ke pondok puteri Muallimat Cukir untuk sekadar bertemu santri-santri cukir, ada yang karena alasan ORDA, ada yang karena alasan persaudaraan ada juga karena alasan ini dan itu? santri-santri putri Muallimat Cukir pun juga melakukan hal yang sama yakni sekadar keluar gerbang pondok, ada yang hanya sekadar mengitari pasar Cukir, ada yang jalan-jalan sore mengitari Tebuireng dan ada pula yang “manggil” santri putra di Tebuireng dengan alasan dan modus yang sama, santri Tebuireng dan Santri Muallimat Cukir bak dua sejoli yang selalu akur dan sama dalam urusan panggil-memanggil, santri-santri Tebuireng dan Cukir yang nyantri di era 80-an dan 90-an, pasti tau tentang ini, entah lagi kalau sebelum tahun-tahun ini atau setelah tahun-tahun ini, 2000-an sampai saat ini?

Gus Ishom sering saya lihat sendiri dengan sepeda ontel, kalau hanya menghadiri tempat dan acara di sekitar Tebuireng yang jarak tempuhnya dekat, kalau agak jauh baru memakai motor vespa keluaran tahun usang itu, kalau antar kabupaten baru pakai mobil sedan bututnya, sering kali mobil itu konon selalu ngadat di tengah perjalanan, akhirnya santri yang diajak mendampingi beliau tidak jarang kebagian mendorong mobil butut itu, maklum tahunnya sudah usang.

Beliau ini juga sering nyuci mobilnya sendiri, biasanya nyuci mobil sedan butut kesayangan beliau itu sering saya lihat kalau tidak pagi, atau saat mau berangkat ke sekolah ke Aliyah Tebuireng, kadangkala setelah Ashar sesekali ketika mau jalan-jalan sore keluar dari pondok.

Apa yang tidak biasa dilakukan para Gus, beliau ini selalu melakukan dan mengerjakannya sendiri, selagi beliau ini bisa dan mampu, pasti Gus Ishom selalu kerjakan sendiri tanpa minta bantuan orang lain termasuk santri-santrinya, sungguh luar biasa ada Gus yang seperti beliau! Entah kemana mobil-motor butut serta sepeda ontel Gus Ishom itu sekarang? dan tahun berapa butut-butut kendaraan Gus Ishom itu lepas tangan dari beliau, saya tidak mengikutinya.

*Santri Tebuireng 1989-1999. Bersama Putra almaghfurlah Gus Ishom; Muhammad Hasyim Anta Maulana.